Maqam

(Ar.: al-maqamah)

Maqam adalah tingkatan suasana kerohanian yang ditun­jukkan seorang sufi berupa pengalaman spiritual yang dirasakan dan diperoleh melalui usaha tertentu. Dengan kata lain, maqam merupakan jalan panjang yang berisi tingkatan yang harus ditempuh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.

Tasawuf bertujuan agar manusia (sufi) memperoleh­ hubu­ngan langsung dengan Allah SWT sehingga­ ia menyadari benar bahwa dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah SWT. Se­orang sufi tidak begitu saja dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT, kecuali harus menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan (stages atau stations).

Jumlah maqam yang dilalui seorang sufi ternyata berbeda­ dengan sufi lain karena hal itu sangat berkaitan erat dengan pengalaman sufi itu sendiri. Dalam­ buku yang menguraikan masalah tasawuf,­ perbedaan itu terlihat dengan jelas.

Abu Hamid­ al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum ad-Din mengatakan ada 9 macam maqam, yaitu­ tobat, sabar, kefa­kiran, zuhud, takwa, tawakal,­ mahabah (cinta), makrifat, dan rida (kerelaan)­.

Abu Bakar al-Kalabazi dalam kitabnya at-Ta‘arruf li Madzahab Ahl at-Tasawwuf (Pengantar ke Arah Mazhab Tasawuf) menyebutkan ada 9 macam maqam, yaitu: tobat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati (at-tawadu‘), tawakal, kerelaan, cinta, dan makrifat.

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (tokoh fundamentalis tasawuf) dalam kitabnya­ al-Luma‘ menyatakan ada 7 macam maqam,­ yaitu tobat, warak, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, dan kerelaan hati. Sementara­ itu, Abu Qasim­ Abdul Karim al-Qusyairi menye­butkan ada 6 macam maqam, yaitu tobat, warak, zuhud, tawakal, sabar, dan kerelaan.

Di samping yang disebutkan di atas, ada pula jenis maqam lainnya, yaitu fana (tidak kekal) dan baka (abadi) serta al-ittihad (bersatu dengan Allah SWT). Di antara bermacam-macam maqam tersebut,­ yang paling populer hanya lima macam, yakni tobat, zuhud, sabar, tawakal, dan kerelaan.

Zuhud (az-zuhd). Keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari kehidupan kebendaan. Zuhud adalah maqam terpenting yang harus dilalui seorang sufi. Seseorang yang hendak menjadi sufi harus lebih dahulu menjadi zahid (Ing.: ascetic) karena menurut pandangan para sufi, dunia­ dan segala kehidupan materinya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan­ yang mendatangkan dosa.

Prinsip para sufi mengenai dunia antara lain diucapkan al-Hasan al-Basri (ahli hadis dan fikih periode tabiin), “Per­lakukanlah dunia ini sebagai jembatan untuk dilalui, jangan membangun apa-apa di atasnya.” Lebih jauh ia mengatakan,

“Jauhilah dunia ini karena­ ia bagaikan ular, lembut dalam elusan tangan tetapi racunnya mematikan…hati-hatilah terhadap dunia ini karena ia penuh kebohongan dan kepalsuan.”

Tobat (at-taubah). Menurut para sufi, dosa adalah pemisah antara seorang hamba dan Allah SWT karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah SWT Maha Suci dan menyukai yang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah SWT, ia harus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat.

Tobat yang dimaksud adalah tobat yang sebenarnya, yang tidak me­lakukan dosa lagi, bahkan lebih jauh lagi tobat yang sebe­narnya dalam paham tasawuf adalah lupa pada segala hal kecuali Allah SWT. Tobat tidak dapat dilakukan hanya sekali, tetapi harus berkali-kali sebagimana ditegaskan Rasulullah SAW yang berarti: “Demi Allah, saya mohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali” (HR. Bukhari).

Warak (al-wara‘). Menjauhkan diri dari segala­ sesuatu yang mengandung syubhat (keraguan) terhadap yang halal karena dengan­ mendekati­ yang syubhat seseorang akan terjerumus kepada­ sesuatu yang haram. Qamar Kailani (penulis masalah sufi) mengatakan bahwa para sufi membagi warak atas dua bagian:

(1) warak lahiriah, yakni tidak menggunakan anggota tubuhnya untuk hal yang tidak diridai Allah SWT dan

(2) war­ak batiniah, yaitu tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali dengan Allah SWT.

Kefakiran (al-faqr). Dalam paham tasawuf, kefakiran berarti “tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada dirinya, tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajibannya”. Namun, jika diberi, ia menerimanya­. Seorang­ sufi tidak meminta dan tidak menolak pemberian Allah SWT.

Sabar (as-sabr). Konsekuen dan konsisten melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi la­rangan-Nya, tahan uji menghadapi kesulitan dan cobaan, tabah menunggu­ da­ tangnya pertolongan Allah SWT, dan tabah menerima segala konsekuensi kesabaran tersebut.

Tawakal (at-tawakkal). Menyerahkan diri secara total kepa­da Allah SWT. Tawakal berhubungan dengan nilai kesempur­naan batin seorang sufi karena ia menyadari­ bahwa Allah SWT bertindak sesuai dengan kehendak-Nya. Ia menyerahkan diri tanpa bertanya mengenai sebabnya­ dan meninggalkan usaha di luar batas kemampuannya­ sebagai manusia. Ini mengambil­ pelajaran dari Al-Qur’an surah ar-Ra‘d (13) ayat 24.

Rida (ar-ridha). Menerima kada dan kadar Allah SWT serta mengeluarkan rasa benci sehing­ga yang tinggal hanyalah rasa senang, tidak meminta imbalan atas amal ibadahnya, dan lebih dari itu merasa senang jika tertimpa musibah sebagaimana ia senang ketika menerima nikmat. Zunnun al-Misri menyebutkan ada tiga tanda dalam diri sese­orang jika ia telah sampai pada maqam rida, yaitu:

(1) meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan;

(2) lenyap rasa resah gelisah sesudah terjadi ketentuan; dan

(3) cinta yang bergelora pada saat menerima­ musibah.

Mahabah (al-mahabbah). Cinta kepada Allah SWT, dalam arti patuh kepada-Nya, membenci setiap­ sikap yang mela­ wan kepada-Nya, menyerahkan diri se­penuhnya, dan men­ gosongkan diri dari segalanya kecuali Allah SWT yang dicintai. Maqam ini didasarkan pada surah al-Ma’idah (5) ayat 54 dan Ali ‘Imran (3) ayat 31. Menurut as-Sarraj at-Tusi, cinta itu ada tiga tingkat:

(1) cinta biasa, terwujud dalam zikir dan tasbih;

(2) cinta yang sidik, yaitu cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT sehingga ia dapat melihat rahasia yang ada pada-Nya; dan

(3) cinta yang arif, yakni cinta seseorang yang betul-betul mengetahui Allah SWT sehingga yang dirasakan bukan lagi cinta melainkan diri yang dicintai. Pada akhirnya yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai. Mahabah ini terutama dialami sufi, seperti Rabi’ah al-Adawiyah.

Makrifat (al-ma‘rifah). Mengetahui Allah SWT dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat-Nya. Makrifat bukanlah­ hasil pemikiran manusia, melainkan kehendak dan rahmat yang diberikan Allah SWT kepada sufi yang sanggup men­erimanya.

Fana dan Baka (al-fana’ wa al-baqa’). Seorang sufi yang telah sampai pada tingkat makrifat berarti telah dekat dengan­ Allah SWT; bertambah tinggi tingkatnya da­lam makrifat, bertambah dekat pula ia kepada Allah SWT se­hingga akhirnya ia bersatu dengan-Nya, yang dalam istilah tasawuf disebut al-ittihad.

Akan tetapi sebelum bersatu dengan Allah SWT, ia terlebih dahulu harus meng­hancurkan­ dirinya, yang disebut fana. Penghancuran diri itu selalu diiringi dengan baka. Fana dan baka dalam pengalaman sufi adalah dua kembar yang tak dapat dipisahkan.

Di samping maqam, dalam tasawuf terdapat istilah­ hal, yaitu suatu keadaan mental, seperti pe­rasaan senang, se­dih, dan takut. Hal yang biasa dikenal adalah takut (khauf), rendah hati (tawadu‘),­ patuh (at-taqwa), ikhlas, rasa berteman­ (al-uns), gembira (al-wajd), dan syukur. Hal berbeda dengan maqam. Hal diperoleh bukan atas usaha manusia, melainkan dianugerahkan Allah SWT, bersifat sementara, dan selalu datang lalu pergi.

DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Harun, Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
al-Jili, ‘Abdul-Karim bin Ibrahim. al-Insan al-Kamil fi Ma‘rifah al-Awakhir wa al-Awa’il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl at-Taœawwuf, ed.
M.A. an-Nawawi. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1969.
al-Kurdi, Muhammad Amin. Tanwir al-Qulub fi Mu‘amalah ‘Allam al-Guyub. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Nasr, Husein. Sufi Esseys. London: George Allen & Unwin. Ltd, 1971.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam, atau Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Tirmingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.

Syahrin Harahap

__