Keadaan yang berhubungan langsung dengan akan wafatnya seseorang disebut mardh al-maut. Dalam fikih mardh al-maut berarti “sakit yang membuat seseorang tidak mampu melakukan pekerjaan rutin yang biasa ia lakukan”, dan sakitnya ini berkelanjutan sampai ia wafat dalam waktu tidak mencapai setahun sejak sakitnya.
Jika sakit yang diderita seseorang mendadak parah, perhitungan mardh al-maut orang tersebut adalah sejak penyakit itu parah, meskipun melebihi tenggang waktu setahun.
Namun, unsur penting dalam menentukan status mardh al-maut ini adalah keadaan orang tersebut yang diduga keras akan mengakibatkannya meninggal dunia.
Contoh yang termasuk di dalamnya adalah orang yang berada dalam kancah peperangan, terkurung dalam kebakaran, hanyut karena banjir, penumpang kapal yang tenggelam, dan para mujahid yang mengabdikan dirinya untuk berjuang dalam mempertahankan agama dan tanah airnya.
Pembahasan mardh al-maut berkaitan dengan tindakan hukum yang menyangkut hak dan harta orang yang mengala mi mardh al-maut. Dalam kajian fikih, mereka tetap memiliki tanggung jawab terhadap kewajiban hukum syariat seperti salat, puasa, dan zakat karena dianggap masih mampu melaksanakan kewajiban tersebut.
Orang tersebut juga tetap dianggap cakap bertindak hukum, karena pada umumnya orang mardh al-maut tetap berakal, sehingga termasuk dalam kelompok orang yang dibebani hukum syarak.
Tindakan hukum bagi orang mardh al-maut terbagi dua, yaitu tindakan hukum tanpa pembatasan dan dengan pembatasan. Tindakan hukum yang dianggap berlaku sah tanpa pembatasan bagi orang mardh al-maut adalah sebagai berikut:
(1) mencari nafkah bagi dirinya sendiri dan orang yang menjadi tanggung jawabnya;
(2) menjalani perkawinan;
(3) melakukan perceraian;
(4) melakukan segala bentuk akad yang membawa manfaat, baik dengan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi seperti sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan jual beli; dan
(5) melakukan akad yang berkaitan dengan keuntungan semata, seperti akad mudharabah (kerjasama antara pemilik modal dan pekerja, dengan ketentuan keun tungan dibagi bersama) dan perserikatan dagang.
Adapun tindakan hukum orang mardh al-maut dengan pembatasan adalah sebagai berikut.
(1) Jika memiliki utang yang jumlahnya meliputi seluruh hartanya, ia dibatasi melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut. Hal ini bertujuan untuk memelihara hak orang yang memberi utang kepadanya. Namun, jika utangnya tidak mencapai nilai seluruh hartanya, ia boleh bertindak hukum terhadap hartanya tersebut.
(2) Mewasiatkan hartanya kepada orang lain. Orang mardh al-maut hanya berhak mewasiatkan sepertiga dari seluruh harta yang dimiliki. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW dalam kasus sakitnya Sa‘d bin Abi Waqqas yang mengakibatkan kematiannya.
Dalam hadis tersebut dikatakan bahwa Sa’d memiliki banyak harta dan satu-satunya pewaris adalah anak perempuannya. Sa‘d bertanya kepada Nabi SAW tentang apa yang harus dilakukan terhadap hartanya. Apakah akan diwasiatkan semuanya atau sebagian diberikan kepada orang lain.
Nabi SAW menjawab, “Sepertiga, dan sepertiga harta itu pun telah banyak. Lebih baik engkau tinggalkan keluargamu dalam keadaan kaya daripada mereka dengan merendahkan diri meminta-minta ke sana ke mari” (HR. at-Tirmizi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, dan al-Baihaki).
Berdasarkan hadis ini, ulama sepakat menyatakan seseorang yang mardh al-maut dibatasi untuk mewasiatkan hartanya sejumlah sepertiga harta yang dimiliki.
Berdasarkan hukum wasiat ini, ulama juga menganalogikannya dengan tindakan hibah dan wakaf orang mardh al-maut. Hal ini dilakukan untuk memelihara hak ahli waris yang akan mereka terima setelah orang tersebut wafat.
Namun, terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan hak waris terhadap harta orang mardh al-maut ini, yaitu sebagai hak syakhsyi (hak yang berkaitan antara pemilik harta dan orang yang akan mewarisi hartanya, seperti hubungan orang yang menitipkan barang dengan orang yang dititipi) atau hak ‘aini (hubungan langsung antara seseorang dan harta orang mardh al-maut, seperti hak milik).
Perbedaan pendapat muncul antara Imam Hanafi dan dua orang sahabatnya, Imam Abu Yusuf (113 H/731 M–182 H/798 M) dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (131 H/748 M–189 H/804 M).
Menurut Imam Hanafi, hak ahli waris dalam mardh al-maut adalah hak ‘aini. Artinya, ahli waris orang yang mardh al-maut itu berkaitan langsung dengan harta itu sendiri, bukan dengan nilai harta itu. Akan tetapi, menurut Imam Abu Yusuf dan asy-Syaibani, hak ahli waris sama dengan hak orang yang memberi utang kepada orang mardh al-maut, yaitu terkait dengan nilai harta, bukan dengan harta itu sendiri.
Akibat perbedaan ini terlihat dalam transaksi yang dilakukan antara orang mardh al-maut dan salah seorang ahli waris. Umpamanya, orang mardh al-maut melakukan transaksi dengan salah seorang ahli waris sesuai dengan harga yang berlaku.
Menurut Imam Hanafi, tindakan ini tidak dapat dibenarkan karena dalam harta yang dijadikan objek transaksi itu terkait hak ahli waris lainnya.
Dalam hal ini menurutnya, tidak boleh ada tindakan yang mengistimewakan seorang ahli waris dari ahli waris lainnya. Akan tetapi menurut Abu Yusuf dan asy-Syaibani, transaksi yang dilakukan orang mardh al-maut, baik dengan salah seorang ahli warisnya maupun dengan orang lain, secara hukum adalah sah, dan ahli waris lain tidak boleh melakukan protes karena hak mereka tidak terkait langsung dengan harta itu melainkan dengan nilai harta itu.
Tindakan hukum orang mardh al-maut yang sifatnya tidak bisa dibatalkan adalah kawin, cerai, rujuk, dan memaafkan orang yang melukainya (kisas). Adapun tindakan hukum orang mardh al-maut yang dapat dibatalkan adalah menyang kut harta.
Jika tindakan itu berkaitan dengan harta, maka yang dilaksanakan setelah ia wafat hanya senilai sepertiga hartanya. Jika melebihi sepertiga harta, transaksi itu tidak dapat dilaksanakan sebelum ada izin dari para ahli warisnya.
Jika ahli warisnya merestui tindakan hukum tersebut maka transaksi dapat dilaksanakan. Tetapi, jika ahli waris tidak menyetujui tindakan hukum yang bernilai lebih dari sepertiga harta itu, transaksi itu hanya bisa dilaksanakan senilai sepertiga harta.
Seseorang yang dalam keadaan sakit, misalnya karena merasa kecewa dengan ahli warisnya, bisa saja melakukan suatu transaksi terselubung yang melebihi sepertiga hartanya.
Dalam kaitan ini, syariat Islam memberikan hak kepada para ahli waris untuk menerima atau menolak tindakan hukum yang dilakukan orang mardh al-maut itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Mak tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, 1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah. Cairo: Matba‘ah al-Istiqamah, t.t.
as-San’ani. Subul as-Salam. Riyadh: Jami’ah ibn Su’ud al-Islamiyah, 1408 H.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
NASRUN HAROEN