Semua hasil kreasi Tuhan yang berbentuk materi (huduts), yang menggunakan ruang dan waktu, serta ber sifat fana atau sementara, disebut makhluk atau ciptaan. Dengan kata lain, segala sesuatu termasuk dalam pengertian makhluk kecuali Tuhan.
Kata makhluq dari bentuk isim maf‘ul berarti “dibuat”, “dijadikan”, dan “diciptakan”. Akar katanya adalah khalaqa, fi‘l madhi yang berarti “buat”, “jadi”, dan “cipta”.
Selain kata makhluq, dikenal pula kata khaliq, bentuk isim fa‘il, yang berarti “pembuat”, “penjadi”, dan “pencipta”. Para mutakalim sepakat memandang bahwa al-Khaliq itu hanyalah Tuhan (la khaliqa illa Allah), yang bersifat kadim (tidak diciptakan) dan kekal.
Permasalahan yang kemudian muncul dan menghangat sehingga menimbulkan polemik di kalangan aliran teologi Islam berkaitan dengan pertanyaan: “Apakah Al-Qur’an bersifat makhluk dalam arti diciptakan, dan bukan bersifat kadim dalam arti tidak diciptakan dan kekal?”
Kaum Muktazilah (aliran teologi yang dirintis oleh Wasil bin Ata di Basrah; 699–748) berpendapat bahwa Al-Qur’an, yang dalam istilah teologi disebut kalam Allah, bukan kadim atau kekal, tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan.
An-Nazzam, seorang pemuka Muktazilah Basrah, menjelaskan bahwa kalam atau sabda Tuhan adalah suara yang tersusun dari huruf dan dapat didengar. Suara bersifat baru, bukan kekal, dan merupakan ciptaan Tuhan.
Abu Musa al-Mudrar, salah seorang pemuka Muktazilah Baghdad, berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak bersifat kadim, tetapi diciptakan Tuhan. Ia memandang bahwa orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu kadim menjadi kafir, karena dengan demikian orang itu telah membuat yang bersifat kadim menjadi dua atau telah menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik, dan syirik adalah dosa terbesar dan tidak dapat diampuni Tuhan.
Dari aliran Asy‘ariyah, Abu Hasan al-Asy‘ari (pendiri Asy‘ariyah) berlainan pendapat dengan kaum Muktazilah. Bagi al-Asy‘ari, Al-Qur’an atau kalam Allah tidaklah diciptakan, sebab kalau diciptakan maka sesuai dengan surah an-Nahl (16) ayat 40, “Inna ma qauluna li syai’in idza aradnahu an naqula lahu kun fayakun (Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘kun [jadilah]’, maka jadilah ia).”
Untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun ini perlu pula kata kun yang lain, begitulah seterusnya, sehingga terdapat rentetan kata kun yang tidak berkesudahan, dan ini tidak mungkin. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak mungkin diciptakan.
Imam Abu Hamid al-Ghazali, salah seorang pemuka Asy‘ariyah, berpendapat senada dengan al-Asy‘ari bahwa Al-Qur’an bersifat kadim dan tidak diciptakan.
Adapun dari aliran Maturidiyah, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944; pendiri Maturidiyah) juga tidak sepaham dengan Muktazilah tentang masalah Al-Qur’an yang men imbulkan kontroversi itu. Al-Maturidi, sebagaimana halnya dengan al-Asy‘ari, mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, tetapi bersifat kadim (qadim).
Muhammad Abduh (1849–1905), seorang pemikir muslim Mesir, ternyata berpandangan serupa dengan kaum Muktazilah. Abduh berpikir bahwa kalau firman Tuhan adalah sifat, maka sifat itu mesti kekal dan kadim.
Akan tetapi, firman Tuhan itu tersusun dari kata-kata, maka ia mestilah diciptakan (makhluk) dan tidak bisa kekal. Abduh juga mengatakan bahwa firman atau sabda Tuhan, sebagaimana diartikan secara umum, tidaklah bisa menjadi sifat Tuhan. Firman tidak bisa berarti lain daripada kata-kata yang diucapkan.
Sejalan dengan pengertiannya, pefirman bukanlah orang yang mempunyai sifat berfirman, tetapi yang menghasilkan firman. Jika dikata kan, “Zaid berfirman”, itu berarti Zaid mengucapkan kata-kata yang tersusun dari suara yang dihasilkan oleh gerakan udara.
Dengan demikian, pefirman adalah orang yang menghasilkan gerakan suara dan jelas bahwa firman dalam arti ini tidak bisa menjadi sifat pefirman. Firman itu merupakan makhluk, diciptakan, dan tidak kekal.
DAFTAR PUSTAKA