Maulid Nabi

(Ar.: maulid an-nabi)

Salah satu hari besar Islam yang diperingati setiap tahun adalah kelahiran Nabi Muhammad SAW pada hari Senin, 12 Rabiulawal Tahun Gajah/20 April 570, yang disebut juga Maulid Nabi.

Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dinamakan Tahun Gajah karena pada saat itu pasukan Abrahah, gubernur Kerajaan Habasyah (Ethiopia), datang dengan menunggang gajah menyerbu Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Sebenarnya selain Idul Fitri dan Idul Adha, dalam Al-Qur’an dan hadis tidak ditemukan perintah merayakan hari besar Islam lain, seperti Maulid Nabi.

Informasi bahwa kaum muslim merayakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak ditemukan dalam sejarah Islam periode sangat awal, tetapi perintah untuk mengambil pelajaran dari peristiwa atau kejadian masa lalu ditemukan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Bahkan Al-Qur’an sendiri berisi banyak kisah masa silam, yang tentunya dimaksudkan untuk dijadikan pelajaran.

Sebagaimana kisah-kisah Al-Qur’an, peristiwa yang terjadi dalam sejarah Islam dan berhubungan dengan ajaran Islam juga mengandung banyak pelajaran. Karena itu, perayaan hari-hari besar Islam termasuk salah satu upaya kaum muslim untuk mengambil pelajaran.

Dalam sejarah Islam, perayaan Maulid Nabi untuk pertama kali diselenggarakan Dinasti Fatimiyah di Mesir, yaitu pada masa pemerintahan Abu Tamim yang bergelar al-Mu‘izz li Din Allah (yang membuat agama Allah jaya; 341 H/953 M–365 H/975 M).

Didorong keinginan menjadi penguasa populer terutama di kalangan Syiah, ia memperkenalkan beberapa perayaan, salah satu di antaranya ialah perayaan Maulid Nabi.

Dalam “paket” merayakan maulid Nabi SAW itu, penguasa Fatimiyah menggunakan kesempatan tersebut untuk memberi hadiah kepada orang tertentu, seperti penjaga masjid, perawat makam ahlulbait, dan para pejabat.

Setelah Dinasti Fatimiyah berakhir dan digantikan Dinasti Ayubiyah, yang dikenal sangat ketat menganut aliran Suni, peringatan Maulid Nabi terus dilaksanakan. Salahuddin al-Ayyubi (1138–1193), penguasa pertama dinasti ini, memanfaatkan perayaan Maulid Nabi untuk membakar semangat jihad kaum muslim dalam menghadapi peperangan hebat melawan kaum Salib.

Di luar Mesir, perayaan Maulid Nabi pertama kali diselenggarakan di kota Mosul, Irak. Di sana hidup seorang ulama besar bernama Umar al-Malla, ahli ilmu Al-Qur’an dan hadis. Setiap tahun ia mengundang ulama serta penguasa dan pembesar negara berkumpul di kediamannya untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Perayaan tersebut diisi dengan pembacaan syair-syair pujian mengenai keagungan Nabi Muhammad SAW. Salah seorang yang sering mendapat undangan dari Umar al-Malla tersebut adalah Nuruddin Zangi (w. 596 H/1200 M), sultan Dinasti Atabeg di Suriah yang menganut aliran Suni.

Syekh Umar al-Malla meminta sultan membangun sebuah masjid yang akan digunakan untuk tempat beribadah dan pertemuan, termasuk untuk perayaan Maulid Nabi. Waktu itu Maulid Nabi diselenggarakan pada malam hari.

Semua tamu yang diundang diberi hadiah. Selama perayaan berlangsung dilakukan deklamasi syair yang memuji dan menyanjung raja.

Di Afrika Utara, tepatnya di Maroko, kalangan sufi memandang peringatan Maulid Nabi dalam hierarki hari raya (besar) Islam sebagai yang kedua setelah Idul Fitri dan Idul Adha.

Dalam perayaan itu, syair mistis dan prosesi para darwis (pengikut tarekat), seperti Tarekat Isawiyah dan Hamadza, kadang-kadang menjadi bagian integral peringatan Maulid Nabi. Acara seperti ini sering kali berakhir dengan keadaan tidak sadarkan diri, yang bagi golongan lain dipandang tidak sesuai dengan watak dan misi peringatan itu.

Di Mesir pada masa Dinasti Mamluk, kira-kira abad ke-14 dan 15, peringatan Maulid Nabi diadakan dengan mewah dan megah. Dalam acara itu sultan membagi-bagikan pundi-pundi dan kue kepada para ulama.

Pada abad ke-19 kerajaan Islam di Mesir mengadakan peringatan Maulid Nabi di sebuah taman. Dalam kesempatan itu dibacakan syair berseloka yang mengungkapkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.

Di Hyderabad (Pakistan), untuk menyongsong Maulid Nabi dimainkan genderang dan terompet selama 12 hari pertama bulan Rabiulawal. Setelah dilakukan ceramah dalam acara puncaknya, seribu gadis cantik tampil menyajikan tarian; dan dalam acara yang dibuka resmi oleh raja setempat itu dipertunjukkan pula akrobat dan puisi.

Di India, orang memasak beberapa jenis makanan untuk dipersembahkan kepada “roh” Nabi SAW dan membagi-bagikannya kepada fakir miskin.

Perayaan Maulid Nabi diselenggarakan dengan beragam corak; terdapat perbedaan antara satu daerah dan daerah lain, serta coraknya itu terus berkembang dari masa ke masa sesuai dengan situasi dan kondisi serta budaya kaum muslim di wilayah masing-masing.

Sebagaimana di wilayah dunia Islam lainnya, di Indonesia peringatan Maulid Nabi juga diselenggarakan dengan meriah dan dipandang sebagai salah satu hari besar Islam yang terbesar setelah Idul Fitri dan Idul Adha.

Perayaan itu diadakan sebulan penuh, yaitu pada bulan Rabiulawal, bahkan sering kali pula lebih dari sebulan sehingga masih dirayakan pada bulan Rabiulakhir. Peringatan Maulid Nabi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dirayakan dengan sangat meriah dan penuh dengan suasana spiritual, terutama oleh para anggota Nahdlatul Wathan.

Bahkan mereka memperingati Maulid Nabi SAW melebihi peringatan dua hari raya Islam lain, Idul Fitri dan Idul Adha. Demikian penting arti Maulid Nabi bagi kaum muslim Indonesia pada masa silam.

Mereka bahkan menyebut bulan Rabiulawal dengan bulan Mulud (Jawa) dan Mo’lot (Aceh), dan menyebut bulan Rabiulakhir/Rabiul Tsani dengan bulan Bakda Mulud (Jawa: setelah Mulud) dan bulan Adoe Mo’lot (Aceh: adik Mo’lot).

Keragaman pola pelaksanaan peringatan Maulid Nabi itu tidak hanya terlihat pada adanya perbedaan antara satu negeri dan negeri lain, tetapi tampak pula dalam perbedaan sub-budaya di negeri tertentu. Kalangan bangsawan dan orang kebanyakan dapat mengadakan peringatan Maulid Nabi dalam pola yang berbeda.

Di keraton Jawa peringatan Maulid Nabi diselenggarakan dengan sangat meriah, mengalahkan hari raya haji. Di Keraton Yogyakarta acara peringatan ini dikenal dengan Sekaten (asalnya: syahadatain), yang diselenggarakan dalam waktu yang cukup panjang dan sangat kuat dipengaruhi budaya lokal.

Cara ini tentu berbeda dengan yang dilaksanakan di masjid pada zaman lampau, yakni dengan membaca syair Arab yang bernama Maulid Syaraf al-Anam. Konon, meskipun dirayakan di masjid, pada zaman lampau pembacaan Maulid Syaraf al-Anam itu diikuti dengan pembakaran kemenyan. Model perayaan terakhir ini masih bertahan di beberapa daerah di Indonesia.

Dewasa ini tampaknya umat Islam Indonesia merayakan Maulid Nabi SAW lebih meriah dan semarak dibandingkan dengan umat Islam di negeri Islam lainnya. Tanggal 12 Rabiulawal menjadi hari besar nasional. Musala, masjid, kantor, dan istana negara menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi dengan menampilkan berbagai jenis kegiatan.

Di pesantren tradisional perayaan Maulid Nabi dihiasi dengan acara membaca al-Barzanji (kitab berbahasa Arab yang berisi syair pujian kepada Nabi SAW), tahlil, dan doa bersama.

Ada juga peringatan yang diadakan pada tingkat desa, seperti yang diselenggarakan di sebagian daerah terpencil di Sumatera Utara dan beberapa daerah lain. Hampir seluruh penduduk desa melaksanakan peringatan Maulid Nabi pada malam hari.

Setelah pembacaan kitab al-Barzanji, penduduk yang berpartisipasi dalam kegiatan itu berjalan mengitari desa sambil membaca tahlil dan takbir. Dalam kesempatan itu, sebagian penduduk menyiapkan makanan khas daerah untuk para hadirin.

Lain lagi di perkotaan, perayaan Maulid Nabi diselenggarakan dengan menekankan aspek dakwah dan sosial dengan tujuan menggairahkan kehidupan beragama dalam keluarga dan masyarakat, dan meningkatkan penghayatan serta pengamalan ajaran agama.

Kegiatannya sangat bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan orientasi lembaga pelaksananya. Pada majelis taklim peringatan Maulid Nabi sering diisi dengan ceramah, pembacaan surah Yasin, selawat, dan lain-lain.

Pada tingkat instansi peringatan itu banyak diisi dengan ceramah hikmah Maulid Nabi SAW dalam rangka meningkatkan ketakwaan, kedisiplinan, dan kebersamaan. Peringatan Maulid Nabi di lembaga pendidikan lebih menitikberatkan pengembangan ilmiah, seperti diskusi, seminar, lomba membaca Al-Qur’an, puisi, pidato, dan latihan keterampilan.

Adapun lembaga atau organisasi yang bergerak dalam bidang sosial mengisinya dengan kegiatan yang bersifat sosial, seperti khitanan massal, pengobatan cuma-cuma, pasar murah, dan anjangsana ke panti asuhan.

Perayaan Maulid Nabi juga diselenggarakan secara kenegaraan di istana negara atau di Masjid Istiqlal, yang biasanya dihadiri presiden, pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara, korps diplomatik, ulama, pimpinan organisasi politik dan keagamaan, pemuka agama Islam, serta kaum muslim lainnya.

Acara yang ditampilkan adalah pembacaan ayat suci Al-Qur’an, uraian hikmah Maulid Nabi SAW, sambutan menteri Agama RI, dan amanat presiden, yang diakhiri dengan doa.

DAFTAR PUSTAKA
Kaptein, Nico. Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW. Jakarta: INIS, 1994.
Pijper, G.F. Fragmenta Islamica. Jakarta: UI Press, 1987.
Schimmel, Annemarie. Dan Muhammad adalah Utusan Allah. Bandung: Penerbit Mizan, 1991.
Syaltut, Mahmud. Min Taujihat al-Islam: Tashih Ba‘d al-Mafahim ad-Diniyyah, Taudih Mauqif al-Islam min Ba‘d al-Masyakil al-Akhlaq al-Islamiyyah, urub min al-‘Ibadah, ath-tab‘ah ats-tsalitsah. Beirut: Dar al-Qalam, 1966.
Badri Yatim