Majelis Islam A’la Indonesia merupakan majelis tertinggi Islam di Indonesia pada zaman Hindia Belanda dan Jepang. Federasi Islam ini didirikan pada 21 September 1937 di Surabaya. Kesadaran para tokoh organisasi Islam ke arah persatuan setelah sadar bahwa beda pendapat dan pertentangan di kalangan mereka sebelum 1937 hanya menyangkut masalah furuk melatarbelakangi berdirinya MIAI.
Pemrakarsa berdirinya organisasi ini adalah KH Mas Mansur dari Muhammadiyah, KH Muhammad Dahlan serta KH Abdul Wahab Hasbullah dari Nahdlatul Ulama, dan W. Wandoamiseno dari Sarekat Islam.
Beberapa pimpinan organisasi Islam juga hadir dalam pembentukannya, seperti dari Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Islam (Persis), al-Irsyad, al-Islam (organisasi Islam lokal di Solo), dan Persyarikatan Ulama (Majalengka).
Sekretariat pertama terdiri atas W. Wandoamiseno (sekretaris), Mas Mansur (bendahara), dan Dahlan serta Wahab (anggota). Pada waktu pembentukannya, yang terhimpun di dalamnya baru tujuh organisasi.
Pada masa selanjutnya, kehadiran MIAI mendapat sambutan baik dari organisasi Islam. Pada 1941 jumlah anggota meningkat menjadi 22 organisasi, termasuk 15 anggota biasa, yaitu Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persis, Persyarikatan Ulama, al-Irsyad, Jong Islamieten Bond, al-Islam (Solo), al-It tihadiat al-Islamiyah (Sukabumi), PII, Partai Arab Indonesia, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Sigli), Musyawarat at-Tolibin (Kandangan, Kalimantan), Nahdlatul Ulama, al-Jamiatul Washliyah (Medan), Nurul Islam (Tanjungpandan, Bangka-Biliton); dan 7 anggota luar biasa, yaitu al-Hidayat al-Islamiyah (Banyuwangi), Majelis Ulama Indonesia (Tolitoli, Sulawesi), Persatuan Muslimin Minahasa (Manado), al-Khairiyah (Surabaya), Persatuan Putera Borneo (Surabaya), Persatuan India Putera Indonesia, dan Persatuan Pelajar Indonesia-Malaya (Mesir).
Perjalanan sejarah dan kegiatan organisasi ini dapat dilihat dalam dua periode waktu, yaitu masa prapenyerbuan bala tentara Jepang dan masa penjajahan Jepang. Pada masa pra-penyerbuan bala tentara Jepang, MIAI melakukan kegiatan terutama di bidang agama, meskipun pada tahun-tahun terakhir menjelang jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang, perhatiannya ke bidang politik cukup besar.
Perhatiannya pada setiap masalah dapat dilihat dalam programnya, yaitu
(1) mempersatukan organisasi Islam Indonesia untuk bekerjasama;
(2) berusaha menjadi pendamai jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan sesama muslim;
(3) memperkukuh hubungan persaudaraan antara muslim Indonesia dan muslim luar negeri;
(4) berikhtiar menyelamatkan Islam dan masyarakatnya dengan membicarakan dan memutus kan soal yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam;
(5) menyelenggarakan kongres kaum muslim Indonesia setiap tahun.
Kongres al-Islam pertama yang diadakan oleh MIAI diselenggarakan di Surabaya pada 26 Februari–1 Maret 1938. Kongres ini membicarakan hal-hal berikut.
(1) Artikel yang ditulis oleh Siti Sumandari dalam majalah Bangun yang dikeluarkan Partai Indonesia Raya (Parindra) pada pembelaan rencana Undang-Undang Perkawinan. Artikel itu memuat kata-kata yang menghina Nabi SAW, menuduh Nabi SAW sebagai seorang yang cemburu, dan menyatakan bahwa banyak bagian peraturan perkawinan Islam pada mulanya dimaksudkan untuk membenarkan nafsu Nabi Muhammad SAW.
Dalam hal ini kongres meminta agar pemerintah mengambil tindakan terhadap penulis yang bersangkutan serta penulis mana pun yang berbuat hal yang sama.
(2) Penolakan terhadap pemindahan perkara waris dari pengadilan agama ke pengadilan negeri biasa (landraad).
(3) Masalah mengenai cara untuk mempersamakan permulaan bulan puasa.
(4) Tuntutan agar pemerintah menghapuskan bea potong hewan untuk kurban.
(5) Seruan kepada semua organisasi Islam agar memberi perhatian terhadap pemberian pelajaran agama kepada para transmigran di Pulau Jawa dan pulau lain.
(6) Seruan kepada organisasi Islam agar melakukan salat gaib untuk para korban perang Palestina, serta permintaan kepada Liga Bangsa-Bangsa agar membatalkan pemisahan Palestina sebagaimana yang dilakukan Inggris.
Kongres al-Islam kedua diselenggarakan di Solo pada tanggal 2–7 Mei 1939 yang dihadiri lebih dari 20 organisasi Islam. Kongres ini banyak mengulang pembicaraan pada kongres pertama, di samping masalah lain, seperti
(1) perlunya perbaikan masalah perkawinan di Indonesia, serta perencanaan pemberian penerangan bagi wanita Indonesia untuk meninggalkan kebiasaan selir;
(2) pembentukan sebuah komisi yang diketuai oleh Persis untuk meneliti masalah penghinaan yang dilancarkan terhadap Islam, serta mempersiapkan pembelaannya;
(3) perhatian pada pembinaan persatuan di kalangan generasi muda Islam dengan menunjuk Jong Islamieten Bond sebagai pelaksana; dan
(4) desakan kepada pemerintah agar menghapuskan Artikel 178 I.S. (Indonesische Staatsblad), yang menetapkan bahwa pengawasan terhadap non-Islam dilakukan kepala anak negeri, dengan alasan bahwa negeri ini adalah negeri Islam.
Kongres ketiga diselenggarakan di Solo pada tanggal 7–8 Juli 1941. Kongres tersebut menghasilkan keputusan antara lain
(1) menuntut pembebasan H Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ayahanda HAMKA;
(2) menyarankan perbaikan pengumpulan zakat fitrah;
(3) membentuk sebuah komisi yang dipimpin H Abdurrahman Syihab (al-Washliyah) untuk menyebarkan Islam dalam persaingan dengan misionaris Kristen di Sumatera Utara;
(4) menolak transfusi darah untuk kepentingan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah penyerbuannya pada tahun 1942, Jepang merasa membutuhkan hidupnya organisasi ini. Oleh karenanya, organisasi ini masih diberi hak hidup untuk melakukan kegiatan. Di kalangan pemerintahan Shumubu (Departemen Agama), organisasi dipimpin oleh seorang Jepang, Kolonel Hori, yang kemudian digantikan Prof. Husein Jayadiningrat, dan selanjutnya oleh KH Hasyim Asy’ari (tugasnya dijalankan oleh putranya KH A. Wahid Hasyim).
Namun, dalam menghidupkan kembali organisasi ini Jepang melihat adanya dua kendala, yaitu organisasi ini tidak dapat diharapkan memenuhi keinginannya, dan adanya program organisasi yang menghalangi bahkan mengancam tujuannya.
Kepentingan Jepang tidak terpenuhi karena:
(1) Dalam MIAI itu sendiri tidak lagi tergabung Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang dipandang mewakili kaum muslim “tradisionalis dan modernis”, sehingga sulit bagi Jepang untuk mengawasi kedua organisasi ini secara langsung;
(2) MIAI sendiri bukanlah organisasi massa, melainkan hanya federasi organisasi yang mempunyai karakter dan kebijak sanaan sendiri;
(3) MIAI dibentuk atas inisiatif kaum muslim, maka perhatiannya banyak tertuju pada masalah politik dan akan menolak segala bentuk kolonisasi. Pada sisi lain, ada program MIAI yang merupakan penghalang bahkan ancaman bagi Jepang, seperti usahanya untuk memperkuat persaudaraan muslim Indonesia dan muslim di luar negeri.
Ini berarti pan-Islam terus berlangsung dan akan mengancam pan-Asia. Selain itu, ikhtiar MIAI untuk menyelamatkan Is lam dan masyarakatnya juga merupakan ancaman, sebab berkonotasi menolak Shintoisme.
Karena itu, ketika MIAI diizinkan kembali bergerak oleh Jepang, penyebab kekhawatiran itu telah disingkirkan, sehingga tugas MIAI pada masa penjajahan Jepang adalah
(1) menempatkan posisi yang layak bagi Islam dalam masyarakat Indonesia;
(2) membuat Islam mampu mengantisipasi perkembangan zaman dengan cara menyelamatkan kejayaan Islam dan umatnya di dunia serta membangun masyarakat Islam yang damai dan sejahtera, di samping mengurus kepentingan kaum muslim dalam hal perkawinan, warisan, masjid, wakaf, pendidikan, dakwah, dan kesejahteraan kaum miskin;
(3) membantu Jepang dalam bekerja untuk Asia Raya. Sebagai aplikasi program ini, MIAI memusatkan perhatian pada tiga proyek: (a) membangun sebuah masjid agung di Jakarta,
(b) mendirikan sebuah universitas Islam yang sudah direncanakan sejak akhir penjajahan Belanda, dan
(c) membentuk baitulmal (lembaga perbendaharaan negara) pusat.
Program penyelamatan Islam serta umatnya dan proyek baitulmal tetap merupakan ancaman bagi Jepang, sebab akan mengurangi loyalitas kepada mereka dan efektivitas pengawasan terhadap para ulama. Akhirnya Jepang membubarkan MIAI pada bulan Oktober 1943.
DAFTAR PUSTAKA