Madinah

(Ar.: al-Madinah)

Madinah sering disebut al-Madinah al-Munawwarah (kota yang mendapat cahaya). Madinah adalah sebuah kota di wilayah Kerajaan Arab Saudi sekarang. Kota itu dikenal sebagai tanah suci kedua umat Islam. Pada zaman Nabi SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah pengganti Nabi SAW), kota itu menjadi pusat dakwah, pengajaran, dan pemerintahan­ Islam. Dari kota itulah Islam menyebar ke seluruh Semenanjung Arabia dan seluruh dunia.

Madinah disebut beberapa kali dalam Al-Qur’an, yaitu dalam surah at-Taubah (9) ayat 101 dan 120, surah al-Ahzab (33) ayat 60, surah al-Munafiqun (63) ayat 8, dan surah al-hasyr (59) ayat 9.

Di kota ini terletak Masjid Nabawi yang diba­ngun Nabi Muhammad SAW dan menjadi tempat makam beliau dan para sahabatnya. Masjid itu merupakan salah satu masjid yang paling utama bagi umat Islam setelah Masjidilharam­ di Mekah dan Masjidilaksa di Yerusalem.

Dalam hadis riwayat Ahmad disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Salat di masjidku ini lebih utama dari 1.000 kali salat di tempat lain, kecuali di Masjidilharam. Dan salat di Masjidilharam lebih utama 100.000 kali daripada­ salat di tempat lain.”

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh ad-Darimi, an-Na­ sa’i, dan Ahmad, Rasulullah SAW bersabda,

“Jangan kamu merasa berat untuk mengadakan perja­ lanan ke tiga masjid: Masjidilharam, Masjidku, dan Mas­ jidilaksa. Salat di Masjidilharam lebih utama dari 100.000 kali di tempat lain, kecuali di Masjidilaksa­.”

Berdasarkan hadis tersebut kota Madinah selalu dikun­ jungi umat Islam yang melaksanakan­ ibadah haji atau ibadah umrah sebagai amal sunah.

Sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah, nama kota itu adalah Yatsrib. Nama kota itu diubah menjadi Madinah an-Nabi atau al-Madinah al-Munawwarah sejak Nabi SAW bersama orang muslim Mekah hijrah ke kota itu pada 22 September 622. Ada yang berpendapat bahwa nama “Yatsrib” berasal­ dari bahasa Ibrani atau Aram.

Pendapat lain menya­takan bahwa nama itu adalah sebutan bagi orang Arab selatan. Dalam geografi Ptolemaeus, yang ditulis pada perten­ gahan abad ke-2, daerah itu disebut Iathrippa. Stephen dari Bizantium (hidup pada pertengahan pertama abad ke-6) juga menggunakan nama yang sama untuk kota ini dalam kamus geografinya. Yatsrib disebut sekali dalam Al-Qur’an:

“Dan (ingatlah) ketika se­golongan di antara mereka ber­ kata, ‘Hai penduduk Yatsrib, tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah­ kamu.’ Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata,­ ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari” (QS.33:13).

Madinah terletak di daerah Hijaz, bagian dari Semenan­jung Arabia yang terletak di antara Dataran Tinggi Nejd dan daerah pantai Tihamah. Di daerah ini terdapat tiga kota uta­ ma, yaitu Ta’if, *Mekah, dan Madinah sendiri.

Terletak 275 km dari Laut Merah, Madinah berada­ di sebuah lembah yang subur. Di sebelah selatan,­ kota itu berbatasan dengan Bukit Air, di sebelah utara dengan Bukit Uhud dan Sur, dan di sebelah timur serta barat dengan gu­ run pasir (Harrah). Apabila turun hujan, lem­bah itu menjadi tempat pertemuan aliran air yang berasal dari selatan dan Harrah sebelah timur.

Daerah ini juga memiliki oase yang dapat dipergunakan untuk lahan pertanian yang dapat menghasilkan antara lain sayur-sayuran dan buah-buahan, seperti kurma,­ jeruk, pisang, delima, persik, anggur, dan ara. Karena itu, mayoritas penduduknya hidup dari bercocok tanam di samping berdagang­ dan beternak.

Penduduk Yatsrib, sebelum kelahiran Islam, terdiri dari dua suku bangsa, yaitu bangsa Arab dan Yahudi. Semula daerah itu ditempati suku Amaliqah (Baidah, bangsa Arab yang sudah punah) dan kemudian ditempati suku Arab lain. Secara­ ber­tahap daerah itu berkembang menjadi kota penting kedua sesudah kota Mekah di tanah Hijaz setelah kehadiran orang Yahudi.

Orang Yahudi mem­bangun permukiman,­ pasar, dan benteng pertahanan agar mereka terhindar dari gangguan orang Badui yang hidup sebagai nomad di sekitar Yatsrib. Suku Yahudi terkemuka adalah Bani Quraizah, Bani Nadir, dan Bani Qainuqa.

Bangsa Arab yang tinggal di Yatsrib terdiri dari penduduk­ setempat dan pendatang dari Arab selatan,­ yang pindah ke Yatsrib karena pecahnya Bendungan Ma’arib. Arab pendatang inilah yang terkemuka di kalangan Arab Yatsrib dan dikenal dengan suku Aus dan suku Khazraj.

Di Yatsrib tidak pernah ada seorang pemimpin dan suatu pemerintahan atas semua penduduk; yang ada ada­lah pem­ impin suku yang memikirkan kepentingan suku masing-mas­ing. Me­reka saling bersaing atau berperang­ untuk mena­ namkan pengaruh di masyarakat. Akibatnya di antara suku yang ada itu dapat terjadi permusuhan,­ bahkan peperangan.

Dari segi ekonomi dan politik, kedudukan Yahudi­ di kota Yatsrib dianggap sebagai yang paling kuat di kalangan pen­ duduk. Bahkan mereka pernah mengontrol politik di Yatsrib. Pengaruh Yahu­di baru berkurang setelah kedatangan­ suku Aus dan suku Khazraj. Kemudian pada awal abad ke-6 orang Arab berhasil melepaskan diri dari ketergantungan kepada kaum Yahudi.

Hingga awal kedatangan Islam, kaum Yahudi masih men­dominasi kehidupan­ ekonomi Yatsrib. Lahan terbaik dan oase Taima, Fadak, dan Wadi al-Qura berada di bawah pengawasan mereka. Di kota itu mereka berkembang sampai tidak kurang dari separuh penduduk. Mereka merupakan tantangan bagi orang Arab, karena kegiatan dagang di Yatsrib berada­ di bawah kekuasaan mereka.

Waktu permusuhan dan kebencian antara kaum Yahudi dan Arab semakin tajam, kaum Yahudi melakukan siasat memecah-belah dengan melakukan­ intrik dan menyebarkan­ permusuhan dan kebencian­ di antara suku Aus dan Khazraj.

Siasat ini berhasil dengan baik, dan mereka me­rebut kem­bali posisi kuat, terutama di bidang ekonomi. Bahkan siasat Yahudi itu mendorong suku Khazraj bersekutu­ dengan Bani Qainuqa (Yahudi), sedangkan suku Aus bersekutu dengan Bani Quraizah dan Bani Nadir. Klimaks dari permusuhan dua suku Arab itu adalah Perang Bu’as pada 618.

Seusai perang, baik suku Aus maupun Khazraj menyadari­ akibat dari permusuhan itu, sehingga­ mereka berdamai­ dan sepakat untuk mengangkat­ Abdullah bin Muhammad, seorang Khazraj yang berpandangan luas, untuk menjadi pemimpin mereka. Tetapi rencana ini tidak terlaksana, karena bebe­rapa orang Khazraj pergi ke Mekah pada musim haji 620.

Di Mekah, Nabi SAW menemui rombongan itu pada sebuah kemah. Beliau memperkenalkan Islam dan meng­ajak mereka agar bertauhid kepada Allah SWT. Karena sebelumnya mereka telah mendengar­ ajaran Taurat dari kaum Yahudi ten­tang hari kebangkitan, balasan, dan hukuman atas perbuatan manusia, dan tentang nabi terakhir yang akan lahir sebagai pendukung agama monoteisme, mereka­ tidak lagi merasa asing mendengar ajaran Nabi SAW. Mereka menyatakan masuk­ Islam dan berjanji akan mengajak penduduk Yatsrib untuk masuk Islam.

Setibanya di Yatsrib, mereka bercerita kepada pendu­duk tentang Nabi Muhammad SAW dan agama yang dibawanya­ serta mengajak mereka masuk Islam. Sejak­ itu, Nabi SAW dan Islam menjadi bahan pembicaraan masyarakat­ di Yatsrib.

Tahun 621, sebanyak 10 orang suku Khazraj dan 2 orang suku Aus menemui Nabi SAW, menyata­kan diri masuk Islam, dan melakukan baiat kepada Nabi SAW di Aqabah (Baiat Aqabah Pertama). Pada musim haji berikut­nya (622), sebanyak 73 jemaah haji dari Yatsrib, baik yang su­dah menganut Islam maupun yang belum, mendatangi Nabi SAW untuk mengajak beliau hijrah ke Yatsrib.

Pertemuan diadakan di Aqabah. Pada waktu itulah terjadi Baiat Aqabah Kedua. Beberapa bulan ke­ mudian, Nabi SAW bersama orang mukmin Mekah hijrah ke Yatsrib. Sejak itu nama Yatsrib diganti menjadi al-Madinah al-Munawwarah atau Madinah an-Nabi.

Hijrah tersebut merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah Madinah sehubungan dengan pengembangan­ agama Islam, karena penduduknya (kaum Ansar) bersedia menerima Nabi SAW dan para pengikutnya. Di kota itu Nabi SAW kemudian mendirikan Masjid Nabawi.

Selanjutnya Nabi SAW mempersaudarakan orang Islam Mekah dengan orang Islam Madinah, berdasarkan ikatan akidah atau ukhuwah islamiah. Beliau juga mempersatukan seluruh penduduk Madinah, baik muslim maupun Yahudi dan penyembah­ berhala, menjadi satu umat berdasarkan ikatan sosial politik dan kemanusiaan.

Hal itu ditetapkan­ dalam Piagam Madinah dengan prinsip persamaan, persau­daraan, persatuan, kebebasan,­ toleransi beragama, perdamaian,­ tolong-menolong, dan membela yang teraniaya­ serta mem­ pertahankan­ Madinah dari serangan musuh.

Pembentukan umat tersebut dapat diartikan se­bagai proklamasi terbentuknya negara Islam pertama dengan Piagam Madinah sebagai­ undang-undang dasar, Nabi SAW sebagai­ kepala negara, kota Madinah dan sekitarnya seba­ gai wilayahnya, serta orang Islam, Yahudi, dan penyembah berhala sebagai­ rakyatnya.

Sejak itu, Nabi SAW menjadikan Madinah pusat peme­ rintahan dan dakwah Islam, tempat­ mengatur ekspedisi­ dakwah Islam ke bangsa-bangsa­ lain di sekitar Arab, tempat menerima delegasi dari luar Madinah, tempat mengatur tentara dan menyusun strategi­ untuk menghadapi­ kaum kafir Quraisy dan menghadapi­ kaum Yahudi­ yang mengkhia­nati­ Piagam Madinah.

Pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun, Madinah te­tap dijadikan pusat pemerintahan Islam. Khalifah Abu Bakar as-Siddiq mempertahankan Madinah dari rongrongan kaum murtad. Dari kota itulah perluasan wilayah Islam dilakukan dan khi­ lafah Islam tumbuh.

Kota itu juga menjadi pusat pengajaran­ ilmu keislaman, terutama hadis dan fikih, yang berpusat di Masjid Nabawi, dan telah banyak me­lahirkan ulama terkenal. Madi­nah menjadi kota Islam pertama, tempat cikal-ba­kal pertumbuhan dan perkembangan­ peradaban dan kebu­ dayaan Islam.

Sekarang Madinah telah menjadi sebuah kota modern yang dihiasi dengan bangunan serta fasilitas serba modern dan memiliki lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Masjid Nabawi tetap­ tegak dengan megah dalam bentuk dan corak bangunan yang baru sama sekali dan mengalami perluasan.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold , Thomes, W., Sejarah Da’wah Islam, terj. A. Nawawi Rambe. Jakarta:Widjaya, 1979.
Azzam, Abdurrahman. ar-Risalah al-Khalidah, atau The Eternal Message of Mu­hammad, terj. Caesar E. Farah. New York: The Devin-Adair Company, 1964.
Hasan, Hasan Ibrahim. Islamic History and Culture from 632–1968, atau Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam. Yogyakarta: Kota Kembang, l989.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdullah. Surah Sayyidina Muhammad Rasul Allah. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
Nasution, Muslim. Tapak Sejarah Seputar Mekah-Madinah. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Syarif, Ahmad Ibrahim. Daulah ar-Rasul fi al-Madinah. Kuwait: t.p., 1972.

J. Suyuti Pulungan