Makanan

(Ar.: al-at‘imah)

Segala yang boleh dimakan (al-ma’kul) dan dapat men­guatkan serta memberikan tenaga bagi manusia disebut makanan. Makanan merupakan salah satu persoalan penting karena Islam memberi batasan makanan yang halal dan haram. Umat Islam diperintahkan untuk mema­kan makanan halal dan baik serta meninggalkan­ makanan haram (QS.2:168).

Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa daging siapa saja yang tumbuh dan berkembang dari sesuatu yang har­am, nerakalah yang lebih pantas baginya­. Karena persoalan makanan demikian penting­ dalam Islam, fukaha (ahli hukum Islam) selalu membahasnya­ dalam kitab fi­kih de­ngan judul al-at‘imah (bentuk­ jamak dari Ta‘am yang berarti “makanan”).

Secara umum makan­an terdiri dari dua jenis, yaitu makanan hewani dan makanan nabati (tumbuh-tumbuhan) atau yang diolah­ dari kedua jenis itu. Adapun makanan­ dari jenis tum­buh-tumbuhan tidak begitu banyak diper­soalkan.

Islam tidak mengharamkan­ hal tersebut kecuali telah menjadi arak, baik yang terbuat dari anggur, kurma, gandum, maupun dari ba­han lainnya. Islam juga mengharamkan­ semua benda yang dapat menghilangkan kesadaran,­ melemahkan urat, dan membahayakan tubuh.

Al-Qur’an menegaskan bahwa semua yang ada di alam ini diciptakan Allah SWT sebagai nikmat bagi manusia dan Allah SWT telah menciptakan kemudahan dalam menikmatinya (QS.2:29, QS.45:13, dan QS.31:20). Namun, pada sisi lain Allah SWT memerintahkan dan melarang manusia sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 168 yang berarti:

“Hai sekalian manusia, makanlah­ yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguh­ nya setan itu adalah­ musuh yang nyata bagimu.”

Rasulullah SAW pernah menetapkan pedoman umum mengenai masalah ini dalam sebuah sabdanya:­

“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka itu adalah halal, dan apa saja yang ia haramkan maka ia itu adalah haram. Adapun apa yang ia diamkan, maka yang demikian itu dibolehkan. Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaaf­an-Nya itu sebab sesungguhnya Allah tidak lupa sedikitpun. Kemudian Rasulullah SAW mengutip atau membaca surah Maryam (19) ayat 64” (HR. Hakim dan Bazzar).

Makanan yang dihalalkan dalam Islam adalah seluruh makanan yang baik dan telah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia dari jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali yang ditegaskan­ Allah SWT keharamannya. Semen­tara makanan yang diharamkan, secara garis besar, terdiri dari empat macam, yakni:

(1) Bangkai

(2) Darah,

(3) Daging babi,

(4) Binatang yang disembelih bu­kan karena Allah SWT (QS.2:173).

Hal ini ditegaskan­ kembali dalam surah al-An‘am (6) ayat 145 yang berarti:

“Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.

Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui­ batas, maka sesungguhnya­ Tuhanmu Maha Pengampun lagi Ma­ha Penyayang.’”

Dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 3, Allah SWT me­rinci apa yang dimaksud dengan bangkai itu:

(1) Al-munkhaniqah, yaitu binatang yang mati karena dicekik, baik dengan menghimpit lehernya, maupun­ menggilas kepalanya;­

(2) Al-mauquzah, yaitu binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat;

(3) Al-mutaraddiyah, yaitu binatang­ yang jatuh dari ketinggian dan menyebabkannya mati, atau jatuh ke dalam sumur;

(4) Binatang yang mati karena berkelahi;

(5) Ma akala as-sabu‘u, yaitu binatang yang disergap binatang buas;

(6) Ma dzubiha ‘ala an-nusub, yaitu binatang yang disembelih untuk persem­bahan pada berhala.

Yang disebut terakhir ini dikelompok­ kan pada binatang yang disembelih­ bukan karena Allah SWT.

Islam memberi pengecualian pada ikan dan belalang­ serta sebagian binatang laut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 96 dan salah satu hadis Nabi SAW yang berarti:

“Laut itu airnya suci dan bangkainya halal” (HR. an-Nasa’i). Demikian pula hadis Nabi SAW dari Ibnu Abi Aufa: “Kami pernah berperang­ bersama Nabi tujuh kali peperangan, kami makan belalang bersama beliau”­ (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah).

Semua binatang yang diharamkan itu berlaku ketika da­lam keadaan normal. Adapun dalam keadaan­ darurat, ada kelonggarannya sebagaimana firman Allah SWT,

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-bi­natang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharam­ kan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu me­ makannya….” (QS.6:119).

Lebih lanjut Allah SWT berfirman, “…Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat do­sa, ses­ungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha­ Penyayang”­ (QS.5:3).

Banyak sekali hewan yang dagingnya sangat baik untuk pertumbuhan manusia, tetapi sukar diperoleh dan di­sem­belih secara normal (pada lehernya) sebagaimana­ hewan­ peliharaan. Oleh karena itu ma­nusia dapat berburu untuk memperolehnya. Untuk itu Islam mengantisipasinya dengan memberikan persyaratan tertentu, baik terhadap orang yang berburu, maupun hewan yang diburu.

Persyaratan bagi setiap pemburu adalah sebagai ber­ikut:

(1) Islam, ahli kitab, atau yang dapat dikelompokkan sebagai ahli kitab;

(2) Melaksanakan perburuan dengan sungguh-sungguh sehingga nyawa binatang yang melayang tersebut tidak sia-sia; mengenai hal ini Rasulullah SAW me­negaskan bahwa orang yang berburu dengan main-main akan diminta pertanggungjawabannya­ pada hari kiamat (HR. an-Nasa’i dan Ibnu Hibban);

(3) tidak berburu ketika sedang ihram (QS.5:95). Adapun persyaratan bagi hewan yang diburu:

(1) tidak mungkin dapat disembelih­ di lehernya dan

(2) jika sampai ke tangan pemburu dalam keadaan hidup, maka wajib disembelih (HR. Bukhari dan Muslim). Mengenai alat yang dipakai untuk berburu, jika memakai­ senjata tajam (panah, pedang, dan tombak) disyaratkan:­

(1) harus dapat menembus kulit agar hewan itu mati karena tajamnya, bukan karena beratnya (HR. Bukhari dan Muslim);

(2) harus disebut nama Allah SWT ketika melepaskannya. Jika menggunakan hewan pemburu, maka disyaratkan:

(1) hewan itu harus terdidik;

(2) hewan itu harus berburu untuk kepentingan tuannya;

(3) menyebut­ nama Allah SWT ketika melepaskan hewan pemburu tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Khatib, Muhammad asy-Syarbaini. Mugni al-Muhtaj ila Ma‘rifah Ma‘ani Alfaz al-Minhaj. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1958.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf. al-salal wa al-haram fi al-Islam, atau Halal dan Haram dalam Islam, terj. Muammal Hamidy. Surabaya: Bina Ilmu, t.t.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Hukum-Hukum Fiqh Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Syahrin Harahap