Majelis Ulama Indonesia

(MUI)

MUI adalah sebuah lembaga koordinasi dan konsultasi yang menghimpun pemikiran ulama se-Indonesia. Peran MUI sangat strategis karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim. Latar belakang berdirinya MUI adalah peran penting ulama dalam sejarah Indonesia, khususnya menyangkut program pemerintah di bidang keagamaan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibentuk pada 26 Juli 1975/27 Rajab 1395 dalam suatu pertemuan ulama nasional di Jakarta (21–27 Juli 1975), yang dihadiri oleh pimpinan Ma­jelis Ulama Daerah, pimpinan ormas Islam tingkat pu­sat, pem­bina kerohanian dari AD, AL, AU, Polri, dan beberapa­ tokoh Islam, yang kemudian disebut Musyawarah Nasional I MUI.

Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh lima faktor:

(1) didiri­ kannya Majelis Ulama Propinsi atau Kabupaten di daerah;

(2) adanya Majelis Ulama Islam yang berperan­ cukup penting di negara lain, terutama ASEAN;

(3) perlunya ‘wakil umat Islam’ dalam musyawarah antaragama,­ serta ‘wakil ulama’ Indonesia dalam pergaulan ulama internasional;­

(4) perlunya wadah musyawarah, silaturahmi, dan pembinaan­ ukhuwah islami­ah;

(5) perlunya lem­baga yang membantu pemerintah dan masyarakat dalam memberi pertimbangan keagamaan, fatwa, serta pembangunan­ moral dalam pelaksanaan pem­ bangunan bangsa.

Jauh sebelum 1975, pemerintah telah mengusahakan berdirinya majelis ulama, namun fungsi dan tugasnya berbe­da dari MUI yang dibentuk pada 1975. Di Jawa Barat, Majelis Ulama pertama didirikan pada 12 Juli 1958. Majelis ini secara ex officio diketuai oleh Panglima Militer Daerah. Majelis Ulama Pusat didirikan agar pemerintah dapat mengadakan pembinaan­ terhadap kegiatan masyarakat yang dianggap penting­.

Susunan pengurus Majelis Ulama Pusat waktu itu adalah sebagai berikut: ketua (Kiai Fatah Jasin, Menteri Penghubung Alim Ulama) dan sekretaris (Muchlas Rowi, Kepa­la Bagian Rohani Angkatan­ Darat). Pengurus lain terdiri atas perwakilan dari:

(1) Nahdlatul Ulama: KH A. Wahab­ Hasbullah dan KH Idham Chalid (menteri koordinator dan wakil ketua MPRS);

(2) Departemen Agama: O.K. H Abdul Aziz, Prof. KH Faried Ma’ruf, serta Mahmud Yunus;

(3) Parlemen: Aruji Kartawinata (koordinator dan ketua Parlemen).

Peranan dan tugas Majelis Ulama Pusat ketika itu hanya mencari dukungan buat pemerintah­ dari pihak ulama. Dalam salah satu rapatnya pada 26–28 Mei 1964, majelis me­mutuskan untuk memberi “gelar ilmiah” kepada Presiden Soekarno sebagai simbol terima kasih orang Islam kepadanya.

Di Sumatera Barat, Majelis Ulama (1966) diketuai Datuk Palimo Kajo, sedangkan di Aceh ketua kehormatan­ Majelis Ulama Aceh sejak 1967 adalah Daud Beureuh. Di Su­lawesi Selatan ulama telah diorganisasi oleh Panglima Militer Wilayah melalui konferensi, dan dalam suatu konferensi pada September 1970 telah dimunculkan berbagai masalah, antara lain masalah pendidikan, ekonomi,­ dan dakwah.

Dalam perjalanan sejarahnya, Majelis Ulama dalam rentang waktu 1962 sampai dibentuknya­ MUI pada 1975 ter­lihat tidak mempunyai rencana dan cara kerja yang seragam. Segalanya terserah pada daerah yang bersangkutan­.

Kendala seperti inilah yang hendak dibicarakan­ dalam Kongres Ulama di Jakarta pada 1975, yang merupakan­ babak baru perkem­bangan Majelis Ulama di Indonesia.

Pusat Dakwah Islam Indonesia yang dibentuk menteri Ag­ama RI (14 September 1969) memprakarsai­ penyelenggaraan­ Lokakarya Mubaligh se-Indonesia (26–29 November 1974). Lokakarya ini melahirkan sebuah kon­sensus bahwa perlu ada majelis ulama sebagai wahana yang dapat menjalankan mekanisme efektif dan efisien guna memelihara­ dan mem­bina kontinuitas partisipasi­ umat Islam Indonesia terhadap pembangunan­.

Konsensus ini lebih diperkuat lagi dengan ama­nat Presiden Soeharto ketika menerima Pengurus Dewan Masjid Indonesia (24 Mei 1975) yang meng­harapkan dibentuknya MUI. Sebagai­ tindak lanjut dari konsensus dan amanat Presiden tersebut, dimulailah usaha pembentukan MUI secara intensif.

Daerah yang belum membentuk majelis ulama telah mengadakan persiapan atas instruksi Menteri Dalam­ Negeri. Pada Mei 1975 majelis ulama telah terbentuk di seluruh daerah tingkat I dan seba­gian daerah tingkat II, sedangkan di pusat dibentuk Panitia Persiapan Musyawarah­ Nasional I MUI yang diketuai Drs. H. Kafrawi­ Ridwan MA.

Setelah panitia persiapan menye­lesaikan tugasnya, yakni merumuskan materi, tema, serta kegiatan musyawarah,­ dan setelah mendapat restu Presiden, menteri Agama dengan suratnya­ Nomor 28 pada 1 Juli 1975 membentuk sebuah Panitia­ Musyawarah Nasional MUI yang diketuai oleh Letjen H Soedirman. Tim penasihat terdiri atas Prof. Dr. HAMKA, KH Abdullah Syafi’i, dan KH M. Syukri Ghozali.

Mu­syawarah Nasional I MUI berlangsung­ pada 21–27 Juli 1975 dan seluruh­ peserta bertekad bulat untuk membentuk­ MUI dengan mem­beri kepercayaan­ kepada Prof. Dr. HAMKA sebagai ketua­nya. Kebulatan tekad ini ditandai dengan ikrar bersama yang dit­uangkan dalam suatu piagam berdirinya­ MUI oleh 53 ulama yang mewakili MUI dari 26 propinsi, 10 orang wakil ormas Islam, 4 orang pembina kerohanian TNI/Polri, dan 13 orang ulama perseorangan.

Pembentukan MUI dimaksudkan­ agar para ulama mempu­nyai wadah dan peran serta dalam mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur secara rohani dan jasma­ ni sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN yang diridai Allah SWT, yakni dengan membina dan membimbing umat untuk meningkatkan iman dan pengamalan ajaran Islam.

MUI mempunyai fungsi yang sangat strategis dan relevan dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Fungsi tersebut meliputi

(1) memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah­ dan umat Islam umumnya, sebagai amar makruf nahi mungkar;

(2) memperkuat ukhuwah­ (kerukunan) islamiah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan­ antarumat beragama­ dalam mewujudkan per­satuan dan kesatuan bangsa;

(3) mewakili umat Islam dalam konsultasi antarumat beragama; dan

(4) menjadi penghubung­ antara ulama dan umara (pe­jabat pemerintahan),­ serta menjadi penerjemah timbal balik antara pe­merintah­ dan umat beragama guna menyukseskan pem­bangunan nasional.

MUI bersifat koordinatif, konsultatif, informatif, dan pengayom, tidak berafiliasi pada salah satu golongan politik.

Di samping itu, MUI mengemban misi untuk meng­gerakkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam secara efektif, sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk akidah islamiah, menjalankan syariah islamiah, dan menjadikan ulama sebagai panutan agar terwujud masyarakat yang khair al-ummah. Untuk itulah, MUI menjalankan sembilan orientasi khusus:

(1) Diniyyah (keagamaan);

(2) Irsyadiyyah (dakwah);

(3) Hijabiyyah (responsif secara positif);

(4) Hurriyyah­ (inde­penden);

(5) Ta‘awuniyyah (tolong-menolong);

(6) Syuriyyah (musyawarah);

(7) Tasamuh (toleran dan moderat);

(8) Qudwah (kepeloporan);

(9) Adduwaliyyah­ (global atau mendunia).

MUI dibentuk di tingkat pusat, daerah tingkat I, dan daerah tingkat II. Kepengurusan­ MUI di tingkat nasional terdiri atas:
(1) pelindung,­ yaitu Presiden RI;

(2) dewan pertimbangan, yang terdiri atas menteri yang memiliki hubungan tugas dengan pelaksanaan fungsi MUI;

(3) ulama terkemuka dalam masyarakat, yang diketuai menteri Agama.

Adapun dewan pimpinan sebagai­ pengelola kegiatan sehari-hari terdiri atas para ulama yang mencerminkan unsur yang terdapat dalam masyarakat. Dengan keikut­sertaan berb­agai unsur tersebut, MUI dapat bertindak sebagai pemersatu bagi semua kelompok agama Islam.

Sejak terbentuknya, MUI telah melaksanakan kegiatan dalam merealisasi tugas pokok dan perannya. Kegiatannya secara garis besar meliputi pembinaan umat dan pemba­ ngunan nasional. Dalam pembinaan umat, MUI telah melaku­ kan kegiatan di bidang dakwah islami­ah, ukhuwah islamiah, pendidikan Islam, pengkajian dan pengembangan Islam, perekonomian Islam, peningkatan hubungan luar negeri, kerukunan antarumat beragama, pemberdayaan perempuan, remaja dan keluarga, serta penetapan hukum dan fatwa.

MUI telah mengeluarkan sejumlah fatwa, antara lain tentang hu­ kum orang Islam menghadiri upacara pe­rayaan agama lain, penyembelihan hewan secara mekanik,­ penggunaan­ pil anti­ haid, Islam Jamaah, Inkar­sunnah, Ahmadiyah serta Syiah, perkawinan campuran, talak tiga sekaligus, penyelenggaraan panti pijat, bunga bank, dan donor mata.

Dalam bidang dakwah islamiah, MUI telah me­lakukan kegiatan, antara lain penyusunan pola dan program terpadu oleh semua ormas, badan, lembaga serta instansi yang berwenang, dalam usaha menyelenggarakan pendidikan para dai (juru dakwah) serta mubalig (penyiar agama), dan penyebarannya ke daerah.

Di samping itu MUI telah melak­sanakan pendidikan kader ulama (PKU) sejak 1989, yang akan diterjunkan ke daerah di Indonesia. Selain bidang fatwa dan dakwah islamiah, MUI juga telah melaksanakan­ berbagai ke­giatan menyangkut bidang pendidikan,­ ukhuwah islamiah, dan pengkajian Islam.

Dalam bidang kajian Islam ini telah dilaksanakan kegiatan seperti menghimpun ulama dan cendekiawan secara terus-menerus untuk mengkaji secara sungguh-sungguh setiap permasalahan­ umat dan mencari jalan keluarnya.

Dalam pembangunan nasional, MUI telah melaksanakan­ kegiatan yang meliputi masalah: pe­mantapan kerukunan hidup antarumat beragama, peningkatan pembinaan moral bangsa melalui konsultasi dengan pemerintah, ke­pendudukan­ serta lingkungan hidup, transmigrasi, pemba­ngunan desa, dan kesejahteraan umat.

Dalam­ upayanya untuk meningkatkan komunikasi, MUI menerbitkan me­dia cetak Mimbar Ulama yang bertujuan untuk menjalin komu­ nikasi antara ulama dan umara serta umat Islam dalam rangka dakwah amar makruf nahi munkar (perintah untuk melaku­ kan yang baik dan mencegah yang keji) dan pembangunan.

Sejak berdiri, kepengurusan MUI telah mengalami be­ berapa kali perubahan. Pada periode 1975–1980, susunan kepengurusan dipimpin Prof. H. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA) sebagai ketua umum dan Drs. H. Kafrawi MA sebagai sekretaris umum. Untuk periode lima tahun beri­kutnya (1980–1985), HAMKA kembali terpilih sebagai ketua umum dan H.A. Burhani Tjokrohandoko sebagai sekretaris umum.

Sebelum menerima kedudukan tersebut, HAMKA sebe­narnya sangat vokal menentang pembentukan MUI. Namun, akhirnya ia menerima posisi ketua umum MUI, dengan berbagai alasan. Pertama, alasan ideologis. Menurut HAMKA, untuk menghadapi ideologi komunis di Indonesia, umat Islam harus menggunakan ideologi yang lebih kuat, yaitu Islam.

Karenanya, umat Islam yang mayoritas di Indonesia harus ber­ sedia bekerjasama dengan pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto yang anti komunisme. Kedua, alasan bersifat praktis. Bagi HAMKA, pemerintah Orde Baru tampak bersikap tidak percaya kepada umat Islam. Dengan dibentuknya MUI, maka HAMKA berharap, hubungan (umat) Islam dan pemerintah Orde Baru dapat terjalin dengan baik.

Di tengah perjalanan kepengurusannya, HAMKA men­ gundurkan diri berkaitan dengan kehebohan tentang “fatwa Natal”. Karena itu, dalam rapat pengurus paripurna MUI pada 20 Syawal 1401 H/20 Agustus 1981, ditetapkan KHM Syukri Ghozali untuk mengisi kekosongan kursi ketua umum yang ditinggalkan HAMKA. Namun, Syukri juga tidak dapat mer­ ampungkan tugas-tugas kepengurusan MUI hingga selesai, karena ia meninggal dunia.

Pada Munas IV diputuskan bahwa kepengurusan MUI periode 1985–1990 dipimpin oleh KH Hasan Basri (ketua umum) dan H.S. Prodjokusumo (sekretaris umum). Pada Mu­ nas V KH Hasan Basri kembali dipercaya menjadi ketua umum untuk periode kepengurusan 1995–2000, sedangkan posisi sekretaris umum diduduki Drs. H.A. Nazri Adlani. Adapun hasil Munas VI memutuskan bahwa ketua umum MUI periode 2000–2005 dipercayakan kepada KH Prof. MA Sahal Mahfudh dan sekretaris umum MUI dijabat Prof. Dr. Din Syamsuddin.

Keberadaan MUI berada di bawah bayang-bayang rezim pemerintahan Orde Baru. Keterlibatan pemerintah dalam MUI sangat jelas sekali, misalnya dalam setiap Munas MUI para pejabat pemerintah dan pemimpin militer terlibat aktif mem­ berikan pengarahan, menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan, bahkan meminta pembukaan Munas dilakukan langsung oleh Presiden Soeharto.

Keterlibatan­ pemerintah dalam MUI pun terlihat dalam struktur kepengurusan MUI. Ada empat menteri yang secara ex officio duduk di Dewan Pertimbangan MUI, yaitu menteri Agama (sebagai ketua), menteri Penerangan, menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan menteri Dalam Negeri (sebagai anggota). Pemerintah Orde Baru juga memberikan bantuan keuangan kepada MUI.

Sejak berdiri, MUI telah mengeluarkan banyak fatwa. Antara lain, fatwa-fatwa tersebut berbicara tentang masa­lah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan, baik yang berkaitan dengan upaya peningkatan umat dalam bidang dakwah, ukhuwah, tarbiyah, maupun bidang ekonomi dan kesejahteraan, yang terkumpul dalam buku Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Mohammad Atho Mudzhar dalam disertasinya tentang MUI, berhasil membuat tipologi atau pembagian atas fat­wa-fatwa MUI menurut tingkat kekuatan pengaruh pemer­ intah Orde Baru. Pertama, fatwa-fatwa MUI yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah Orde Baru. Ketika MUI menge­ luarkan fatwa larangan “perayaan Natal bersama”, misalnya, pemerintah mendesak MUI untuk menarik kembali fatwa tersebut.

Namun, MUI menolak permintaan tersebut. Karena penolakan tersebut, MUI mengalami tekanan­ yang semakin kuat dari pemerintah. Fatwa tersebut pun menimbulkan ketegangan antara MUI dan Orde Baru yang pada akhirnya mendorong HAMKA mengundurkan diri dari jabatan ketua umum MUI.

Kedua, fatwa-fatwa MUI yang memiliki pengaruh kuat dari pemerintah Orde Baru. Rezim Orde Baru sangat ber­harap kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa yang dapat membenarkan langkah-langkah politik pemerintah dari sudut agama. Paling tidak, fatwa-fatwa MUI tidak merugikan politik pemerintah Orde Baru.

Menurut HAMKA hal inilah yang menjadikan posisi MUI “bagai kue bika”–dijepit dari “atas” dan dari “bawah”. Ketika MUI kembali mengeluarkan fatwa porkas, MUI berpendapat bahwa undian untuk membantu pendanaan olahraga itu bukan­lah perjudian, karena pembeli kartu undian porkas tidak saling berhadapan di suatu tempat pada waktu tertentu. Fatwa MUI ini sangat menguntungkan kebijakan pemerintah­ Orde Baru.

Ketiga, fatwa-fatwa MUI yang bersifat netral. MUI mengel­ uarkan fatwa salat Jumat bagi orang-orang dalam perjalanan, perkawinan antaragama, pengangkatan anak, penjualan tanah warisan, penyisipan ayat Al-Qur’an dalam lagu pop, sumbangan kornea mata, pencangkokan katup jantung, dan lainnya. Fatwa-fatwa netral MUI ini tidak mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Dalam hal ini MUI tidak mendapat tekanan berarti dari pemerintah.

Fatwa, nasihat, dan tauœiyyah yang dikeluarkan MUI tampak tidak terpengaruh oleh tekanan pemerintah setelah rezim Orde Baru lengser dari kekuasaannya. Selama pasca pemerintahan Orde Baru MUI telah mengeluarkan banyak pernyataan, sikap, dan tausiyyah tentang beberapa masalah yang berkembang di tengah-tengah umat Islam di Indonesia, antara lain tentang pelaksanaan kampanye pemilu, jalannya Sidang Istimewa MPR-RI, keberadaan ajaran komunisme/ marxismeleninisme, kerusuhan dan pemboman­ di beberapa daerah di Indonesia, serta tentang pornografi dan pornoaksi.

MUI juga mengeluarkan sikap dan pernyataan­ untuk konteks masalah-masalah internasional, misalnya MUI menyatakan keprihatinannya terhadap peristiwa 11 September 2001 di New York dan Washington D.C. (Amerika Serikat) serta menge­ cam keras sikap arogan Amerika Serikat dalam agresinya terhadap Afghanistan dan Irak.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. Kekuatan Islam dan Pergumulan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Departemen Penerangan RI. 10 Tahun Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: t.p., 1985.
Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study
of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975–1988. Jakarta: INIS, 1993.
MUI. Kumpulan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Noer, Deliar. Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1983. Sekretariat MUI. Majelis Ulama Indonesia. Jakarta, 1976.
–––––––. Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia. Ja­karta: Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2001.
SYAHRIN HARAHAP dan IDRIS THAHA