Mekah adalah kota suci umat Islam, tempat berdirinya Ka’bah, tempat umat Islam melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun kelima Islam, dan tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kota ini disebut juga Bakkah (seperti pada QS.3:96) atau Umm al-Qura (seperti pada QS.6:92 dan QS.42:7).
Mekah terletak kira-kira 330 m di atas permukaan laut, 39°28’ BT dan 21°27’ LU. Kota itu merupakan lembah kering, yang dikelilingi pegunungan karang yang tandus. Panjang lembah itu dari barat ke timur sekitar 3 km, dan lebar dari utara ke selatan sekitar separuhnya.
Di sebelah timur, lembah itu dibentengi Gunung Abu Qubais (Jabal Abu Qubais); di sebelah selatan dibatasi oleh Gunung Abi Hadidah (Kudai) dan Gunung Khundamah; sedangkan di sebelah utara dibatasi Gunung al-Falj, Gunung Qaiqa’an, Gunung Hindi, Gunung Lu’lu’, dan Gunung Kada (gunung tertinggi).
Dari Gunung Kada inilah Nabi Muhammad SAW beserta kaum muslimin memasuki kota Mekah dalam peristiwa Fath al-Makkah (penaklukan Mekah) pada bulan Muharam 8.
Sejak dahulu, Mekah menjadi tempat persinggahan para kafilah, yang mengadakan perjalanan antara Yaman di selatan dan Syam (Suriah) di utara (QS.106:2). Dahulu, untuk memasuki kota Mekah, hanya ada tiga jalan melalui tiga celah, yaitu celah utara di kaki Gunung al-Falj, celah barat menuju Laut Merah, dan celah selatan menuju Yaman.
Dalam sejarah Islam, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, kota ini dikenal sejak zaman Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS (QS.2:124–129).
Menurut ayat Al-Qur’an tentang keberadaan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, dan cerita Bani Israil yang diterima dan dijadikan sumber oleh para mufasir, penduduk Mekah ataupun Hijaz, bahkan Semenanjung Arabia pada umumnya, berasal dari keturunan Nabi Ismail AS.
Mula-mula Ismail AS kawin dengan gadis dari Kabilah Jurhum; tetapi karena istrinya itu kurang menghormati Ibrahim AS, ayahnya itu menyarankan agar ia menceraikan istrinya. Maka kemudian Ismail AS menceraikan istrinya dan kawin dengan putri Muzaz bin Amr, seorang tokoh Kabilah Jurhum.
Dari istrinya ini Ismail AS mempunyai 12 orang anak. Di antara keturunannya itu ada yang disebut kaum Ad dan kepada mereka diutus nabi yang bernama Hud.
Menjelang kedatangan agama Islam, semua penduduk Mekah mengaku sebagai keturunan Quraisy atau Fihr atau an-Nadir. Namun demikian, mereka terbagi-bagi lagi dalam beberapa kabilah.
Yang paling berpengaruh adalah Bani Hasyim, Bani Umayah, Bani Naufal, Bani Zuhra, Bani Asad, Bani Ta’im, Bani Makhzum, Bani ‘Adi, Bani Djamah, dan Bani Sahm. Nabi Muhammad SAW berasal dari Bani Hasyim. Kabilah yang mula-mula menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW adalah Bani Ta’im (kabilah Abu Bakar as-Siddiq) dan Bani ‘Adi (kabilah Umar bin Khattab).
Mekah sebelum Islam tidak disebut-sebut sebagai suatu kerajaan, melainkan sebagai tempat tinggal suku Quraisy, yang sewaktu-waktu pada musim panas pindah ke Syam (Suriah) dan pada musim dingin ke Yaman (QS.106:2).
Tetapi pada waktu itu telah ada pengaturan tentang tugas yang menyangkut ibadah dan sosial kemasyarakatan. Kira-kira 2 abad sebelum hijrah, jabatan itu dipegang Qusay bin Kilab, kakek kelima Rasulullah SAW, yang bertanggung jawab atas urusan Hijabah (pemegang kunci pintu Ka’bah), Siqayah (pengawas mata air Zamzam), Rifadah (penyedia makanan bagi para tamu), Nadwa (pemimpin rapat antarsuku), Liwa’ (pengatur panji perang), dan Qiyadah (pemimpin pasukan perang jika harus terjadi perang).
Beberapa literatur menggambarkan bahwa slah satu daya tarik Mekah bagi para kafilah dagang yang mengadakan perjalanan jauh adalah sumur Zamzam. Sumur itu sudah ada sejak Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim AS) mencari-cari air di antara Bukit Safa dan Bukit Marwah. Sumur itu kemudian disempunakan Muzaz bin Amr, mertua Nabi Ismail AS.
Sampai beberapa waktu menjelang hijrah (622), Mekah tidak mempunyai pelabuhan, meskipun terletak dekat Laut Merah. Ketika umat Islam hijrah pertama kali ke Abessinia, Shu’aiba, seorang muslim dari Abessinia, berlabuh di pantai yang kemudian disebut Jiddah.
Beberapa orang pedagang lainnya kemudian ikut singgah di tempat tersebut. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, rute dagang antara Mekah (Hijaz) dan Syam (Suriah) diputus oleh umat Islam di Yatsrib (Madinah). Baru pada masa Khalifah Usman bin Affan, Jiddah dibangun menjadi pelabuhan untuk Mekah.
Tetapi orang musyrikin Quraisy di Mekah tidak mempunyai pikiran untuk membangun pelabuhan di tepi Laut Merah. Oleh karena itu secara praktis pusat perdagangan pindah ke Madinah. Rute dagang dari timur (India, Cina) yang biasanya melalui Yaman-Hijaz, beralih melalui Teluk Persia ke Yatsrib, kemudian ke Syam dan Palestina.
Pada 8 H/630 M Mekah dikuasai kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Peristiwa itu terkenal dengan nama Fath Makkah. Sejak 9 H/631 M, kaum nonmuslim (musyrikin) tidak diperkenankan lagi tinggal di Mekah, sesuai dengan firman Allah SWT,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini…” (QS.9:28).
Setelah peristiwa Fath al-Makkah, Rasulullah SAW tetap tinggal di Madinah sampai wafatnya. Pada masa pemerin tahan al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar), juga Mekah tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan.
Pusat pemerintahan tetap di Madinah. Kendati demikian, mereka tetap memperhatikan pembangunan kota itu. Misalnya, pada masa Khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, dibangun semacam tanggul untuk menahan limpahan lumpur yang menggenangi sekitar Ka’bah pada waktu hujan atau banjir.
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, kota ini mendapat perhatian. Mu‘awiyah bin Abi Sufyan memperbaiki bangunan Ka’bah, mendirikan bangunan serta mengadakan lahan pertanian di sekitar kota Mekah, menggali sumur, dan membangun bendungan untuk penampungan air.
Pada masa Marwan bin Hakam, Mekah menjadi kota yang menyenangkan, tempat bertemunya para penyair di samping tempat melakukan ibadah haji setiap bulan Zulhijah. Rencana pembangunan Masjidilharam dalam bentuk bangunan yang mengelilingi Ka’bah dilakukan Khalifah al-Walid I (86 H/705 M–97 H/715 M). Untuk keperluan ini dipekerjakan arsitek Kristen dari Suriah dan Mesir.
Pada masa Yazid I (61 H/680 M–64 H/683 M), Abdullah bin Zubair di Mekah tidak mau mengadakan baiat kepada Yazid, dengan dukungan penduduk Mekah ia menyatakan diri sebagai khalifah.
Gerakan Abdullah bin Zubair ditumpas oleh Hajjaj bin Yusuf. Ibnu Zubair dan pendukungnya membuat markas di Masjidilharam. Ka’bah ketika itu sempat mengalami kerusakan karena manjanik (katapel berapi) pasukan al-Hajjaj, tetapi Ibnu Zubair dapat dikalahkan.
Pada 744 kaum Khawarij dari Yaman mengadakan pemberontakan ke Mekah, tetapi pada tahun itu juga dapat dipatahkan bala tentara Khalifah Marwan II (127 H/744 M–133 H/750 M).
Ketika Dinasti Abbasiyah berdiri pada 750, pusat pemerintahan berada di Baghdad. Tetapi dua tanah haram (haramain), yaitu Mekah dan Madinah, tetap menjadi perhatian para khalifahnya. Terkadang Mekah dan Ta’if dijadikan satu wilayah di bawah satu gubernur, sementara Madinah tersendiri.
Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid (170 H/786 M–194 H/809 M), setiap khalifah melakukan ibadah haji sampai sembilan kali. Khalifah itu selalu membagi-bagikan kekayaan di kota suci Mekah. Tetapi perlakuan ini menimbulkan efek sampingan yang tidak baik kepada penduduk Mekah; mereka menjadi terbiasa mengharapkan pemberian hadiah setiap harinya.
Pada masa Khalifah al-Ma‘mun (198 H/813 M–218 H/ 833 M), di Mekah terjadi lagi pemberontakan, yang dilakukan kaum Alawiyin (pengikut Ali bin Abi Thalib) di bawah pimpinan Husain al-Attas dan Ibrahim bin Musa, yang pengaruhnya meliputi Mekah, Madinah, dan Yaman.
Mereka mengadakan kerusuhan di bagian barat Arab dan sempat mencuri barang berharga dari Ka’bah. Begitu kuat pengaruh kaum Alawiyin di Mekah (dan Hijaz pada umumnya), sampai-sampai al-Ma‘mun sempat mengangkat dua orang gubernur Mekah dari kalangan Alawiyin.
Wafatnya Khalifah al-Ma‘mun merupakan awal kemunduran Dinasti Abbasiyah. Di kota suci Mekah pun mulai terjadi kekacauan. Sulitnya makanan mengakibatkan para penduduknya mengalami kelaparan.
Ketika itu kaum Alawiyin mendapat angin baru dengan bangkitnya Dinasti Hasaniyah di Tabaristan (Iran). Di Mekah, dua orang pengikut Hasaniyah, Ismail bin Yusuf dan saudaranya Muhammad bin Yusuf, merasa mendapat dukungan moral dengan terbentuknya dinasti itu. Dua bersaudara itu mengadakan kerusuhan di Madinah dan Jiddah (Mekah).
Kemudian muncul pula kaum Qaramitah (kelompok Syiah radikal) yang mengadakan kekacauan di Mekah. Pada 317 H/929 M, 1.500 orang pasukan Qaramitah memasuki Mekah dan membantai ribuan penduduk sipil tidak berdosa, mencuri Hajar Aswad (Batu Hitam) dan membawanya ke Bahrein. Hajar Aswad itu baru direbut lagi dan dikembalikan ke tempatnya semula di sudut luar dinding Ka’bah pada 951.
Pada 960–1200 daerah Hijaz yang meliputi Haramain dan sekitarnya dikuasai kaum Alawiyin. Yang ada hubungan darah dengan Ali melalui Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib diberi gelar syarif.
Kedudukan Hijaz di bawah para syarif adalah sebagai duwailah (dinasti kecil) yang otonom dan mempunyai semacam hubungan diplomatik dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir dan pemerintahan Baghdad yang ketika itu berada di bawah pengaruh Dinasti Buwaihi. Ketiga dinasti itu adalah pengikut Syiah tetapi berlainan sekte.
Dalam masa kurang lebih 2,5 abad itu Mekah diperintah sejumlah syarif. Dari Dinasti Musawi (keturunan Musa) ada empat syarif, yaitu Ja‘far (961–980), Isa (980–994), Abu al-Futuh (994–1039), dan Syukr (1039–1061).
Kemudian pemerintahan diteruskan oleh Sulaiman, saudara Musa, tetapi ia hanya memerintah pada 1061 karena digeser oleh Abu Hasyim Muhammad yang mendirikan Dinasti Hawasyim (1063–1200). Penguasa Dinasti Hawasyim tidak begitu dikenal, kecuali Abu Hasyim Muhammad sendiri.
Hubungan para syarif dengan dinasti tetangganya tidak selamanya baik. Misalnya, pada 976 Mekah menolak untuk menaruh hormat kepada khalifah Fatimiyah di Mesir. Maka Fatimiyah mengepung Mekah dan memutuskan semua pengiriman barang dari Mesir. Akhirnya Mekah tunduk kepada Fatimiyah, karena dalam hal kebutuhan pokok sehari-hari, terutama makanan, Mekah sangat tergantung pada Mesir.
Dalam keluarga para syarif juga sering terjadi rebutan pengaruh. Ketika Syarif Syukr tidak meninggalkan pengganti, timbul kerusuhan yang dilakukan Bani Syaibah, yang masih berasal dari lingkungan keluarga Alawiyin. Mereka mengambil barang dari Ka’bah untuk keperluan sendiri.
Dalam keadaan demikian, tampil penguasa Yaman, as-Sulaihi, untuk mengamankan kota Mekah. Melihat adanya campur tangan orang luar (dari Yaman), para keluarga syarif mengusulkan beberapa calon syarif kepada as-Sulaihi, yang kemudian menunjuk Abu Hasyim Muhammad (1063–1094), anak Musa dan saudara Syarif Ja‘far.
Tetapi pilihan ini mendapat tantangan dari pamannya sendiri, Syarif Sulaiman. Pertikaian ini dimenangkan oleh Abu Hasyim Muhammad, yang kemudian membentuk Dinasti Hawasyim.
Pemerintahan Syarif Abu Hasyim bukanlah pemerintahan yang simpatik. Ia kurang memelihara hubungan baik dengan Dinasti Fatimiyah dan Dinasti Salajikah yang ketika itu sedang menguasai Baghdad.
Para jemaah haji di kota suci sering mendapat gangguan dari orang-orangnya. Sebagai contoh, pada masa penggantinya, rombongan jemaah haji dari Spanyol di bawah pimpinan Ibnu Jubair, yang berkunjung ke Mekah 1183 dan 1185, menulis laporan tentang suasana kekacauan kota suci sebagaimana ia saksikan sendiri.
Dinasti Hawasyim kehilangan pengaruhnya di Mekah ketika Dinasti Ayubiyah menggantikan Dinasti Fatimiyah di Mesir dan menguasai beberapa bagian dari Asia Dekat, seperti Syam dan Semenanjung Arabia bagian barat. Sementara itu, di Baghdad, Dinasti Salajikah atau Bani Seljuk mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Buwaihi.
Pada 1200–1788 Mekah dikuasai Syarif Katada dan keturunannya sampai kaum Wahabi menguasai kota suci itu. Katada adalah salah seorang keturunan Musa yang merupakan nenek moyang Dinasti Musawi dan Dinasti Hawasyim.
Mula-mula ia tinggal dan memantapkan pengaruhnya di Yanbu‘, sebuah kota pelabuhan kecil di luar Mekah. Dengan bantuan anaknya yang bernama Hanzala, ia menguasai Mekah ketika orang Mekah sedang menjalankan umrah dan memperingati perbaikan bangunan Ka’bah yang dilakukan Abdullah bin Zubair, serta memperingati peristiwa isra mikraj Nabi Muhammad SAW. Munculnya Katada membuat Mekah kembali dikuasai para syarif.
Katada ingin Hijaz menjadi daerah otonom, bebas dari pengaruh kekuatan politik mana pun dari luar. Mula-mula ia memperlihatkan rasa bencinya kepada penguasa Dinasti Ayubiyah di Mesir, Sultan al-Malik al-Adil (1145–1218). Ia juga membangkitkan kemarahan Khalifah Abbasiyah di Baghdad dengan perlakuan tidak simpatik terhadap jemaah haji Irak.
Tetapi khalifah di Baghdad memperlakukannya dengan kepala dingin. Ketika datang ke Baghdad, utusan Katada kembali ke Mekah dengan membawa berbagai hadiah dari khalifah. Khalifah malah pernah mengundang Katada ke Baghdad, namun undangan ini tidak pernah dipenuhi. Ia wafat dalam suatu pembantaian massal atas keluarganya, yang dilakukan anaknya sendiri, Hasan, dalam upaya melepaskan diri dari kemungkinan adanya saingan.
Dalam keadaan kacau seperti itu, penguasa Ayubiyah di Mesir, Mas‘ud, menempatkan seorang jenderalnya sebagai gubernur Mekah dalam rangka membatasi pengaruh para syarif. Tetapi tak lama kemudian, kekuasaan kembali ke tangan para syarif dengan dukungan penguasa Yaman sebagai benteng untuk melawan Ayubiyah.
Pada pertengahan abad ke-13, dunia Islam dilanda keka-cauan. Baghdad dibumihanguskan Hulagu Khan dari Kerajaan Mongol pada 1258. Di Mesir, Dinasti Ayubiyah dikalahkan Dinasti Mamluk.
Mekah ada di bawah pengaruh Dinasti Mamluk; Sultan Baibars (1260–1277) membiarkan Mekah dikuasai para syarif di bawah pengawasannya. Tetapi para syarif tidak ingin begitu saja berada di bawah pengawasan orang lain. Di antara para syarif ada juga yang mempunyai pengaruh kuat di wilayah kekuasaannya, misalnya Syarif Abu Numaiy.
Hingga abad ke-18, Mekah dikuasai Syarif Katada dan keturunannya, berturut-turut sebagai berikut: Katada (1200– 1221), Ibnu Katada (1221–1254), Abu Numaiy I (1254–1301), Ibnu Abi Numaiy (1301–1346), Ajlan (1346–1375), Ibnu Ajlan (1375–1396), Hasan I (1396–1426), Barakat I (1426–1455), Muhammad (1455–1479), Barakat II (1479–1525), Abu Nu-maiy II (1525–1566), Hasan II (1566–1601), Ibnu Hasan II (1525–1631), Zaid (1631–1666), Sa’d I (1666–1672), Dhawi Barakat (1672–1684), Sa’d II (1684–1704), Dhawi Barakat II (1704–1711), Dhawi Zaid (1711–1770), Sarur (1773–1788), Galib (1788–1813), Yahya bin Sarur (1813–1827), Muhammad (1827–1851), Abdul Muthalib (1851–1856), Muhammad (1856–1858), Abdullah (1858–1877), Husain I (1877–1880), Abdul Muthalib (1880–1882), Awn ar-Rafiq (1882–1905), Abdillah (1905), Ali (1906–1908), dan Husain II (1908–1916 sebagai syarif, tetapi sejak 1916–1924 sebagai raja).
Pertengahan abad ke-18, di Semenanjung Arabia muncul gerakan pemurnian akidah Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1787). Abdul Wahhab menyaksikan betapa akidah Islam sudah banyak dikotori paham syirik. Kuburan Hasan bin Ali, misalnya, dan juga kuburan orang yang dianggap sebagai wali, diziarahi dan dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan.
Gerakan pemurnian akidah itu bermula dari Nejd, kampung Wahhab sendiri. Lama-kelamaan, gerakan itu menjadi gerakan politik setelah Muhammad bin Sa‘ud dan putranya, Abdul Aziz Ibnu Sa‘ud (penguasa Nejd), memperkuat gerakan itu, yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabi.
Pada 1773 gerakan itu sempat menduduki kota Riyadh di wilayah Hijaz. Pada 1802 gerakan ini menyerang Karbala dan menghancurkan kubah Husein bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Madinah diserang, dan hiasan di atas kuburan Rasulullah SAW dihancurkan karena dianggap bid’ah.
Kemudian gerakan itu juga menyerang Mekah dan menurunkan kiswah Ka’bah yang juga dianggap sebagai bid’ah. Kota Mekah dan Madinah berada di bawah kekuasaan gerakan ini pada 1804 dan 1806.
Keadaan kacau di Mekah dan Madinah mencemaskan Sultan Mahmud II di Turki, yang kemudian memerintahkan Muhammad Ali Pasya yang sedang berkuasa di Mesir menumpas gerakan Wahabi. Pada 1813 gerakan Wahabi dapat dipadamkan oleh pasukan Muhammad Ali Pasya.
Tetapi pada permulaan abad ke-20, gerakan ini bangkit kembali. Pada September 1924, sultan Nejd, Abdul Aziz Ibnu Sa‘ud, menduduki Ta’if. Bulan berikutnya ia menduduki Mekah. Raja Husain II (syarif terakhir) diasingkan ke Aqabah, kemudian ke Cyprus pada Mei 1925; anaknya, Ali, mengundurkan diri ke Jiddah. Mekah dan Madinah dikuasai secara penuh oleh pasukan Ibnu Sa‘ud pada Desember 1925.
Semenjak Januari 1926, Abdul Aziz Ibnu Sa‘ud resmi menjadi raja di Semenanjung Arabia. Sejak itu negaranya disebut Arab Saudi, sesuai dengan nama ayah raja pertama itu. Sampai sekarang, penguasa di Arab adalah keluarga Raja Sa‘ud.
Teologi yang dianut di negara itu adalah Wahabi sedangkan fikihnya menganut Mazhab Hanbali. Hingga kini pemerintah Arab Saudi terus meningkatkan prasarana dan sarana kota Mekah menjadi kota yang modern.
Daftar Pustaka
Hitti, Philip K. History of The Arabs. London: The Macmillan Press Ltd, Tenth Edition, 1974.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar. Tarikh al-Khulafa’. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Wajdi, Muhammad Farid. Da’irah al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1971.
Atjeng Achmad Kusaeri