Mantik

(Ar.: al-mantiq)

Secara harfiah, al-mantiq berarti “berbicara atau berpikir”, yang diterjemahkan dengan istilah “logika formal”, yakni cabang filsafat yang mempelajari asas dan aturan penalar­an supaya seseorang­ dapat memperoleh kesimpulan yang benar.

Kata “mantik” dalam bentuk kata kerjanya nataqa-yantiqu berulang kali disebut di dalam Al-Qur’an, dan satu kali dengan kata mantiq pada surah an-Naml (27) ayat 16 yang berarti:

“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata, ‘Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang ucapan burung­ dan kami diberi segala sesuatu. Sesung­guhnya (semua) ini benar-benar satu kurnia yang nyata’.”

Aspek yang terdapat dalam mantik adalah:­

(1) ilmu tentang aturan berpikir,

(2) ilmu untuk mencari dalil (argu­mentasi),

(3) ilmu untuk menggerakkan­ pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran, dan

(4) alat yang merupakan kaidah. Apabila kaidah ini dipeliha­ra­ dan diperhatikan, nurani manusia dapat terhindar dari pikiran yang salah. Mantik juga disebut “dialektika” yang berarti “berbicara dengan maju ke arah pandangan”, atau juga bisa disebut proses perubahan keadaan karena proses atau per­jalanan pikiran memperoleh kemajuan­ sedikit demi sedikit.

Mantik mempelajari reasoning (penalaran), yaitu­ proses budi manusia yang berusaha sampai pa­da suatu keterangan baru dari satu atau beberapa keterangan lain yang telah diketahui, dan keterang­an baru itu merupakan kelanjutan dari beberapa keterangan yang semula.

Keterangan yang semula itu dinamakan premis (muqaddimah), sedangkan­ keterangan yang baru disebut kesimpulan­ (natijah/silogisme). Yang sesungguhnya dipelajari­ logika (mantik) bukanlah proses senyatanya­ bagaimana budi manusia itu bekerja sehingga sampai pada suatu kesimpulan, melainkan aspek yang konk­ret pada penalaran yang telah diselesaikan­.

Suatu kesimpulan adalah benar apabila premis, baik premis minor maupun mayor, mendukung kesimpulan yang diturunkan. Oleh karena itu, kalau seseorang mene­rima atau mengakui premis­ itu benar, ia wajib pula menerima kesim­ pulannya sebagai benar.

Tujuan mempelajari mantik adalah berpikir se­cara kritis dan teliti, tidak hanya puas kepada pe­ngalaman,­ tetapi juga mencari dasar hukum yang dapat memberi penjelasan ten­tang pengalam­an­ itu. Orang yang mempelajari mantik akan memilih­ kata yang tepat dengan pikiran yang hendak mereka kemukakan, menyusun kalimat yang benar dan baik agar mudah dimengerti orang lain sesuai dengan maksud yang dikehendakinya.

Secara lebih spesifik, tujuan mempelajari mantik adalah:

(1) untuk membahas hal-ihwal tentang suatu persoalan dengan syarat, dan

(2) untuk memperoleh apa yang telah dianggap benar jika syarat itu dapat dipenuhi.

Adapun faedah mempelajarinya adalah:

(1) melatih­ jiwa manusia agar dapat memperhalus jiwa dan pikirannya,

(2) mendidik kekuatan akal pikiran dan mengembangkannya­ dengan sebaik-baiknya melalui latihan dan mengadakan­ penyelidikan tentang cara berpikir,

(3) menempatkan segala sesuatu­ pada tempatnya dan mengerjakan pekerjaan tepat­ pada waktunya, dan

(4) membedakan pikiran yang benar dan yang salah.

Ilmu mantik pada mulanya adalah hasil pemikiran­ filsuf Yunani kuno sejak abad ke-5 SM. Yang pertama mengge­rakkan ilmu mantik adalah golongan Sofiisme yang pergu­ruannya hanya­ mementingkan soal perdebatan.

Peletak batu pertamanya adalah Socrates (470–399 SM), dilanjutkan oleh Plato (428–348 SM), dan dilengkapi oleh Aristoteles (384–322 SM), yang menyusun­ ilmu mantik ini dengan pembahasan­ yang teratur. Oleh karena itu, di kalangan filsuf muslim, Aris­toteles digelari al-Mu‘allim al-Awwal (Guru Pertama).

Setelah muncul filsuf muslim Abad Pertengahan, banyak tambahan dalam persoalan ilmu mantik. Guru kedua­ atau al-Mu‘allim ats-sani adalah al-Farabi (872–950 M), karena ia banyak memperbarui ilmu mantik ini. Ilmu mantik, yang ta­dinya hanya merupakan­ teori, oleh al-Farabi dipelajari­ secara ‘amaliyyah (praktek), artinya kebenaran setiap premis diuji.

Hal ini memberikan jalan kepada pembahasan ilmu mantik secara mendalam pada abad baru yang dipelo­pori Herbert Spencer (filsuf Inggris; 1820–1903) dengan menggunakan percobaan berdasarkan pancaindra. Demikian juga René Des­ cartes (filsuf Perancis; 1596–1650) dan Immanuel Kant (filsuf Jerman; 1724–1804) yang dalam pembahasannya banyak berpedoman pada mantik dan tidak sedikit pula sumbangan mereka­ pada ilmu mantik abad baru.

Ilmu ini banyak dipelajari para filsuf muslim, seperti al-Kindi, al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Zaman­ kebangkitan­ ilmu ini digunakan secara efektif oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, dua tokoh pembaru Islam yang berpengaruh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mu‘in, M. Taib Thahir. Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta:­ Wijaya, 1981.
Madjid, Nurcholish, ed. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Nasution, Harun. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Ahmad Rofiq

__