Makmum

(Ar.: al-ma’mum)

Makmum berarti “orang yang mengikuti”, yaitu orang yang dipimpin seorang imam dan menjadi pengikut di dalam salat atau orang yang ikut bersembahyang di belakang imam. Islam menganjurkan agar salat dilakukan dengan berjemaah, yaitu ada seorang imam yang menjadi ikutan dan satu orang atau lebih mengikutinya secara bersaf (ber­baris rapi) di belakang.

Syarat menjadi makmum (mengikut imam) adalah sebagai berikut:

(1) berniat menjadi makmum;

(2) mengikuti­ imam dalam segala pekerjaannya pada pelaksanaan salat tersebut;

(3) mengetahui gerak-gerik imam dalam melakukan gera­kan salat, baik melalui orang yang berada di depannya atau mendengar suara imam atau suara mubalighnya;­

(4) berada dalam satu tempat dengan imam; apabila imam berada di da­lam masjid sedangkan makmum di luar masjid yang jauhnya tidak lebih dari 200 kaki dan dapat mengetahui salat imam tanpa tabir (pemisah), salat makmum tersebut sah;

(5) berdiri tidak lebih maju ke depan daripada imam;

(6) yakin bahwa imamnya itu tidak batal salat, misalnya karena menanggung hadas;

(7) tidak boleh mendahului imam dalam gerakan salat (dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya imam itu didirikan adalah untuk diikuti. Oleh sebab itu janganlah kalian rukuk sebelum ia rukuk, dan janganlah kalian bangkit sebelum ia bangkit” [HR. Ahmad dan Muslim]);

(8) mengetahui bahwa orang yang menjadi imam itu tidak sedang menjadi makmum; dan

(9) tidak boleh bermakmum kepada orang yang sedang salat yang aturannya tidak sama dengan salat yang akan dilakukan, misalnya orang yang salat fardu mengi­kuti imam yang sedang salat gerhana atau salat jenazah.

Apabila makmum lebih dari satu, makmum tersebut harus membentuk saf (berbaris secara rapi). Nabi SAW memberi tun­ tunan tentang hal ini, yang antara lain adalah sebagai berikut:

(1) Saf pertama adalah lebih utama. Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Jabir RA disebutkan:

“Rasulullah datang kepada kami, lalu bersabda, ‘Tida­ kkah kamu suka berbaris bagaikan barisan malaikat di sisi Tuhannya?’ Kami menjawab, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana barisan mereka di depan Tuhannya?’ Rasul kembali menjawab, ‘Menyempurnakan­ barisan pertama dan rapat benar dalam barisan.’”

(2) Saf laki-laki berbeda dengan wanita dari segi nilainya­. Saf laki-laki yang terbaik adalah saf yang paling depan, se­ mentara saf wanita yang terbaik adalah yang paling akhir (HR. Muslim).

(3) Rasulullah SAW membedakan tingkatan makmum yang bersaf itu dalam sabdanya: “Ratakan barisan dan janganlah berselisih. Hendaknya orang-orang yang lanjut usia dan cerdik pandai dari kamu mendekat kepada saya. Kemudian orang-orang yang di bawah mereka, kemudian yang di bawah mere­ka, kemudian yang di bawah mereka lagi” (HR. Muslim).

(4) Makmum meratakan dan merapatkan saf, karena mera­ takan dan menyempurnakan saf itu termasuk kesempurnaan­ salat (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di tengah barisan saf itu ada yang kosong maka akan ditempati setan (HR. Ahmad).

(5) Makmum dianjurkan untuk mendengarkan bacaan imam (HR. Daruqutni) dan membaca amin (terimalah, ka­bulkanlah) setelah imam selesai membaca surah al- Fatihah sampai bacaan gairi al-magdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin (bukan [jalan] mereka yang dimurkai dan bukan [pula jalan] mereka yang sesat).

(6) Jika imam terlupa, maka makmum laki-laki meng­ ingatkan imam dengan membaca Subhana Allah (Maha Suci Allah), sedangkan makmum wanita mengingatkannya­ cukup dengan bertepuk.

Makmum yang terlambat datang untuk mengikuti salat berjemaah disebut masbuq. Ketentuan tentang makmum masbuq adalah sebagai berikut.

Apabila makmum datang ketika imam sudah selesai membaca surah al-Fatihah tetapi belum rukuk, makmum tersebut membaca surah al-Fatihah sedapatnya kemudian segera mengikuti imam dalam rukuk. Kalau ia masih sempat rukuk secara sempurna bersama imam, salatnya dapat dihitung satu rakaat.

Kemudian salat dilanjut­ kan bersama imam sampai selesai. Apabila ada rakaat yang tertinggal maka harus disempurnakan sendiri setelah imam membaca salam pertama.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Rifai, Moh. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Semarang: CV. Toha Putra, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Maktabah al-Namudzaziyah, t.t.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.
SYAHRIN HARAHAP