Mazalim adalah lembaga peradilan yang menangani masalah kelaliman penguasa serta keluarganya terhadap rakyat. Mazalim berasal dari bentuk tunggal mazlimah yang berarti “kelaliman”. Dalam kajian fikih, mazalim merupakan salah satu bentuk lembaga peradilan selain peradilan umum dan peradilan hisbah (khusus menangani pelanggaran prinsip amar makruf nahi mungkar).
Menurut Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), ahli fikih dan politik, mazalim adalah lembaga peradilan yang secara khusus menangani kelaliman para penguasa dan keluarganya terhadap hak rakyat.
Peradilan mazalim ini bertujuan agar hak rakyat dapat dikembalikan, serta dapat menyelesaikan persengketaan antara penguasa dan warga negara. Yang dimaksud dengan penguasa adalah seluruh jajaran pemerintahan mulai dari pejabat tertinggi sampai pejabat terendah.
Dalam kasus malim, peradilan dapat bertindak tanpa harus menunggu adanya suatu gugatan dari yang dirugikan. Artinya, apabila mengetahui adanya kasus mazalim, kadi (hakim) peradilan mazalim ini harus secara langsung menyelesaikan kasus tersebut.
Dengan demikian, peradilan mazalim memiliki kekuasaan untuk hal sebagai berikut:
(1) memeriksa dengan teliti sikap dan tingkah laku para pejabat beserta keluarganya, mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin mereka lakukan, dan mencegah kecenderungan mereka untuk bertindak tidak jujur;
(2) memeriksa kecurangan para pegawai yang bertanggung jawab atas pungutan dana untuk negara;
(3) memeriksa pejabat yang bertanggung jawab atas keuangan negara;
(4) memeriksa secara cermat penanganan dan penyaluran harta wakaf dan kepentingan umum lainnya; dan
(5) mengembalikan hak rakyat yang diambil aparat negara.
Peradilan ini secara khusus juga menangani perkara yang diadukan sebagai berikut:
(1) gaji para buruh atau pekerja yang dibatalkan atau ditangguhkan secara sepihak;
(2) harta yang diambil secara paksa oleh para penguasa, termasuk harta yang disita negara;
(3) pembayaran gaji aparat negara;
(4) persengketaan terhadap masalah harta wakaf;
(5) keputusan hakim yang sulit dilaksanakan sehubungan dengan lemahnya posisi peradilan;
(6) kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh peradilan hisbah, sehingga mengakibatkan terabaikannya kemaslahatan umum;
(7) pelaksanaan ibadah pokok, seperti salat berjemaah, salat Jumat, salat id, dan pelaksanaan haji; dan
(8) penanganan kasus mazalim, penetapan hukuman, dan pelaksanaan keputusan tersebut.
Persyaratan sebagai kadi dalam peradilan mazalim adalah sebagai berikut:
(1) memiliki kemampuan yang tinggi dan berwibawa,
(2) memiliki kemampuan untuk melaksanakan keputusan,
(3) mempunyai pengaruh yang luas dan kuat,
(4) terkenal bersih dan jujur,
(5) tidak serakah, dan
(6) sangat warak.
Dalam melaksanakan sidangnya, peradilan mazalim harus dilengkapi dengan perangkat peradilan: penjaga keamanan (polisi peradilan) dengan beberapa orang pembantu, kadi dan penguasa, ahli hukum (fukaha), panitera, dan saksi.
Kelengkapan peradilan mazalim itu dimaksudkan agar sidang dapat berjalan dengan aman dan lancar, karena kasus peradilan ini menyangkut para pejabat negara.
Penyelesaian kasus mazalim telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Kasus yang sangat terkenal adalah kelaliman yang dilakukan Zubair bin Awwam (salah seorang keluarga Nabi SAW) terhadap seorang Ansar. Dalam kasus ini disebutkan bahwa Zubair tidak mau mengalirkan air ke ladang orang Ansar yang menjadi tetangganya, sehingga tanaman orang tersebut kering.
Lalu orang Ansar tersebut mengadu kepada Rasulullah SAW. Ketika itu Rasulullah SAW berkata, “Ambillah air itu sepuasmu, Zubair, kemudian alirkan ke tetanggamu”. Orang Ansar tersebut berkata, “Ya Rasulullah, mentang-mentang ia anak pamanmu.” Wajah Rasulullah SAW memerah karena marah, kemudian ia berkata sekali lagi, “Ambillah air itu sepuasmu, Zubair, kemudian alirkan ke tetanggamu” (HR. Bukhari dari Urwah bin Zubair).
Dalam hadis ini terlihat bahwa meskipun Zubair bin Awwam adalah anggota keluarga Nabi SAW, secara tegas Rasulullah SAW memutuskan bahwa air harus tetap dibagi kepada tetangganya. Tidak ada keistimewaan bagi anggota keluarga Nabi SAW jika hal itu memudaratkan orang lain.
Di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) persoalan mazalim ini ditangani secara serius dan sangat hati-hati, sesuai dengan kebiasaan yang ditunjukkan oleh Nabi SAW. Semua kasus yang menyangkut peradilan mazalim ini ditangani langsung oleh khalifah. Pada masa Umar bin Khattab, Amr bin As memanggil seseorang di masjid dengan perkataan “Wahai munafik”. Kasus ini oleh Khalifah Umar bin Khattab dikategorikan sebagai mazalim. Kemudian Khalifah Umar memanggil Amr bin As, sekalipun ketika itu orang yang dituduh munafik itu telah memaafkan Amr bin As.
Di zaman Dinasti Umayah, kasus yang menyangkut mazalim semakin banyak. Hal ini sejalan dengan semakin luasnya wilayah Islam. Atas inisiatif Khalifah Abdul Malik bin Marwan, semua kasus mazalim diselesaikan dalam peradilan khusus, yaitu Pengadilan Mazalim.
Pengadilan ini ditangani langsung oleh khalifah. Untuk itu khalifah menyediakan hari khusus dalam menangani kasus mazalim tersebut. Kedudukan Pengadilan Mazalim semakin kuat dan tegas pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.
Dalam sejarah diketahui bahwa tindakan pertama yang dilakukannya sebagai khalifah adalah mengembalikan seluruh harta rakyat yang diambil para penguasa sebelumnya serta membangun sarana untuk kepentingan umum.
Pada zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah, para khalifah yang sangat peduli terhadap peradilan mazalim antara lain adalah Khalifah al-Mahdi (775–785), Harun ar-Rasyid, dan al-Ma’mun.
Peradilan mazalim masih tetap berlangsung sampai runtuhnya kekhalifahan dunia Islam pada tahun 1924. Setelah itu, masing-masing negara Islam memiliki kebijakan sendiri dalam menangani kasus mazalim.
Saat ini peradilan mazalim di negara Islam masih dapat dijumpai dengan menggunakan berbagai nama lain. Di Indonesia, peradilan ini dikenal dengan nama Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Daftar Pustaka
al-Humadi, Abdurrahman Ibrahim Abdul ‘Aziz. al-Qadha’ wa Nizamuh fi al-Kitab wa as-Sunnah. Mekah: Jami‘ah Umm al-Qura, 1409 H/1989 M.
Ilyan, Syaukat. Qadha’ al-Mazalim fi al-Islam. Baghdad: Matba‘ah al-Jami‘ah, 1977.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1393 H/1973 M.
Musyrifah, Mustafa. al-Qadha’ fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Qasimi, Zafir. Nizam al-Hukm fi asy-Syari‘ah wa at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, t.t.
Nasrun Haroen