Milk

Secara kebahasaan, milk berarti “penguasaan terhadap sesuatu”. Dalam terminologi fikih, milk berarti “hubungan antara seseorang dan harta yang diakui syarak sehingga orang tersebut mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, kecuali ada halangan syarak”. Istilah milk diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata “milik”.

Para ahli fikih mendefinisikan milk sebagai penguasaan seseorang secara penuh terhadap suatu benda yang memungkinkan orang itu untuk bertindak hukum sesuai dengan keinginannya, kecuali apabila ada halangan syarak, sehingga orang lain tidak bisa bertindak dan memanfaatkan benda tersebut.

Halangan syarak dapat terjadi apabila seseorang belum cakap bertindak secara hukum, sehingga dalam hal tertentu tidak dapat bertindak secara hukum terhadap miliknya sendiri, atau dalam miliknya terdapat hak orang lain, seperti utang.

Jika seseorang menguasai suatu harta dengan cara yang dibolehkan syarak, ia mempunyai hak khusus terhadap harta itu yang membuatnya bebas untuk bertindak hukum dan memanfaatkan harta itu.

Bagi ulama Mazhab Hanafi, milk lebih bersifat umum dibandingkan dengan harta, karena harta bagi mereka hanya materi, sedangkan milk juga mencakup manfaat.

Jika milk dikaitkan dengan harta, ada harta yang bisa dimiliki dan dikuasai seseorang secara khusus. Bentuk harta seperti ini adalah milk yang dihasilkan melalui empat sebab:

(1) melalui penguasaan terhadap harta yang belum dipunyai oleh seseorang atau badan hukum lainnya, misalnya seseorang mengambil air di sungai dan memanfaatkannya, atau menebang kayu di hutan yang tidak ada pemiliknya, kemudian memanfaatkannya;

(2) melalui suatu transaksi, seperti jual beli;

(3) melalui peninggalan, seperti warisan; dan

(4) hasil dari harta yang telah dimiliki, seperti buah, anak kambing yang lahir, dan bulu domba.

Adapun harta yang sama sekali tidak bisa dimiliki oleh seseorang adalah harta yang ditetapkan untuk kepentingan umum, seperti jalan umum, jembatan, benteng, dan taman kota.

Ada juga harta yang hanya bisa dimiliki apabila ada dasar hukum yang membolehkannya, misalnya harta wakaf yang biaya pemeliharaannya melebihi nilai harta itu sendiri. Dalam keadaan seperti ini, harta itu boleh dijual, dihibahkan, atau dijadikan milik pribadi.

Ulama fikih membagi milk menjadi dua bentuk, yaitu: al-milk at-tamm (milik sempurna) dan al-milk an-naqis (milik tidak sempurna).

Al-milk at-tamm adalah penguasaan seseorang secara penuh terhadap materi dan manfaat harta, sehingga seluruh hak yang terkait dengan harta itu berada di bawah kekuasaannya. Milk seperti ini bersifat mutlak, tidak dibatasi masa, dan tidak bisa digugurkan orang lain.

Sementara al-milk an-naqis adalah penguasaan seseorang hanya terhadap materi harta itu, sedangkan pemanfaatannya dikuasai orang lain. Misalnya, rumah atau sawah seseorang yang pemanfaatannya diserahkan kepada orang lain, baik melalui sewa-menyewa maupun peminjaman.

Milk dalam bentuk ini, yang dapat terjadi baik pada pemilik harta maupun pada pemilik manfaat, mempunyai ciri khusus sebagai berikut:

(1) dapat dibatasi waktu, tempat, dan sifat;

(2) tidak dapat diwariskan, menurut ulama Mazhab Hanafi, karena manfaat tidak termasuk harta dalam pengertian mereka, sedangkan jumhur ulama membolehkannya;

(3) orang yang akan memanfaatkan harta itu dapat menuntut harta bersangkutan dari pemiliknya apabila harta itu telah diserahkan menjadi amanah di tangannya;

(4) orang yang memanfaatkan harta itu wajib mengeluarkan biaya pemeliharaannya; dan

(5) orang yang memanfaatkan barang itu wajib mengembalikan harta itu apabila diminta oleh pemiliknya, kecuali apabila orang yang memanfaatkan mendapat mudarat dengan pengembalian harta itu.

Pemilikan manfaat (milk al-manfa‘ah) dapat terjadi melalui lima bentuk, yaitu:

(1) al-i‘arah (pinjaman), pemilikan manfaat tanpa ganti rugi, seperti seseorang meminjam buku;

(2) ijarah (sewa-menyewa), pemilikan manfaat dengan ganti rugi/ sewa, seperti sewa rumah;
(3) wakaf (pemilikan manfaat oleh orang yang menerima wakaf dan orang lain hanya boleh memanfaatkan wakaf tersebut atas seizinnya);

(4) wasiat (pemberian yang berlaku setelah yang berwasiat wafat); dan

(5) al-ibahah, penyerahan manfaat milik seseorang kepada orang lain, seperti mengizinkan seseorang memetik buah di kebun dan menyediakan harta untuk kepentingan umum.

Perbedaannya dengan al-milk at-tamm adalah bahwa dalam al-milk at-tamm, seseorang bertindak terhadap miliknya tanpa harus minta izin kepada siapapun, sedangkan dalam al-ibahah, harta hanya dapat dimanfaatkan atas izin pemiliknya atau izin umum yang ditentukan terhadap harta itu, jika harta itu merupakan milik bersama.

Pemilikan manfaat berakhir apabila terjadi hal berikut:

(1) habisnya masa berlaku pemanfaatan,
(2) barang yang dimanfaatkan rusak atau hilang, dan
(3) orang yang memanfaatkannya wafat, menurut ulama Mazhab Hanafi, karena manfaat tidak dapat diwariskan.

Ulama fikih membedakan antara pemilikan manfaat dan hak memanfaatkan sesuatu (haqq al-intifa‘ ) dari segi makna serta batasannya, segi asalnya, dan segi dampaknya. Dari segi makna dan batasannya, hak khusus pemilik manfaat melekat pada harta yang ia manfaatkan, tanpa campur tangan orang lain.

Contohnya, orang yang menyewa rumah berhak untuk bertindak memanfaatkan rumah itu sesuai dengan keinginannya, selama tidak menghilangkan manfaat rumah itu. Hak memanfaatkan sesuatu tidak demikian halnya.

Harta yang dimanfaatkan itu merupakan milik bersama (umum) dan pemanfaatannya disyaratkan tidak merugikan kepentingan umum, seperti pemanfaatan jalan, jembatan, dan sungai. Dari sini terlihat bahwa hak dalam pemilikan manfaat lebih kuat daripada hak pemanfaatan sesuatu.

Dari segi asalnya, pemilikan manfaat berawal dari suatu akad dengan syarat dan rukun yang harus dipenuhi, sedangkan hak memanfaatkan sesuatu berawal dari status benda itu sendiri, yaitu benda itu memang khusus disediakan untuk kepentingan umum; atau berawal dari izin yang diberikan pemilik harta itu, seperti tamu diizinkan memakan makanan tuan rumah.

Dari segi dampaknya, tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pemilikan manfaat persis sama dengan tindakan hukum atas milik sendiri, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam akad.

Berdasarkan hal ini, ulama fikih menyatakan bahwa secara hukum boleh saja seseorang menyewa rumah, lalu menyewakannya pula kepada orang lain selama tidak menyalahi ketentuan yang telah disepakati pada waktu akad disetujui.

Berbeda halnya dengan hak pemanfaatan sesuatu. Dalam hal ini harta bersangkutan hanya untuk diri pemanfaat, tidak boleh dipinjamkan atau disewakan kepada orang lain.

Hak memanfaatkan sesuatu terjadi melalui tiga sebab, yaitu:

(1) apabila harta disediakan untuk kepentingan umum, seperti jalan raya dan jembatan;

(2) apabila disyaratkan dalam suatu transaksi, seperti pembelian sebuah rumah dengan syarat diberi lahan untuk lewat ke rumah itu; dan

(3) apabila hak itu telah ada sejak lama dan tidak diketahui siapa pemiliknya.

Hak memanfaatkan sesuatu dapat dicontohkan sebagai berikut:

(1) Haqq asy-syurb, yakni hak untuk memanfaatkan aliran air (sungai, bendungan, atau danau) untuk mengairi sawah atau kebun;

(2) Haqq al-majari, yaitu hak pemilik lahan yang jauh dari aliran air untuk mengalirkan air di atas lahan orang lain untuk mengairi sawah atau ladangnya;

(3) Haqq al-masil, yaitu hak untuk mengalirkan limbah rumah tangga melalui tanah orang lain ke tempat pembuangan umum;

(4) Haqq al-murur, yaitu hak untuk lalu lalang di tanah orang lain, baik tanah itu merupakan jalanan umum maupun milik pribadi; dan

(5) Haqq al-jiwar, yaitu hak bertetangga, yang terdiri atas tetangga di samping rumah, di tingkat atas, atau tingkat bawah.

Dalam status hak bertetangga ini, orang yang tinggal di atas rumah orang lain berhak untuk tetap tinggal di atas sampai bangunan itu seluruhnya runtuh. Oleh sebab itu, pemilik rumah di tingkat bawah tidak boleh membongkar tiang rumahnya, karena tiang itu juga milik tetangga di tingkat atas.

Sebaliknya, pemilik rumah di tingkat atas tidak boleh membongkar lantainya, karena lantai rumahnya itu menjadi atap rumah yang di bawah. Jadi, seseorang mempunyai hak atas milik tetangganya.

Demikian juga halnya dengan dua orang yang bersebelahan rumah, khususnya apabila­ pembatas kedua rumah itu adalah dinding yang sama.

Sifat Milk dalam Islam. Persoalan ini dibahas oleh ulama fikih dalam kaitan apakah milik pribadi dapat dimanfaatkan sebebas mungkin tanpa memperhatikan kepentingan orang lain atau masyarakat banyak.

Dalam Islam, baik harta maupun hak milik pada dasarnya kepunyaan Allah SWT (QS.5:120), dan pemilikan harta itu oleh seseorang lebih bersifat majas. Artinya, hak milik dan harta yang dipunyai seseorang merupakan amanah Allah SWT di tangannya (QS.57:7) dan harus dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bumi ini adalah bumi Allah, dan siapa yang menggarapnya maka ia lebih berhak atas garapannya itu” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah). Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda, “Dalam harta seseorang terdapat hak orang lain selain dari zakat” (HR. at-Tirmizi).

Oleh sebab itulah, para ahli fikih menetapkan bahwa ada batasan dalam pemanfaatan milik pribadi, yaitu tidak memudaratkan orang lain, misalnya tidak membunyikan radio dengan suara keras agar tidak mengganggu ketenangan tetangga.

Di samping itu, dalam pemanfaatan milik pribadi diupayakan agar memberi manfaat kepada orang lain, selama tidak memudaratkan pemiliknya sendiri. Dalam membangun sebuah rumah, misalnya, harus disediakan jalan untuk tetangga di belakang rumah itu agar mereka dapat dengan leluasa pulang pergi ke rumah mereka.

Daftar Pustaka

Hilmy, Mahmud. Ushul al-Iqtisad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1974.
Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtaœid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981 M.
as-Siba’i, Mustafa. Isytirakiyyah al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. ‘Aqd al-Bai‘. Beirut: Dar al-Fikr, 1967.

Nasrun Haroen