Mawali

Mawali adalah bentuk jamak dari maula, yang berarti “pembimbing, penolong, atau pelindung”. Mawali juga berarti karib (teman dekat). Namun dalam berbagai konteks, kata mawali paling umum digunakan dan dimaksudkan untuk hamba sahaya yang telah dimerdekakan.

Allah SWT berfirman dalam surah Muhammad (47) ayat 11, “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung” (lihat juga surah al-Anfal (8) ayat 40 dan surah an-Nahl (16) ayat 76). Mawali juga berarti karib (teman dekat).

Allah SWT juga berfirman, “Yaitu hari yang seorang karib tidak dapat memberi manfaat kepada karibnya sedikit pun, dan mereka tidak akan mendapat pertolongan” (QS.44:41). Dalam Al-Qur’an kata mawali juga dapat berarti “pewaris” (QS.4:33), “orang yang mengendalikan urusan” (QS.19:5), dan “hamba sahaya yang dimerdekakan” atau “seseorang yang dijadikan anak angkat” (QS.33:5).

Dalam sejarah Islam, istilah mawali digunakan sebagai penggolongan warga kelas dua karena mereka bukan keturunan Arab, padahal sebenarnya hak mereka sama. Akibatnya, timbullah kecemburuan sosial di kalangan orang Persia kepada orang Arab yang membangkitkan persaingan.

Selain itu, maula (bentuk tunggal mawali), digunakan sebagai sebutan kehormatan atau tuan (Ing.: Lord). Memang dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa maula (maulana) adalah sebutan untuk Allah SWT (lihat QS.2:286, QS.6:62, dan QS.10:30).

Sayid Qutub (1906–1966) menjelaskan, Allah SWT menjadikan mawali dari kerabat orang yang telah meninggal. Mereka (mawali) mewarisi dari hubungan keluarga dan kedua orangtua. Tetapi ada mawali yang dapat mewarisi bukan karena kerabat­ tetapi karena perjanjian sebagai berikut:

(1) Akad memperoleh hak wala’ (mendapat bagian warisan) karena hamba tersebut dimerdekakannya. Ia berkedudukan sebagai anggota keluarga. Karena itu kalau misalnya bekas hamba tersebut melakukan tindak pidana, orang yang memerdekakannyalah yang membayar diat (denda). Apabila bekas hamba tadi meninggal, yang memerdekakannya dapat mewarisi meskipun tidak ada hubungan kerabat.

(2) Akad muwalah, yakni perjanjian persaudaraan antara orang Arab dan orang asing, sehingga jadilah mereka seperti saudara (maula al-muwalah). Dalam hal ini, si pelindung mendapatkan warisan.

(3) Akad antara orang yang akadnya pernah ditempuh Nabi SAW, yaitu antara Muhajirin dan Ansar (mu‘akhah). Pada awal Islam, akad ini berlaku, tetapi kemudian dinasakh (dihapus) oleh satu hadis, yang berarti: “Tidak ada hijrah sesudah kemenangan (ditaklukkan Mekah)” (HR. Bukhari, at-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hanbal).

(4) Ikatan kesukuan yang terjadi pada zaman Jahiliah, tetapi kemudian dihapus ajaran Islam, karena dalam hukum waris Islam pada prinsipnya yang menjadi pertimbangan pertama adalah hubungan kekerabatan. Sebagian ulama Mazhab Hanafi masih menggunakan ayat tentang orang yang saling mengikat perjanjian.

Menurut Muhammad Ali as-Sayis (seorang ahli tafsir), kata mawali sebagai bentuk jamak dari maula merupakan suatu kata yang musytarak (mengandung arti banyak), yaitu:

(1) orang yang memerdekakan hamba sahaya, disebut maula an-ni‘mah;

(2) hamba yang dimerdekakan;

(3) orang yang saling berjanji (halif);

(4) orang yang menolong; dan

(5) orang yang menerima bagian sisa (‘asabah).

Menurut as-Sayis, arti mawali yang paling cocok adalah yang terakhir, yaitu penerima bagian ‘asabah dalam pembagian warisan.

Hal ini sejalan dengan hadis riwayat Abu Hurairah: Rasulullah SAW bersabda, “Aku lebih utama dari orang-orang yang beriman, barangsiapa meninggal dan meninggalkan harta maka hartanya itu untuk mawali ‘asabah (sisa), dan barangsiapa meninggalkan harta dalam keadaan kalalah atau sia-sia (tidak ada ahli waris), maka akulah walinya.”

Daftar Pustaka

al-Birusawi, Isma’il Haqqi. Tafsir Ruh al-Bayan. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: ‘Alam al-Kitab, 1405 H/1985 M.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al- Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Qutub, Muhammad. Tafsir fi Zilal Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, t.t.
as-Sayis, Muhammad Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cairo: Muhammad Sabih, 1953.
asy-Syafi‘i, Imam. al-’Umm. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.

Ahmad Rofiq