Secara kebahasaan mahw berarti “hilang atau terhapus”. Dalam tasawuf istilah ini berarti “terhapusnya pikiran, sifat, dan perbuatan yang jahat dari diri seseorang”. Antonim mahw adalah itsbat (mantapnya pikiran, sifat, dan per buatan yang baik pada diri seseorang).
Ketika muncul teori fana dan baka dalam tasawuf sekitar akhir abad ke-3 H, mahw ditempatkan sebagai bagian dari kefanaan seorang hamba dan bahkan dipandang sebagai puncak kefanaan.
Orang yang telah mencapai keadaan mahw dipandang telah kehilangan pikiran, sifat, dan perbuatannya yang jahat. Bahkan, perasaannya sendiri pun dipandang telah tiada, tenggelam dalam kemahamutlakan Tuhan.
Keadaan mahw pernah dialami Abu Yazid al-Bustami (w. 261 H/874 M). Dalam keadaan demikian ia mengucapkan kalimat ganjil (syatahat), antara lain:
“Maha suci Aku (subhani) alangkah agung kebesaran-Ku, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku” dan “Aku keluar dari Abu Yazidku seperti halnya ular keluar dari kulitnya, maka pandanganku pun terbuka dan ternyata sang pencinta, yang dicintai, dan cinta adalah satu. Sebab manusia dalam alam penyatuan adalah satu.”
Menurut Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (w. 378 H/988 M), sufi dan tokoh fundamentalis tasawuf, ucapan yang tampak bertentangan dengan ajaran tauhid itu adalah ucapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hati nya dan dibarengi seruan.
Abu Yazid al-Bustami mengucap kan kalimat-kalimat demikian ketika individualitasnya telah sirna (mahw) atau luluh (fana) dalam Zat Yang Meliputinya, yaitu Allah SWT. Ibnu Arabi (560 H/1165 M–638 H/1240 M), pencetus teori wahdatul wujud, menganalogikan mahw dengan naskh, yaitu terhapusnya suatu hukum dari suatu nas dan diganti dengan hukum lain.
Hukum yang terhapus (mansukh) itu analog dengan mahw, sedangkan peng gantinya (nasikh) analog dengan itsbat. Sebagaimana dalam masalah nasikh dan mansukh, adakalanya suatu nas terhapus bersama hukum yang dikandungnya, tetapi ada pula suatu hukum yang terhapus dari suatu nas sementara nas itu sendiri masih tetap ada.
Demikian pula dalam hal mahw dan itsbat. Adakalanya pikiran, sifat, dan perbuatan seseorang terhapus sama sekali. Hal seperti itu disebut mahw. Tetapi, ada bentuk mahw lain, yaitu terhapusnya hakikat pikiran, sifat, dan perbuatan dari diri seseorang, sementara wujud pikiran, sifat, dan perbuatan itu sendiri masih tampak.
Ibnu Arabi mencontohkan hal demikian pada kandungan Al-Qur’an yang berarti: “…dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar…” (QS.8:17). Menurutnya, meskipun perbuatan Nabi SAW masih ada, pada hakikatnya perbuatan melempar yang dilakukan Nabi SAW itu sudah terhapus (mahw).
Di samping bentuk di atas, al-Qusyairi (w. 465 H/1074 M) membagi mahw atas tiga macam. Pertama, terhapusnya kesalahan dari aktivitas lahir (mahw az-zallah ‘an azzawahir). Dengan kata lain, berubahnya tindak-tanduk seseorang dalam segala aktivitasnya, dari tindakan yang buruk menjadi tindakan yang baik.
Kedua, terhapusnya kelalaian dari hati (mahw al-gaflah ‘an adh-dhama’ir), yaitu sirnanya keteledoran dari hati dalam kaitannya dengan perintah dan larangan Allah SWT. Lebih dari itu, bagi orang khawas (orang yang tingka tan ibadahnya sudah tinggi), mahw berarti terhapusnya kelalaian hati dari mengingat Allah SWT, sehingga muncul secara mantap rasa senantiasa ingat akan Allah SWT (dawam adz-dzikr).
Ketiga, terhapusnya penyakit dari lubuk hati (mahw al-‘illah ‘an as-sara’ir), yakni terhapusnya noda-noda dosa dari bagian hati yang terdalam. Dengan demikian seseorang dapat berhubungan langsung dengan Tuhan, bahkan melihat Tuhan dengan mata hatinya.
Mahw dan itsbat pada hakikatnya terjadi atas kodrat dan iradat Allah SWT. Oleh karena itu, jika Allah SWT meng hendaki terhapusnya pikiran, sifat, dan perbuatan jahat dari diri seseorang, niscaya diganti-Nya dengan yang baik. Allah SWT berfirman, “Allah menghapuskan apa yang Dia kehen daki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)…” (QS.13:39).
Daftar Pustaka