Al-madrasah berarti “tempat belajar”, dari akar kata darasa (belajar). Madrasah merupakan bangunan tempat pen didikan atau proses belajar-mengajar secara formal dan klasikal. Padanan kata “madrasah” adalah “sekolah”. Dalam perkembangannya, kata “madrasah” mempunyai arti atau konotasi tertentu, yaitu sistem dan proses pendidikan Islam dengan segala sarana, prasarana, dan fasilitas penunjang proses belajar-mengajar (agama).
Madrasah sebagai sebuah istilah berarti “aliran” atau “mazhab”, yaitu sebutan bagi sekelompok ahli yang mem punyai pandangan atau paham yang sama dalam ilmu keislaman, seperti di bidang fikih.
Dalam kitab kuning sering ditemukan kata “madrasah” untuk menunjukkan makna mazhab atau aliran, misalnya madrasah Maliki, madrasah Syafi‘i, madrasah Hanafi, dan madrasah Hanbali yang bersi nonim dengan Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i, Mazhab Hanafi, dan Mazhab Hanbali.
Timbulnya madrasah di bidang fikih ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Islam) yang ditandai dengan kebebasan intelektual.
Banyaknya madrasah (aliran/mazhab) ini merupakan buah hasil dari pergumulan kebebasan intelektual. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pandangan antara guru dan murid dalam memahami dan menyimpulkan ajaran agama.
Pada awal perkembangan institusi pendidikan Islam, madrasah merupakan tradisi sistem pendidikan yang bercorak fikih. Selain madrasah, yang digunakan oleh para fukaha (ahli fikih) dan ahli hadis sebagai tempat dan pusat pendidikan, dunia Islam juga mengenal dar al-hikmah, al-muntadiyat, hawanit, warraqi’in, al-zawaya, al-ribath, halaqat, al-maktabat, al-katatib, al-qusur, manazil al-‘ulama’, al-badiyah, khanqah, turbah, duwairah, dan al-masajid sebagai institusi pendidikan yang digunakan para filsuf, sufi, mukallim, dan kalangan Syiah. Semuanya dikenal sebagai lembaga pendidikan yang berkembang sebelum muncul madrasah.
Pada masa Rasulullah SAW, tempat belajar berlangsung di Masjid Madinah (Masjid Nabawi). Di masjid ini terdapat ruangan tempat belajar yang disebut suffah, sekaligus tempat penyantunan fakir miskin. Keadaan seperti ini berlangsung pula hingga pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun (empat sahabat Nabi Muhammad) dan Bani Umayah. Begitu pula di beberapa negeri Islam lainnya, seperti Spanyol, Afrika Utara, Persia (Iran), India, dan Indonesia, pada mulanya kegiatan belajar-mengajar dilangsungkan di masjid.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan memang belum dikenal pada masa Rasulullah hingga 400 tahun sesudah Hijriah. Prototipe madrasah pertama sebagai lembaga pendidikan di dunia Islam yang bentuk dan sistemnya mendekati madra sah sekarang adalah Madrasah al-Bayhaqiyyah dan sejumlah madrasah lainnya yang berdiri dan berkembang di Nisyapur, Iran pada 1009 M.
Bahkan Madrasah Miyan Dahiya di Nisyapur diakui sebagai madrasah yang lebih tua (pendiriannya) dan diikuti dengan pendirian beberapa madrasah lainnya di wilayah sekitarnya. Ada pula sejarawan yang mencatat bahwa madrasah yang paling awal adalah madrasah yang berdiri di Khurasan pada awal abad ke-10 M.
Pendirian madrasah tersebut kemudian disusul oleh Ma drasah Nizamiyah di Baghdad, yang didirikan atas perintah Perdana Menteri Nizam al-Mulk pada 457 H/ 1065 M (abad ke-5 H/ke-11 M). Penyelesaian pembangunan madrasah tersebut terjadi 2 tahun kemudian.
Perdana Menteri Nizam al-Mulk adalah seorang penguasa Bani Seljuk yang berkuasa pada 1018–1092 M. Madrasah ini berkembang dan menarik banyak murid dari berbagai kota di wilayah kekuasaan Is lam. Madrasah Nizamiyah didirikan dengan tiga tujuan:
(1) penyebaran pemikiran Suni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syiah;
(2) penyediaan guru Suni yang cakap untuk mengajarkan Mazhab Suni dan penyebarannya ke berbagai tempat; dan
(3) pembentukan kelompok pekerja Suni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya dalam bidang peradilan dan manajemen.
Salah satu guru yang mengajar di Madrasah Nizamiyah adalah Imam al-Ghazali.
Pada periode Nizam al-Mulk dan sesudahnya, madrasah berkembang hingga ke beberapa wilayah lainnya, seperti di Irak, Khurasan, al-Jazira, Mesir, Afrika Utara, Andalusia, India, dan kota besar lainnya di Dunia Islam.
Di India, misalnya, terdapat Madrasah Deoband yang berdiri pada abad ke-19. Madrasah Deoband merupakan pengembangan dari sebuah maktab di Masjid Jami Deoband, yang berfungsi mendidik para pemimpin agama bagi masyarakat Islam dalam upaya mempertahankan pengetahuan dan nilai ajaran Islam, ser ta membebaskan India dari kekuasaan Inggris.
Madrasah Deoband juga bercita-cita mewujudkan Islam murni sebagaimana diamalkan umat Islam pada zaman Nabi SAW, sahabat, tabiin, dan sesudahnya.
Madrasah yang berkembang di dunia Islam mempunyai pengaruh luas dan monumental di dunia Barat. Madrasah Nizamiyah, misalnya, menjadi inspirasi bagi kalangan Barat untuk mendirikan lembaga pendidikan semacam pendirian universitas.
Ide dan penyebaran pengaruh madrasah ini berkaitan dan didukung beberapa pejabat pemerintah, antara lain Nizam al-Mulk dan juga para penguasa, seperti Nuruddin Zanky (541 H/1146 M–569 H/1174 M), Salahuddin al-Ayyubi (564 H/1169 M–589 H/1193 M), dan al-Mustansir Billah (623 H/1226 M–640 H/1242 M).
Berkat perhatian dan campur tan gan para pejabat pemerintah, madrasah tersebar ke beberapa wilayah, khususnya ke wilayah Islam dan bahkan ke beberapa wilayah dunia Barat. Selain oleh para penguasa dan pejabat pemerintah, madrasah juga didirikan dan disebarkan para saudagar (pedagang/pengusaha) dan ulama.
Perkembangan madrasah dalam masyarakat Islam meluas di berbagai wilayah di dunia Islam, karena madrasah memiliki tujuan dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mas yarakat serta dianggap mewakili harapan mereka.
Kurikulum yang digunakan madrasah sejalan dengan lingkungan dan keyakinan masyarakat Islam. Pada awal pertumbuhan dan perkembangannya madrasah memang menggunakan kurikulum yang berkaitan dengan materi fikih yang disesuaikan dengan Mazhab Suni dan diajarkan kalangan ulama.
Pada masa berikutnya hingga era modern, madrasah menerapkan kurikulum yang lebih luas dan variatif sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat Islam. Penyesuaian kurikulum ini dimaksudkan untuk mempertahankan eksistensinya di ten gah masyarakat yang selalu mengalami perubahan tuntutan, namun tidak keluar dari nilai ajaran Islam.
Madrasah sebagai institusi pendidikan (Islam) juga hadir dan berkembang serta diterima masyarakat Islam Indonesia pada awal abad ke-20. Istilah “madrasah” belum dikenal dalam pendidikan Islam Indonesia sebelum abad tersebut; masyarakat muslim Nusantara hanya mengenal masjid, pesantren, surau, langgar, dan tajug yang tidak klasikal dalam pengertian modern. Sejak munculnya, madrasah di Indonesia sudah memperkenalkan sistem kelas (klasikal) untuk proses belajar-mengajar.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia memiliki latar belakang sendiri. Ada dua situasi yang melatarbelakangi munculnya madrasah di Indonesia, yaitu munculnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia dan sebagai respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.
Madrasah di Indonesia merupakan perkembangan lanjut atau pembaruan dari lembaga pendidikan, seperti pesantren atau surau, dan merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaruan pendidikan Islam di Timur Tengah pada masa modern. Madrasah di Indonesia mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum.
Dengan demikian, munculnya madrasah di Indonesia bukanlah madrasah dalam tradisi pendidikan Islam abad ke-11–12, seperti yang berkembang di Timur Tengah.
Madrasah yang tumbuh dan berkembang di beberapa wilayah dan daerah di Indonesia, misalnya di Jawa dan Sumatera, memperlihatkan tiga pola dan variasi.
Pertama, pola madrasah sebagai sekolah yang bercirikan Islam. Mata pelajaran yang diberikan madrasah kepada muridnya didominasi mata pelajaran umum, dan mata pelajaran agama diberikan sebagai tambahan saja. Di sini madrasah “sama” dengan sekolah Islam. Pola madrasah ini dalam segi tertentu menyeru pai sekolah Belanda.
Kedua, pola madrasah sebagai lembaga pendidikan terpadu antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum. Pola dan variasi madrasah semacam ini me madukan atau menggabungkan secara seimbang antara pelajaran bermuatan keagamaan dan non-keagamaan.
Ketiga, pola madrasah keagamaan (diniyah) yang memberikan mata pelajaran yang sepenuhnya bersifat keagamaan. Madrasah berpola seperti ini lebih menekankan dan mengutamakan mata pelajaran bermuatan keagamaan, sedangkan mata pelajaran umum sebagai tambahan yang terbatas.
Setelah Indonesia merdeka (1945), pembinaan madrasah berada di bawah tanggung jawab Departemen Agama (Depag) yang berdiri pada 3 Januari 1946. Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan tuntutan masyarakat Islam, Depag menyeragamkan nama, jenis, dan tingkatan madrasah.
Perkembangan madrasah pada masa Orde Lama maupun Orde Baru sangat terkait dengan peran Depag. Kurikulum dan struktur kelembagaan madrasah disusun Depag. Makna pent ing dari tersusunnya kurikulum (1973) bagi madrasah, adalah:
(1) madrasah memiliki standar pendidikan berjenjang yang berlaku di setiap madrasah;
(2) madrasah memiliki acuan yang detail dalam soal mata pelajaran yang menjadi pedoman dalam proses pembelajaran di madrasah; dan
(3) mata pelajaran umum dan kejuruan di madrasah mendapat landasan formal.
Pada akhir 1980-an, pemerintahan Indonesia mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional, dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN).
Konsekuensi ketentuan UUSPN 1989 adalah bahwa madrasah harus mengadopsi dan menerapkan kurikulum pendidikan umum yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) sejak reformasi berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Madrasah dengan Kurikulum 1994 dan ketiga tingkatannya pada dasarnya adalah sekolah umum bercirikan khas Islam. Madrasah, khususnya tingkat aliyah, berkembang tidak hanya membuka jurusan agama, tapi juga jurusan umum.
Madrasah secara perlahan mengadopsi sebagian ciri sistem kurikulum pendidikan serta mata pelajaran modern, seperti matematika, sejarah, ilmu pengetahuan alam, dan geografi.
Selain itu, sesuai dengan ketentuan UUSPN, madrasah juga memiliki status pendidikan jalur sekolah, dengan membuka jurusan khusus ilmu agama. Dalam proyek perintisannya, jurusan khususnya ini dikembangkan dalam model Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Pilot project MAPK ini didasarkan pada Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1987 yang merupakan “penyempurnaan” dari SKB Tiga Menteri 1975. Pendirian MAPK dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa agar memiliki kemampuan dasar di bidang ilmu agama Islam dan bahasa Arab, yang diperlukan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kurikulum MAPK bermuatan 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum yaitu kebalikan dari Madrasah Aliyah yang ada sebelumnya–yang juga ditangani Depag. Setiap MAPK dilengkapi laboratorium, perpustakaan, musala, dan asrama.
Pada Tahun Pelajaran 1987/1988, “percontohan” MAPK dibuka pertama kali pada masa Munawir Sjadzali menjadi menteri Agama di lima Madrasah Aliyah Program Khusus, yaitu MAPK di Padang Panjang, Ciamis, Daerah Istimewa Yogyakarta, Makassar, dan Jember.
Beberapa tahun kemudian, proyek “percontohan” ini dikembangkan lagi dengan membuka lima MAPK baru, antara lain MAPK di Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram. Pada periode 1990-an jumlah MAPK sudah mencapai 110 buah. Pada perkembangan selanjutnya MAPK berganti nama menjadi MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan).
Selain itu, banyak madrasah negeri maupun madrasah swasta didirikan di lingkungan pesantren. Sejalan dengan arus modernisasi, dunia pendidikan pesantren membuka diri dan menerima kehadiran madrasah.
Ada pula sejumlah madrasah elite, antara lain Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) I Malang, Jawa Timur, yang merupakan madrasah tingkat dasar. Madrasah ini pada awalnya didirikan pada 1962 sebagai sebuah “sekolah pelatihan swasta” bagi siswa Pendidikan Guru Agama (PGA). Ada juga Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Ciputat, Jakarta Selatan. Madrasah ini pada mulanya adalah sekolah laboratorium bagi Fakultas Tarbiyah IAIN (UIN) Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA