Kata madani terkait dengan madinah (kota), sehingga orang yang tinggal di kota disebut “masyarakat madani atau masyarakat perkotaan”, dalam bahasa Inggris disebut civil society. Masyarakat madani berupaya untuk menjunjung nilai, norma, serta hukum yang ditopang penguasaan iman, ilmu, dan teknologi.
Kota di sini tentu saja tidak selalu merujuk pada letak geografis, tetapi lebih pada karakter atau sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Oleh sebab itu, bisa saja terjadi bahwa masyarakat yang tinggal di perkotaan bersikap dan bertingkah laku menyimpang dari karakter masyarakat kota. Sebaliknya, bisa jadi orang tinggal di desa, tetapi memiliki karakter dan peradaban kota.
Sifat atau karakter yang perlu dimiliki oleh masyarakat madani adalah sifat lembut (refined), halus (polished), atau sopan (polite), yang maknanya berkaitan erat dengan kata urban atau urbane.
Lawan dari karakter tersebut adalah kasar, tidak beradab, dan tidak taat aturan, yang biasanya didekatkan dengan kata badawah. Oleh karena itu, masyarakat madani terkait erat dengan peradaban (civilization) yang sejalan dengan bahasa Arab tamaddun, yang juga berarti ‘peradaban atau kebudayaan tinggi’.
Pengertian civil society menurut Nurcholish Madjid (cendekiawan muslim) lebih dari sekadar campuran berbagai bentuk asosiasi. Dia juga mengacu pada kualitas civility ‘keadaban’; tanpa itu, lingkungan hidup masyarakat hanya akan terdiri atas faksi atau serikat rahasia yang saling menyerang.
Keadaban mengandung arti toleransi, kesediaan pribadi untuk menerima berbagai pandangan politik, dan menerima pandangan bahwa tidak ada yang paling benar terhadap suatu masalah.
Kata “peradaban” yang arti dasarnya adalah “kesopanan dan etiket” telah menjadi ciri khas dalam masyarakat muslim di kota besar, seperti Baghdad dan Cordoba. Maka tidak heran ulama pada waktu itu berusaha keras menulis berbagai buku tentang adab, seperti adab makan, adab minum, dan adab mencari ilmu.
Kontribusi para pemikir Islam sangat besar dalam mengembangkan karya etik, seperti Tahdzib al-Akhlaq oleh Ibnu Maskawaih (941–1030), as-Sa‘adah wa al-Is‘ad oleh al-‘Amiri (w. 934), dan Kitab al-Akhlak wa as-Siyar oleh Ibnu Hazm (1064).
Semua itu dilakukan untuk memperhalus budi pekerti masyarakat kota agar berbeda dengan masyarakat pedesaan yang masih bersahaja. Dari usaha para warga kota inilah muncul peradaban, yang awalnya muncul di sekitar istana dan kemudian menyebar ke berbagai propinsi dan kemudian ditiru dalam lingkungan yang lebih luas.
Para penguasa dan ulama yang berusaha memperhalus karakter masyarakat kota tidak terbatas pada pengertian etiket saja, tetapi mengembang pada bentuk yang lebih maju dan kompleks.
Mereka tidak saja dituntut beretika dengan baik, tetapi juga harus menguasai informasi secara komprehensif tentang berbagai aspek kehidupan kota, seperti syariat, sejarah, dan filsafat.
Untuk mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan itu, perlu beberapa prasyarat, yaitu sikap inklusivisme (toleransi), humanisme (egaliter), dan demokrasi. Inklusif adalah sikap menerima perbedaan sebagai realitas teologis dan sejarah.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT menyerukan agar umat Islam menghargai kepercayaan orang lain, “Dan aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Kamu juga tidak menyembah apa yang aku sembah.
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS.109:4–6). Dalam ayat lain ditegaskan lagi, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat” (QS.2:256).
Dari kedua ayat tersebut dan didukung oleh beberapa ayat lain yang senada, jelas bahwa sikap inklusif perlu diwujudkan demi kemaslahatan hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk.
Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan bahwa umat muslim harus toleran kepada pemeluk agama lain. Nabi SAW pernah ditanya, “Agama bagaimana yang paling dicintai Allah?” Nabi SAW menjawab, “Agama yang menyebarkan kebenaran yang toleran” (HR. Ahmad).
Peradaban Islam awal dibangun atas sikap inklusif, hal ini terlihat jelas dalam bidang ilmu sastra, tasawuf, etika, dan filsafat. Para pemikir Islam tidak segan-segan mengambil ajaran dari berbagai bangsa, seperti Persia, India, dan Yunani.
Filsafat Yunani diterjemahkan dan dikembangkan oleh al-Kindi (801–869), sehingga dia terkenal sebagai filsuf muslim pertama keturunan Arab yang menguasai berbagai cabang ilmu.
Dalam bidang matematika, para ahli matematika Islam telah belajar banyak dari matematika India, bahkan dikatakan bahwa Khawarizmi (w. 997 M) telah menerjemahkan karya matematika India, Siddhanta, ke dalam bahasa Arab. Adapun para sufi, seperti Jalaluddin ar-Rumi (1207–1273) tidak segan berguru kepada guru non-muslim atau mengambil murid yang bukan muslim.
Humanisme adalah salah satu syarat terwujudnya masyarakat madani, yang tujuan utamanya adalah memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab lain di luar itu, seperti ras, kasta, agama, dan kedudukan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa humanism ini mengandung arti egaliter, yang menilai semua manusia berderajat sama. Allah SWT berfirman, “Hai, manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, bersuku-suku agar kamu saling mengenal” (QS.49:13).
Nabi Muhammad SAW juga menegaskan persamaan manusia di sisi Tuhan, tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab, yang membedakan mereka adalah kualitas takwa diri masing-masing.
Humanisme yang ciri khasnya adalah egalitarianisme, menurut Nurcholish Madjid, adalah penghargaan kepada seseorang berdasarkan prestasi, bukan prestise, seperti keturunan dan suku.
Wujud historis sistem egaliter ini adalah Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah, yang menempatkan semua orang sama di muka hukum dan harus taat pada kesepakatan bersama.
Dengan mengutip pendapat Robert N. Bellah (sosiolog Amerika Serikat), Nurcholish sering menyebutkan bahwa eksperimen negara Madinah jauh mendahului zaman modern.
Demokrasi adalah kelanjutan dari humanisme, yakni semua orang bebas berpendapat dan diberi hak yang sama dalam menentukan pendapatnya, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan.
Pengangkatan pemimpin tidak dilakukan berdasarkan keturunan, tetapi dipilih dan dimusyawarahkan berdasarkan kemampuan dan kriteria rasional yang sudah ditentukan. Di sinilah letak kedaulatan rakyat, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari negara karena pemerintah mana pun yang mengalami ancaman dari luar, pasti akan meminta dukungan kepada rakyat.
Artinya, pemerintah adalah perpanjangan tangan rakyat untuk melakukan kebijakan dan keputusan yang terkait dengan hajat orang banyak. Demokrasi dalam konteks ini adalah sarana untuk menciptakan suatu tatanan hidup bernegara secara adil, damai, dan aman. Hak-hak individu semua warga negara dalam negara demokratis terjamin dan setiap warga negara terbebas dari segala macam ancaman.
Dalam wacana Indonesia kontemporer, terutama setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru, masyarakat madani lebih memberi penekanan pada masyarakat sipil yang terbebas dari pemerintah yang otoriterisme dan militerisme.
Azyumardi Azra (guru besar sejarah Islam UIN [Universitas Islam Negeri] Syarif Hidayatullah, Jakarta) melihat bahwa masyarakat madani bisa menjadi karakter terpenting dari ‘Indonesia baru’ yang sedang diusahakan membangunnya dalam masa reformasi. Azyumardi mengatakan bahwa ada perkembangan yang menggembirakan dan kondusif bagi penciptaan dan pengembangan masyarakat madani.
Indonesia memiliki pilar untuk terciptanya masyarakat madani, seperti organisasi sosial, pendidikan, atau keagamaan, dan LSM. Juga terdapat kelompok individu dalam jumlah tidak sedikit, yang terjalin dalam ikatan yang relatif longgar dan informal, tetapi mempunyai kesamaan persepsi dan saling merasa berkewajiban untuk membangun suatu masyarakat Indonesia yang tertib dan beradab.
Untuk menciptakan masyarakat madani, Azyumardi lebih menekankan pendekatan evolusioner daripada revolusioner, sebab kerangka pendekatan ini menawarkan ongkos sosial minimal, yang dalam konteks Indonesia dapat dikatakan “tanpa mengorbankan hasil pembangunan yang telah dihasilkan selama ini”.
Sebaliknya, pendekatan revolusioner dalam mengembangkan masyarakat madani tidak saja meminta biaya sosial yang mahal, tetapi dapat menghancurkan ketertiban masyarakat yang merupakan esensi masyarakat madani itu sendiri.