Istilah Melayu pada awalnya merujuk pada masyarakat berbahasa Melayu di pesisir Selat Malaka.
Selama berabad-abad posisi selat ini sangat strategis sebagai jalur dagang dan titik temu ragam budaya (melting pot). Masyarakat Melayu menjadi lebih terbuka, dan pada perkembangan selanjutnya berwatak kosmopolitan.
Sebelum kedatangan agama Hindu dan Buddha dari India, adat Melayu lama digunakan sebagai undang-undang untuk mengatur relasi internal masyarakat Melayu.
Dengan hidup di kawasan perkotaan pesisir, masyarakat Melayu menjadi terbuka untuk mengakomodasi unsur budaya dari luar, dan di kemudian hari, ketika budaya Melayu melebar di kawasan yang lebih luas, budaya ini juga mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Agama Hindu dan Buddha serta bahasa Sanskerta dari India adalah pengaruh dari luar yang ikut melahirkan budaya, bahasa, dan kesusastraan Melayu kuno. Pada periode Hindu-Buddha ini orang Melayu berkenalan dengan tulisan Pallawa, Kawi, dan tulisan India lainnya. Tetapi, tulisan ini sukar dipahami sehingga tidak populer dan tidak berkembang luas, kecuali hanya menghasilkan batu bertulis.
Penyebaran agama Hindu dan Buddha ke kawasan Melayu-Nusantara membantu persebaran kata-kata Melayu yang pada kenyataannya berasal dari bahasa Sanskerta di wilayah ini. Di antaranya yang masih dipakai hingga sekarang adalah guru, dosa, syurga (sur-ga), nuraka (neraka), siksa, nirwana, harta, warna, dewa, dewi, dan seri.
Pengaruh Hindu-Buddha terhadap pengayaan kosa kata bahasa dan penambahan karya sastra Melayu mencapai puncak dengan berdirinya Kerajaan Sriwijaya di Palembang dan Majapahit di Jawa.
Pengaruh institusi sosial-politik sangat tampak pada persebaran kosakata bahasa dan yang lebih penting pada karya sastra Melayu berbentuk puisi (selain pantun yang merupakan hak orisinal orang Melayu), seperti mantra, seloka, dan gurindam.
Cerita dan episode dalam kesenian wayang kulit di Jawa dan Semenanjung Malaka, seperti Hikayat Sang Boma, Hikayat Sri Rama, Hikayat Perang Pandawa Jaya, dapat dirunut pada dua epik besar Hindu: Mahabharata dan Ramayana.
Kitab agama Hindu, seperti Jataka (Pancatantra) dan Kathasaritsagara, berpengaruh besar terhadap cerita rakyat (folk tales) Melayu di Jawa. Meskipun watak dan prototipenya telah diubah, cerita rakyat Hikayat Malim Dewa, Hikayat Terung Pipit, Hikayat Indera Sakti, dan lain-lain adalah khas Hindu-Buddha dari India. Seni tari berdasarkan cerita dan episode agama Hindu ini sampai kini bertahan di Jawa, Bali, dan Kampuchea.
Meskipun agama Hindu-Buddha berjasa mengisi “ruang kosong” dalam tradisi sosial, politik, ekonomi, arsitektur, bahasa, dan karya sastra Melayu, sebagian pakar sejarah mengkritik bahwa sistem filsafat Hindu-Buddha yang metafisik, pandangan hidup yang fatalistik, dan sistem sosial yang feodal tidak saja menghambat perkembangan intelektualisme Melayu, tetapi juga menekan prinsip tata nilai egaliter dan sistem demokratis perkotaan pesisir Melayu.
Islam, yang masuk ke Melayu-Nusantara melalui kontak dagang seperti halnya agama Hindu dan Buddha, sejak abad ke-8 mengajarkan ideologi keagamaan yang egaliter dan demokratis. Melalui ideologi ini, Islam mengembalikan “budaya perkotaan pesisir” Melayu yang selama ini hilang.
Tidak berhenti sampai di situ, agama Islam melakukan islamisasi pada kerajaan, dan kemudian menopang institusi kerajaan berbasis “kota pesisir” di kawasan Melayu-Nusantara, seperti Malaka, Terengga-nu, Pahang, Pattani, Pasai, Aceh, Johor, Siak, Riau-Lingga, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Banjar, Makassar, Ambon, dan Bima.
Persebaran Islam pada perkembangan selanjutnya dipercepat oleh datangnya para ulama dan atau sufi, berdirinya institusi sosial politik kesultanan, persaingan antara para sultan (Islam) dan raja setempat (non-Islam), dan pertentangan terbuka dengan kolonialisme negara Eropa yang beragama Kristen.
Meskipun persebaran Islam di kawasan Melayu-Nusantara agak elitis, yakni dari raja ke bawah, proses dakwah ini tidak menurunkan kadar dan watak Islam yang egaliter dan demokratis.
Naskah Melayu lama, seperti Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai (hikayat as-Salathin), Hikayat Merong Mahawangsa, dan Taman Raja-Raja (Taj as-Salathin), merekam proses islamisasi itu. Islam berhasil mencairkan sistem feodal Hindu-Buddha, karena Islam mengandung unsur rasionalisme dan intelektualisme.
Tokoh Melayu Islam, seperti Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630), Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), Abdur Rauf Singkel (w. 1694), Hamzah Fansuri (w. 1607), Abdus Samad al-Palimbani (1704–1788), Syekh Daud al-Fatani, Muhammad Nafis al-Banjari, Muhammad Arsyad al-Banjari (1710–1812), Syekh Yusuf al-Makassari (1626–1699), Syekh Nawawi al-Bantani (l. 1813), dan Raja Ali Haji (1809–1870), serta beberapa tokoh yang lahir belakangan memainkan peran yang signifikan dalam mentransfer tradisi pemikiran keagamaan Timur Tengah ke dunia Melayu dengan menerjemahkan karya al-Ghazali (filsuf; 1058–1111), al-Qusyairi (ahli tafsir), asy-Syafi‘i (ahli hadis; 767–820).
Di tangan para tokoh itu, rasionalisme dan intelektualisme Islam terartikulasikan dengan sempurna. Melalui usaha kreatif merekalah nilai Islam dengan cepat menjadi warna dasar bagi sastra, adat-istiadat, tatanan sosial, teori dan ide politik, pemikiran dan praktik keagamaan, hukum Islam, dan kebudayaan Melayu.
Di bidang sastra, hikayat Melayu banyak diisi dengan “roh” Islam, misalnya Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Ali Hanafiyah, Hikayat Nur Muhammad, dan Hikayat Bakhtiar.
Ketika Islam yang sebenarnya merupakan unsur luar identitas Melayu telah menjadi ciri dasar, pengertian Melayu mengerucut pada pengertian yang kompleks: geografi, agama, budaya, adat-istidat, bahasa, dan sastra.
Dari segi geografis, Melayu adalah sebuah rumpun etnik yang terdiri dari kelompok masyarakat yang dipertalikan agama, bahasa, dan sosial budaya. Mereka mendiami kawasan yang terbentang mulai dari selatan Thailand hingga Malaysia sekarang, selanjutnya ke seluruh kawasan Indonesia yang dulu dikenal dengan Melayu-Nusantara, sebagian ke Filipina Selatan, termasuk Kepulauan Sulu-Mindanao dan Brunei Darussalam.
Negara tertentu di Asia Tenggara adalah kawasan utama rumpun Melayu. Di luar kawasan utama tersebut, penyebaran keturunan rumpun Melayu-Indonesia hingga saat ini dapat ditemui di Madagascar, Sri Lanka, dan Afrika Selatan.
Rumpun Melayu di Sri Lanka tetap menjaga identitas mereka (agama Islam dan bahasa Melayu) meskipun banyak juga kosakata mereka selama bertahun-tahun dipengaruhi bahasa Tamil dan Sinhala.
Cape Town, Afrika Selatan adalah tempat utama keturunan rumpun Melayu yang besar. Mereka termasuk penduduk Islam terbesar di Afrika Selatan. Meskipun bahasa tutur Melayu sudah hampir mati, mereka masih menggunakan banyak kosakata Melayu dalam percakapan sehari-hari.
Islam tetap menjadi identitas dasar mereka, sehingga sebutan orang Islam merujuk pada keturunan Melayu. Adapun keturunan Melayu di Madagascar kebanyakan berasal dari Pattani, yang melarikan diri dari kekejaman pemerintah Siam.
Di Arab Saudi keturunan Melayu Nusantara membangun koloni tersendiri yang dikenal dengan ahl al-jawi. Seluruh penduduk Kepulauan Cocos (Kepulauan Keling) di Australia, sebuah kepulauan yang dulunya milik pribadi keturunan Clunies Ross (bangsawan Inggris), juga merupakan keturunan Melayu.
Di Australia keturunan Melayu dapat ditemui pula di Darwin, Melbourne, dan Perth. Keturunan Melayu dalam koloni kecil juga menetap di Belanda, negara Skandinavia, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Suriname tinggal koloni dalam jumlah yang agak besar dari keturunan Melayu-Nusantara (Jawa).
Bahasa Melayu, identitas lain etnik ini, digunakan sebagai bahasa standar yang dipertuturkan baik di lingkungan internal maupun antara kelompok etnik ini dan kelompok etnik lain.
Pada abad ke-15 dan 16, bahasa Melayu menjadi lingua franca di kalangan 48 suku bangsa, mengatasi bahasa-bahasa kesukuan yang dipertuturkan di lingkungan suku bangsa tertentu.
Sebagai contoh, semua penduduk Pattani di Thailand Selatan akan dapat memahami dan mempertuturkan bahasa Melayu yang juga dapat dipahami dan dimengerti penduduk Gorontalo Utara.
Pada perkembangan selanjutnya dan hingga saat ini, bahasa Melayu bukanlah merupakan bahasa kesukuan, seperti bahasa Bugis, Minangkabau, Mandailing, Sunda, Sasak, Batak, Jawa, Bidayuh, Dayak, Kadazan, dan Aceh.
Sungguhpun para ahli ilmu bahasa dan kebudayaan selalu menganggap mereka sebagai suatu rumpun yang dikenal sebagai orang Melayu, namun bangsa Melayu sebenarnya hidup terpisah dalam beberapa subkelompok, dan mungkin dialek bahasanya juga sebanyak subkelompok itu.
Mereka bernaung di bawah kekuasaan sosial politik kesultanan yang wilayah kekuasaannya mengalami pasang surut. Imperium besar Melayu pra-Islam adalah Kerajaan Sriwijaya di Bukit Siguntang Mahamiru, Palembang, dan Kerajaan Majapahit di Jawa. Kerajaan Malaka adalah kesultanan besar Melayu-Islam terakhir yang pengaruh kekuasaannya meliputi Keplauan Melayu-Nusantara.
Jauh sebelum Malaka berdiri, di Thailand Selatan berdiri Kesultanan Pattani yang memiliki kekuasaan terbatas. Begitu juga kesultanan Melayu Islam di Nusantara, seperti Pasai, Aceh, Pagaruyung, Riau-Lingga, Siak, Palembang, Banten, Demak, Goa-Tallo, dan Bima, memiliki batas kekuasaan yang tidak jelas karena luasnya terkadang berubah-ubah sesuai dengan dinamika kekuasaan kesultanan itu sendiri.
Kesultanan Melayu Islam lain dengan karakteristik yang sama adalah Kesultanan Jolo dan Sulu-Mindanao di Filipina Selatan, juga kesultanan yang pada perkembangan akhirnya berada di wilayah Malaysia, seperti Kedah, Perak, Selangor, Rembau, Johor-Baharu, Perlis, Pahang, Kelantan, dan Terengganu.
Imperium sosial politik Melayu Islam yang berbentuk kesultanan itu hancur oleh kehadiran kolonialisme Barat. Kehadiran kolonialisme inilah yang menjadi faktor penentu batas politik kelompok etnik Melayu, dan ketika pada perkembangan selanjutnya terjadi proses regionalisasi menjadi negara-bangsa (nation-state), kekuatan kolonialisme juga memisahkan rakyat kesatuan Melayu menjadi warga negara berbagai negara yang terpisah-pisah.
Portugis merupakan kekuatan Barat pertama yang menginjakkan kaki di daerah ini dengan menaklukkan Kesultanan Malaka pada 1511. Akan tetapi, pada pertengahan abad ke-17 bangsa Portugis dikalahkan Inggris dan Belanda. Belanda kemudian menguasai ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke yang kini menjadi wilayah Indonesia.
Inggris menguasai negara Semenanjung Malaka atau Malaya, termasuk wilayah Sabah dan Serawak yang pada 1963 berganti nama menjadi Malaysia. Spanyol kemudian Amerika Serikat menguasai kepulauan lain yang kini disebut Filipina. Kolonialismelah yang memisah-misahkan rakyat kesatuan Melayu dalam kelompok di bawah naungan bangsa baru.
Pandangan umum yang berkembang di Malaysia, sebutan Melayu hampir identik dengan rakyat pribumi yang kini mendiami negara itu. Adapun sebagian orang Melayu yang kini tinggal di Filipina disebut orang Filipina (karena afiliasi negara) atau orang Sulu-Mindanao (afiliasi geografis), dan belakangan mereka juga menggunakan istilah “Bangsa Moro”.
Begitu juga halnya, orang Melayu yang tinggal di Indonesia dikenal dengan orang Indonesia, yang tinggal di Thailand disebut orang Thailand, yang tinggal di Singapura disebut orang Singapura, dan yang tinggal di Brunei Darussalam disebut orang Brunei.
Negara kolonialisme Barat dianggap sebagai pihak yang memberlakukan politik separatisme perbatasan sedemikian rupa sehingga kurang terlihat kesamaan asal usul, kebudayaan, dan sejarah yang merupakan warisan seluruh penduduk persada Melayu.
Usaha menyatukan orang Melayu menjadi satu negara bukan tidak pernah dilakukan. Perjuangan politik ke arah itu telah diusahakan Dr. Burhanuddin al-Helmy dengan mendirikan Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) yang dideklarasikan di Ipoh, Perak pada 17 Oktober 1945.
Tokoh lain adalah Ibrahim bin Haji Yacoob dan Ahmad Bastaman yang mendirikan Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung (KRIS). Meskipun motivasi dasar politik KRIS adalah untuk membendung dominasi politik dan ekonomi Cina di tanah Melayu pada zaman kolonialisme, PKMM dan KRIS disatukan oleh pandangan bahwa “kebangsaan Melayu” merupakan sebuah “nasionalitas” (Malay as a Nationality), dan oleh karena itu, keduanya berusaha mengikat dalam sebuah keluarga besar Republik Indonesia Raya.
Kesamaan rumpun dan asal usul sejarah dijadikan platform gerakan politik PKMM dan KRIS untuk menyatukan Malayo-Polynesian Ethno Linguistic Group yang tengah mengalami proses regionalisasi ke dalam negara-bangsa yang merdeka. Akan tetapi, baik PKMM maupun KRIS ternyata hanyalah merupakan partikel kecil da-lam sebuah dinamika sejarah yang tengah bergerak menuju bentuk negara bangsa.
Bagi orang Melayu yang kini tinggal di Malaysia, definisi Melayu menjadi lebih kompleks lagi dengan adanya dua sebutan lain, yakni definisi legal dan sebutan baru (“bumiputera” [anak negeri]). Menurut konstitusi Malaysia, orang Melayu diartikan sebagai penganut agama Islam, berbicara dalam bahasa Melayu, mematuhi adat-istiadat Melayu, dan
(a) dilahirkan sebelum hari kemerdekaan di negara Federasi, atau Singapura, atau di negara yang pada hari kemerdekaan bertempat tinggal di negara Federasi atau Singapura; atau
(b) keturunan dari orang yang disebut di atas. Konstitusi Malaysia menjamin orang Melayu mempunyai posisi khusus, yang merupakan tanggung jawab yang dipertuan agung untuk melindunginya. Posisi khusus tersebut mencakup pengangkatan pegawai negeri, pemberian beasiswa, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan, serta hak untuk mendapat lisensi dan izin. Yang dipertuan agung mempunyai kuasa untuk menentukan jumlah yang cocok sebagai cadangan bagi orang Melayu.
Sebutan “bumiputera” adalah:
(a) yang mempunyai hubungan dengan Serawak, dan termasuk salah satu kelompok pribumi di sana, atau berdarah campuran yang berasal semata-mata dari kelompok itu; dan
(b) yang mempunyai hubungan dengan Sabah, seorang penduduk Sabah, dan seorang anak atau cucu dari seorang yang berasal dari keturunan pribumi Sabah (baik pada atau setelah hari kemerdekaan Malaysia), baik yang di Sabah maupun yang ayahnya berdomisili di Sabah pada waktu ia lahir.
Mereka yang dikategorikan sebagai “bumiputera” telah memperoleh legalitas khusus, terutama sejak terbentuknya negara Malaysia. Sebelum negara Malaysia terbentuk, istilah “bumiputera” pada umumnya digunakan untuk membedakan orang Melayu dengan para imigran Cina dan India yang bukan pribumi.
Setelah negara Malaysia terbentuk, konstitusi Malaysia mengartikan istilah “bumiputera” dengan orang pribumi asli dan atau keturunannya di Sabah dan Serawak serta orang pribumi asli di Semenanjung Malaka.
Definisi secara legal dan posisi yang jelas dalam konstitusi Malaysia terhadap bumiputera dimaksudkan demi penyamaan hak orang pribumi asli, seperti orang Iban di Serawak dan orang Kadazan di Sabah.
Islam adalah variabel pembeda yang sangat jelas antara warga negara Malaysia yang termasuk kategori Melayu dan mereka yang disebut “bumiputera”. Meskipun Islam menjadi karakter orang Melayu yang autentik dan indigenous, ternyata pada elemen itu terpendam potensi perseteruan yang sengit dengan pihak lain.
Status Islam pada orang Melayu telah membuat mereka seakan-akan identik secara ideologis dan teologis ketika terjadi pertarungan antara Islam sebagai tradisi serta agama dan non-Islam dalam lingkungan masyarakat Malaysia.
Di wilayah Nusantara, suku bangsa Melayu sejak awal mendiami seluruh pantai timur Sumatera (dari utara [Aceh], Deli Tua [Melayu Deli], hingga selatan [Palembang]), dan pantai barat Kalimantan.
Dalam kategori etnik, di samping Melayu masih mendominasi wilayah, seperti Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat, pada dua wilayah ini identitas sebagai Melayu tertanam kuat pada kesadaran mereka.
Wilayah lain di Sumatera yang identitasnya sebagai Melayu agak menonjol ialah kelompok suku bangsa yang mendiami wilayah yang meliputi bahasa Pasemah, Serawai, Kaur, Semendo, Mekakau, Lembak Bliti, Lembak, Lembak Sindang, Ogan, Lematang, dan Musi.
Mereka disebut Midden-Maleisch (Melayu Tengah) menurut istilah Helfrich (kepala Depertemen Kelautan Hindia Belanda; 1886–1962). Suku bangsa yang mendiami kawasan Melayu Tengah itu kini masuk wilayah Sumatera bagian selatan (Palembang, Lampung, dan Bengkulu) serta Jambi.
Suku bangsa tersebut adalah pemilik bahasa tutur dan adat-istiadat kesukuan yang kompleks. Sebagian besar orang Melayu di Indonesia memeluk agama Islam (80%), selebihnya menganut agama Hindu, Buddha, Kejawen, Lutheran, dan Katolik. Di negara Asia Tenggara yang jumlah kaum Melayu
Islamnya menempati posisi minoritas, seperti di Thailand, Filipina, dan Singapura, masyarakat Melayu menghadapi kesulitan ketika hendak melakukan akulturasi dalam wadah kebangsaan.
Kesulitan itu muncul karena adanya perbedaan agama, budaya, bahasa, bahkan ikatan sejarah masa lampau. Tetapi, kesulitan yang sama tidak muncul pada kaum Melayu muslim yang berdiam di negara Asia Tenggara tertentu yang mayoritas penduduknya menganut Islam, seperti Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Daftar Pustaka
Ali, S. Husin. Rakyat Melayu: Nasib dan Masa Depannya, terj. Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985.
Deraman, Aziz. Masyarakat dan Kebudayaan Malaysia. Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan, Belia, dan Sukan Malaysia, 1975.
Halim, Sayid. Esei-Esei Topikal Sejarah Melayu: Analisa Cerita dan Panduan Jawaban. Selangor: Media Intelek Sdn. Bhn., 1985.
Hasan, Mohd. Yusof. Dunia Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, 1991.
Hashim, Muhammad Yusoff. Pensejarahan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, 1992.
Mahmood, Ibrahim. Sejarah Perjuangan Bangsa Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Pustaka Antara, 1981.
Mutalib, Hussin. Islam dan Etnisitas: Perspektif Politik Melayu. Jakarta: LP3ES, 1996.
Roff, William R. The Origins of Malay Nationalism. Oxford: Oxford University Press, 1994.
Achmad Syahid