Media Massa Islam

Media massa Islam merupakan sarana resmi Islam sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan islami kepada masyarakat luas.

Perkembangan media massa Islam sejak beberapa abad terakhir berpengaruh besar bagi kaum muslimin dan dakwah Islam. Kini, kaum muslim melibatkan diri lebih jauh lagi, seiring dengan perkembangan mutakhir teknologi media di bidang pers, radio, televisi, film, dan internet.

Fungsi Strategis Media Massa. Islam lahir di masyarakat yang masih menggunakan bahasa lisan. Al-Qur’an dan hadis pun pada mulanya disampaikan secara lisan. Namun sejak periode awal, Al-Qur’an, hadis, dan berbagai uraian di bidang hukum, teologi, dan sebagainya, sudah dicatat menjadi teks baku yang berperan besar dalam masyarakat Islam.

Rujukan kepada Al-Qur’an, hadis, dan teks klasik merupakan faktor utama pemersatu kelompok muslim dari berbagai pelosok dunia. Sebelum era perkembangan media massa, komunikasi di dunia Islam terutama berlangsung di masjid, sebelum atau setelah salat berjemaah.

Ketika itu, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat salat, tetapi juga tempat penyebaran atau pengumuman berita serta opini. Dalam hal tradisi tulis di dunia Islam, ada sekelompok orang yang berjasa besar bagi masyarakat muslim, yakni warraqin atau tukang salin. Mereka bertugas menyalin dan mengomentari berbagai manuskrip yang ditulis para ilmuwan lain.

Selain berfungsi sebagai sarana dakwah Islam dan pendidikan serta pembinaan Islam, media massa juga sering kali menunjukkan ekspresi solidaritas muslim di seluruh dunia.

Lewat surat kabar, majalah, televisi, film, dan radio, ekspresi solidaritas ini dapat dilihat melalui ungkapan simpati umat Islam dari berbagai negara, misalnya terhadap nasib saudara seiman di Bosnia Hercegovina ketika terjadi perang saudara di sana.

Karena media massa memiliki fungsi sangat strategis, hampir semua rezim di dunia Islam membatasi kebebasan berekspresi melalui sarana media massa. Mereka terkadang melakukannya dengan alasan untuk membela nilai Islam.

Tetapi hal itu sebenarnya dilakukan lebih untuk membela kedudukannya sendiri agar tidak tergoyahkan oleh ketidak puasan masyarakat. Itulah sebabnya, di banyak negara, penyiaran radio dan televisi dimonopoli atau minimal diawasi oleh pemerintah.

Media Cetak. Sampai abad ke-19, kebanyakan teks keagamaan yang beredar di dunia Islam masih berupa manuskrip (tulisan tangan). Di dunia Islam, pencetakan dan peredaran buku sudah mulai berkembang pada abad ke-17.

Tetapi hal itu pada mulanya belum menyangkut teks keagamaan, karena pencetakan dan pengedarannya dianggap oleh penguasa, terutama ulama, sebagai pembaruan yang membahayakan. Teks keagamaan baru dicetak di Persia pada awal abad ke-19 dan di masa Kerajaan Usmani Turki pada paro kedua abad ke-19.

Ketika cara pembuatan dan produksi buku ditemukan dan dikembangkan, dunia Islam juga memasuki tradisi tulis. Tradisi ini menghasilkan kekayaan khazanah intelektual Islam.

Ditopang oleh lingkungan ilmiah yang sehat, karena Islam mendorong perkembangan ilmu dan bersikap terbuka terhadap sumbangan ilmiah dari peradaban lain, maka berbagai manuskrip disalin untuk diperbanyak. Hal ini kemudian mengilhami kemajuan peradaban Islam.

Namun demikian, dunia Islam terlambat mengadopsi teknologi pencetakan dan pengedaran buku, sehingga informasi merupakan barang mahal di kalangan muslim. Sebagian besar informasi masih dimonopoli para ulama.

Hal ini berdampak pada adanya kejumudan dalam pemikiran Islam, karena terjadi pemusatan sejumlah teks tertulis tertentu, dan itu pun lebih sering hanya dihafal dan diulang-ulangi daripada dikaji secara mendalam.

Sejak akhir abad ke-19, surat kabar dan majalah mulai memainkan peran penting di dunia Islam. Terbitan berkala yang paling berpengaruh di dunia Islam adalah antara lain al-‘Urwah al-Wutsqa, yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, tokoh pembaru Islam Mesir.

Selama beberapa bulan pada 1884, al-‘Urwah al-Wutsqa diedarkan secara cuma-cuma ke seluruh dunia Islam. Surat kabar dan majalah ini menyebarkan serta mendorong gagasan pan-islamisme, antikolonialisme, dan pembaruan di dunia Islam.

Sejak awal abad ke-20, keberadaan penerbitan berbagai majalah dan surat kabar di dunia Islam berperan besar dalam perkembangan paham antikolonialisme dan nasionalisme dunia Arab, Afrika Utara, India, dan Asia.

Media Cetak di Indonesia. Media cetak Islam yang tertua di Indonesia adalah majalah al-Munir, terbit pertama kali pada 1911 di Padang dan bertahan sampai 1915. Majalah yang terbit setiap hari Sabtu ini dikelola oleh para ulama Minangkabau dan dipimpin Abdullah Ahmad (murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi).

Tema majalah ini adalah “usaha orang alim Minangkabau” dan “media gerakan kaum muda Minangkabau”. Pengurus lain majalah ini mencakup antara Haji Marah Muhammad bin Abdul Hamid, Haji Sutan Jalaluddin Abubakar, Haji Abdul Karim Amrullah Danau, Sutan Lembak Tuah, Haji Muhammad Thaib Umar Batusangkar, dan Sutan Muhammad Salim (ayahanda KH Agus Salim).

Mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang mereka namakan “Syarikat Ilmu” yang menjadi badan penerbit majalah dakwah itu.

Oplah majalah yang menggunakan bahasa Melayu dan huruf Jawi ini tidak lebih dari 1.000 eksemplar. Namun, majalah ini tersebar bukan saja di Minangkabau, melainkan juga di Jawa dan Semenanjung Malaka.

Walaupun oplahnya kecil, majalah ini dapat disebut karya jurnalistik karena isinya terdiri dari beberapa rubrik, seperti artikel yang membahas persoalan keagamaan Islam, forum soal jawab keagamaan yang umumnya berkenaan dengan hukum fikih, dan kronik dunia Islam yang biasanya diterjemahkan dari majalah Timur Tengah dan berkenaan dengan dunia Islam.

Majalah ini, dilihat dari segi isi dan pengelolanya, diilhami oleh majalah al-Imam Singapura yang dipimpin Syekh Taher Jalaluddin yang terbit pada tahun 1906–1908. Majalah al-Imam itu sendiri diilhami oleh majalah al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Rida di Mesir pada 1898.

Syekh Taher Jalaluddin, yang lahir di Ampat Angkat, Sumatera Barat, adalah saudara sepupu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama berada di Singapura, baik ketika menerbitkan majalah itu maupun setelah penerbitannya terhenti, berkali-kali ia pulang kampung. Di Sumatera Barat, ketika pulang kampung ia selalu disambut hangat oleh ulama kaum muda di Minangkabau.

Sebagai tokoh muda yang banyak mendapat pengaruh dari al-Imam yang sebelumnya memuat banyak gagasan pembaruan Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida, para pengelola al-Munir juga banyak menulis ide pembaruan, yang terlihat dari artikel dan jawaban terhadap surat pembaca yang banyak berkenaan dengan masalah fikih.

Artikel dan jawaban redaksi itu tentu saja menimbulkan reaksi pro dan kontra. Sebagai akibatnya, kalangan ulama tradisional kemudian tertarik untuk menerbitkan majalah yang berbeda dari pemikiran yang disajikan al-Munir.

Majalah yang terbit dengan tujuan seperti itu antara lain adalah Suluh Malayu di bawah pimpinan Syekh Khatib Ali (pengikut Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi) dan al-Mizan di bawah pimpinan Haji Abdul Majid dan Hasan Basri yang terbit di Maninjau.

Al-Munir terbit terakhir pada tanggal 15 Rabiulawal 1333/31 Januari 1915. Pada edisi terakhir terdapat karangan perpisahan dengan judul “Khatama”. Dalam karangan itu dinyatakan bahwa al-Munir tidak dapat dilanjutkan lagi, namun kepada pembaca dan masyarakat Islam dianjurkan agar terus menambah ilmu dengan rajin membaca.

Penerbitan majalah itu terhenti akibat kekurangan dana. Pada edisi terakhir berkali-kali ditemukan pengumuman kepada agen dan langganan agar mengirimkan uang langganannya.

Hal itu terjadi karena pengelola majalah ini adalah ulama yang tidak mempunyai latar belakang sebagai pedagang. Penerbitan pada waktu itu diadakan hanya untuk tujuan dakwah, tanpa diiringi kemampuan dan profesionalisme bisnis.

Tiga tahun setelah berakhir majalah al-Munir itu, tepatnya pada 1918, Sumatra Thawalib menerbitkan majalah dengan nama al-Munir al-Manar, biasa dijuluki dengan al-Munir Padang Panjang karena terbit di Padang Panjang. Majalah ini diterbitkan atas anjuran Haji Abdul Karim Amrullah dan dipimpin oleh Zainuddin Labay el-Yunusy, seorang cendekiawan muda yang cerdas.

Al-Munir al-Manar ini bertahan selama 6 tahun. Majalah ini terhenti pada 1924 karena Zainuddin Labay el-Yunusy meninggal dunia. Sesudah itu menyusul beberapa majalah lain yang diterbitkan oleh para ulama, seperti al-Bayan dan al-Itqan.

Haji Abdul Karim Amrullah menerbitkan majalah yang bernama majalah al-Basyir yang tidak bertahan lama. Pada tahun 1923–1926 di Bukittinggi terbit pula majalah Dunia Akhirat yang dipimpin Sain al-Maliki. Sementara itu, ulama golongan tua di Payakumbuh, Syekh Haji Abbas Padang Japang, menerbitkan majalah al-Imam.

Hampir seluruh majalah tersebut di atas berusia pendek karena alasan yang sama, yaitu kekurangan dana, tidak dikelola secara profesional, dan hanya dimaksudkan sebagai media dakwah, tanpa dimaksudkan sebagai lembaga bisnis.

Walaupun terlihat ada kekurangan dana dan tidak profesional, semangat dakwah itu terus mendorong umat Islam untuk mencoba menerbitkan lagi. Pada perempat kedua abad ini justru banyak muncul media massa Islam di berbagai daerah yang dikelola oleh berbagai organisasi Islam di Indonesia.

Di Padang, di samping majalah al-Bayan dan al-Itqan, juga ada majalah Medan Rakyat, Raya, Matahari Islam, dan Tafsir Qur’an yang kemudian dijadikan buku yang dikenal dengan nama Tafsir Qur’an Mahmud Yunus.

Di Jawa dan Kalimantan juga terbit banyak majalah Islam pada waktu yang hampir bersamaan. Jong Islamieten Bond (JIB) menerbitkan majalah an-Nur, Muhammadiyah menerbitkan majalah Penyiar Islam, Pancaran Amal, Suara Muhammadiyah, Almanak Muhammadiyah, dan Suara Aisyiah.

Di Bandung diterbitkan majalah Pembangkit, al-Hidayah, dan Aliran Muda, Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung pada 1923 menerbitkan majalah al-Lisan, al-Fatwaa (huruf Arab bahasa Melayu), Pembela Islam, dan at-Taqwa (berbahasa Sunda). Di kota Solo terbit majalah Adil, Islam Raya, dan as-Siasah.

Di Yogyakarta terbit pula Qur’an Tarjamah Melayu, Penganjur, Mutiara (oleh Muhammadiyah), dan Islam Bergerak (oleh PB PII). Di Surabaya terbit al-Jihad, al-Islam, dan Berita NU (PB Nahdlatul Ulama).

Sementara itu peranakan Arab Indonesia (PAI) menerbitkan Aliran Baru. Di Samarinda terbit Persatuan, di Banjarmasin Pelita Islam, di Barabai Hikmatul Baliqah, di Madura majalah al-Islah, dan di Maluku Suisma.

Medan merupakan kota yang memegang peran tersendiri dalam penerbitan majalah Islam pada zaman sebelum Perang Dunia II. Di kota ini diterbitkan Suluh Islam oleh Abdul Wahid, KH Abdul Madjid Abdullah, dan kawan-kawannya; Medan Islam oleh PB al-Jamiatul Washliyah; al-Hidayah oleh PB al-Ittihadiah; Dewan Islam oleh M. Arsyad Thalib Lubis; Menara Putri oleh H R. Rasuna Said; Sinar oleh H Bakri dan Bakhtiar Yunus; dan majalah Tafsir Al-Qur’anul Karim oleh H A.

Halim Hassan, Zainal Arifin Abbas, dan Abdul Rahman Haitami. Di samping itu, di Medan juga terbit majalah yang lebih besar, yaitu Pedoman Masyarakat yang diasuh HAMKA dan H Mohammad Yunan Nasution (aktivis Pemuda Muslimin Indonesia atau PMI, Wartawan Muslim Indonesia atau Warmusi, dan Masyumi) dan Panji Islam yang diasuh Zainal Abidin Ahmad (mantan wakil ketua Parlemen RI, mantan rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, dan penulis sejarah Islam) dan A.R. Hadjat.

Panji Islam dan Pedoman Masyarakat adalah yang terbesar di antara majalah yang terbit di Medan pada waktu itu. Tulisan yang dimuat di majalah ini disumbangkan oleh para tokoh nasional yang terkenal bukan saja pada waktu itu, melainkan juga pada masa sesudahnya, misalnya Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Zainal Abidin Ahmad, HAMKA, M. Yunan Nasution, dan Ali Hasjmy.

Selain majalah yang disebut di atas, pada masa sebelum kemerdekaan masih banyak media massa Islam lain. Penerbitan seluruh media Islam tersebut di atas terhenti setelah Jepang menduduki Nusantara.

Jepang membekukan seluruh kegiatan lembaga dan organisasi kemasyarakatan untuk sementara dan kemudian mencairkan sebagian yang dikehendakinya. Jepang kemudian membentuk organisasi baru yang dimaksudkannya untuk memobilisasi rakyat sesuai dengan tujuan politik pendudukan.

Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, berbagai media massa Islam di atas tidak secara otomatis muncul kembali, karena tokoh dan rakyat Indonesia disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, banyak di antaranya yang tidak terbit kembali.

Baru setelah Indonesia mencapai tingkat stabilitas politik, banyak media massa Islam kembali bermunculan. Di antara sekian banyak media massa Islam tersebut, ada yang kembali terbit dengan nama seperti sebelum dibekukan Jepang dahulu.

Media massa seperti itu terutama adalah media yang dikelola organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Suara Muhammadiyah, Suara Aisyiyah, dan Berita NU. Majalah Adil yang terbit di Solo juga terbit kembali. Ada juga yang terbit dengan nama baru.

Perubahan nama itu terjadi karena pengelola majalah lama tidak dapat aktif lagi dalam pengelolaan majalah baru, baik karena kesibukan yang lebih besar di tingkat nasional maupun karena alasan lain.

Sebagai contoh, sebelum kemerdekaan Persis menerbitkan Pembela Islam, al-Lisan, dan al-Fatwaa, tetapi kemudian menerbitkan majalah al-Muslimun yang terutama berisi persoalan fikih dan pandangan hukum Islam dalam rubrik tanya jawab.

Pada masa menjelang berakhirnya abad ke-20, sebagian besar media massa Islam di Indonesia juga diterbitkan oleh organisasi kemasyarakatan Islam. Jumlahnya semakin besar, sebanding dengan jumlah organisasi dan lembaga Islam.

Setelah semakin membaik situasi sosial ekonomi masyarakat pada masa kemerdekaan ini, media massa Islam juga diterbitkan oleh organisasi dari tingkat pusat sampai ke tingkat cabang dan anak cabang, baik lembaga negara maupun swasta, seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), dan Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan majalah Mimbar Ulama; Ikatan Masjid Indonesia (IKMI), majalah Suara Masjid; Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Media Dakwah; Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), koran Republika; dan Forum Komunikasi dan Konsultasi Badan Pembina Rohani Islam (Fokkus Babinrohis) Pusat, majalah Rohis.

Penyebaran majalah atau media massa Islam yang diterbitkan organisasi kemasyarakatan terbatas kepada anggota organisasi bersangkutan. Kalaupun ada di antaranya yang diperjual­belikan untuk umum, jumlahnya sangat kecil, karena isinya memang lebih banyak berkenaan dengan organisasi bersangkutan, terutama yang bersifat berita.

Di antara media massa Islam yang disebarkan untuk umum dan mencapai oplah yang memadai adalah majalah Panjimas, Kiblat, as-Salam, Suara Azan, koran Pelita, koran Republika, majalah Sabili, majalah al-Hidayah, majalah al-Muslimun, tabloid Jurnal Islam, dan Syiar.

Media Elektronik. Sejak akhir 1950-an, televisi berkembang di dunia Islam dan menjadi jenis media massa yang paling berpengaruh, jauh melebihi pengaruh buku dan terbitan berkala.

Pada 1975, Islamic States Broadcasting Organization (Organisasi Penyiaran Negara Islam) didirikan di Jiddah, Arab Saudi, atas prakarsa Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tujuannya adalah kerjasama di bidang penyiaran agama Islam melalui radio dan televisi. Film juga berpengaruh besar di dunia Islam.

Selain sebagai sarana hiburan, film juga berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pembinaan Islam. Sebagai upaya untuk menyebarkan dakwah Islam serta menambah wawasan keagamaan kaum muslim, kini sejumlah stasiun televisi di Indonesia memperbanyak penayangan siaran pendidikan dan pembinaan agama Islam.

Sarana komunikasi paling mutakhir, yaitu jaringan internet, juga sudah dimanfaatkan kaum muslim. Contoh jaringan komunikasi melalui internet adalah Isnet (The Islamic Network), yang didirikan pada 1989 oleh sejumlah mahasiswa Indonesia di Amerika Utara dan kini menjadi sarana pertukaran informasi antarmahasiswa.

Namun, jaringan internet juga menjadi objek perdebatan hangat di kalangan kaum muslim, antara lain karena tuduhan beberapa pihak bahwa Islam yang dipopulerkan melalui sarana tersebut mencerminkan paham tertentu.

Pada tahun 1930-an, di beberapa negara Islam seperti Mesir, Iran, dan Turki, radio mulai berperan penting. Pada masa itu, radio umumnya dikontrol negara dan digunakan terutama untuk memperkuat nasionalisme.

Sejak 1950-an, makin banyak negara lain di dunia Islam yang memperoleh kemerdekaan mulai menggunakan radio sebagai salah satu sarana utama pembentukan bangsa. Sejak akhir 1970-an, dengan terjadinya Revolusi Islam Iran, stasiun dan program radio yang membawa amanat khas Islam kemudian berkembang pesat di banyak negara muslim.

Kaset audio juga berperan penting sebagai alat media massa di kalangan mereka yang menentang pemerintah. Karena alasan teknis, penyebaran kaset audio tidak mungkin sepenuhnya dapat diawasi dan dikendalikan pemerintah.

Kelebihan lain kaset audio sebagai sarana media massa adalah proses penghasilan dan peredarannya yang jauh lebih mudah dibandingkan program radio dan televisi. Melalui kaset audio, para pemimpin perlawanan di dunia Islam, misalnya Ayatullah Khomeini di Iran, menyampaikan pesannya kepada para pengikutnya.

Daftar Pustaka

Ulumul Qur’an. No. 1, April-Juni 1989.
Panji Masyarakat. No. 493, 1 Februari 1986.
Panji Masyarakat. No. 403, 1 Agustus 1983.

Badri Yatim