Loloan adalah nama sebuah desa Islam pertama di Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Propinsi Bali, yang masyarakatnya disebut dengan Nyame Loloan (keluarga dari Loloan) atau Nyame Slam (keluarga beragama Islam).
Desa Loloan terbagi atas Desa Loloan Barat dan Loloan Timur yang dipisahkan oleh Sungai Ijo Gading. Orang Loloan berasal dari keturunan Melayu Bugis dan pada umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, pengrajin, atau pedagang kecil. Lebih dari 90% penduduk Loloan Barat beragama Islam, sedangkan pemeluk agama Islam di Loloan Timur berjumlah sekitar 60%.
Agama Islam pertama kali masuk ke Bali pada abad ke-14, ketika Kerajaan Gelgel menjadi pusat kerajaan di Bali. Pada masa itu Kerajaan Gelgel masih di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Masuknya agama Islam tersebut bersamaan dengan kedatangan para abdi dalem dari Majapahit yang sudah memeluk agama Islam.
Kedatangan para abdi dalem ini pada mulanya bertujuan mengantar pulang raja Gelgel pertama, Dalem Ketut Ngelesir (1380–1460), yang telah mengadakan kunjungan resmi ke Majapahit untuk menghadap Raja Hayam Wuruk. Kemudian mereka mengenalkan agama Islam di lingkungan wilayah Gelgel (sekarang termasuk Kabupaten Klungkung).
Penyebaran agama Islam selanjutnya terjadi pada masa pemerintahan raja Gelgel kedua, Dalem Waturenggong (1480–1550). Kemudian pada sekitar abad ke-15 dan ke-16 terjadi upaya pengislaman yang dilakukan para pedagang dari Gujarat. Selanjutnya, sepanjang abad ke-17 agama Islam mulai berkembang di Bali.
Mula-mula Islam di Bali berkembang di pesisir pantai, terutama pada masa hadirnya para saudagar dan nelayan dari Bugis/Makassar. Masuknya agama Islam di Loloan berawal dari wilayah Jembrana, sebuah daerah pantai yang terletak sekitar 30 km dari pelabuhan Gilimanuk.
Menurut I Wayan Reken (peneliti sejarah Bali), masuknya Islam di Jembrana terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama berlangsung pada saat orang Bugis/Makassar datang pada pertengahan abad ke-17. Setelah Makassar kalah dari Belanda (VOC) 1667, Belanda menumpas orang Makassar yang tidak mau tunduk. Tetapi tidak semua berhasil diberantas, di antaranya sekelompok orang Makassar yang dipimpin Daeng Nakhoda. Mereka melarikan diri dari kejaran Belanda dengan menggunakan perahu pinisi dan lambo (sejenis perahu layar).
Pada 1669 sebagian orang Makassar yang melarikan diri itu mendarat di Air Kuning (Jembrana). Kemudian mereka meminta kepada penguasa setempat pada masa itu, I Gusti Arya Pancoran, agar boleh menetap di Bandar Pancoran yang terletak di tepi Sungai Ijo Gading (sekarang bekas pelabuhan lama di Loloan Barat). Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Kampung Bajo.
Hubungan antara orang Bugis/Makassar yang dipimpin Daeng Nakhoda dan keluarga penguasa Jembrana semakin lama semakin akrab. Kesempatan ini digunakan orang Bugis/ Makassar untuk memperkenalkan agama Islam. Keberhasilan mereka ditandai dengan masuk Islamnya salah seorang keluarga I Gusti Arya Pancoran yang kemudian diikuti beberapa penduduk lain. Karenanya, rombongan Daeng Nakhoda disebut sebagai tonggak pertama umat Islam di Kabupaten Jembrana.
Tahap kedua masuknya Islam di Jembrana terjadi pada perempat akhir abad ke-18. Pada masa itu datang dua kelompok pendatang baru. Kelompok pertama adalah para mubaligh dengan pemimpin H Yasin dan H Shihabuddin (keduanya keturunan Bugis asal Buleleng, Singaraja), Tuan
Lebai (orang Melayu dari Serawak), dan Datuk Guru Syekh (orang Arab). Mereka menetap di Sungai Air Kuning dan bermata pencaharian dengan berkebun kelapa, mencari ikan, dan menjadi tabib. Kemahiran mereka sebagai tabib menumbuhkan simpati orang Bali.
Kelompok kedua adalah armada Syarif Abdullah al-Qadry (Syarif Tua), panglima angkatan laut Kesultanan Pontianak. Pada 1799 sultan Pontianak, Syarif Abdurrahman al-Qadry (kakak kandung Syarif Abdullah al-Qadry), mengadakan perjanjian damai dengan Belanda. Namun Syarif Abdullah al-Qadry menolak perjanjian itu.
Dengan armadanya ia berlayar ke timur Pontianak sambil mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Ia berhasil melumpuhkan Belanda, hingga sampai ke Ternate. Kemudian karena kejaran Belanda ia berlayar ke arah barat lagi, hingga sampai di Jembrana Atas izin raja Jembrana, Anak Agung Putu
Seloka, mereka berlabuh di Sungai Air Kuning. Rombongan ini tiba ketika penduduk Jembrana sedang membangun kota Negara (sekarang menjadi sebuah kecamatan). Syarif Abdullah bersama anak buahnya yang berasal dari berbagai negeri (Pahang, Trenggano, Kedah, Johor, dan beberapa orang keturunan Arab) terus menyusuri Sungai Ijo Gading menuju ke Syah Bandar (Teluk Bunter).
Rombongan ini sangat mengagumi Sungai Ijo Gading yang berkelok-kelok. Setiap kali mereka berkelok, mereka berteriak, “Liloan…! Liloan…!”, yang dalam bahasa Kalimantan berarti “kelokan”. Dari sinilah lahir kata Loloan. Akhirnya Syarif Abdullah dan rombongannya bermukim di sekitar tebing kanan dan kiri Sungai Ijo Gading, yang kemudian disebut Kampung Loloan.
Tak lama kemudian dibangun benteng pertahanan di Loloan Timur yang dikenal dengan nama Benteng Fatimah, diambil dari nama putri sultan Banjarmasin yang merupakan istri Syarif Abdullah.
Untuk mendukung kehidupan perekonomian, banyak di antara mereka berniaga. Perahu perang mereka ubah menjadi perahu niaga yang sanggup berlayar sampai ke pelabuhan Singapura. Kemudian mereka mampir ke tanah Melayu untuk mengangkut sanak saudara para anak buah kapal Syarif Abdullah, sehingga perkampungan Muslim Melayu di Loloan pun menjadi ramai dan mereka tinggal di sini secara turun-temurun.
Masyarakat Islam Loloan menyampaikan dan mengem bangkan dakwah Islam melalui ekspresi seni, seperti rebana, syair, dan seni silat. Mereka sangat memelihara kesenian yang bernapaskan Islam, yaitu dengan menembangkan pujian dengan selawat dan al-barzanji.
Suasana keislaman sampai sekarang tetap terlihat di Desa Loloan. Anak-anak belajar mengaji di rumah-rumah guru mengaji yang kebanyakan merupakan tokoh agama. Salah satunya adalah Cik Maimunah yang menerapkan sistem pengajaran sorogan, yakni anak diuji dan diberi pelajaran seorang demi seorang.
Apabila bacaan Al-Qur’an seorang murid sudah dinilai bagus (memadai) oleh sang guru, ilmunya akan ditambah. Tetapi jika bacaannya belum bagus, murid yang bersangkutan diminta mengulangi lagi pelajaran yang sama dalam pertemuan berikut. Apabila mereka sudah tamat membaca Al-Qur’an sebanyak 30 juz, diadakan acara khataman (Khatam Al-Qur’an).
Kegiatan mengaji di rumah-rumah itu hampir sama dengan kegiatan di pondok pesantren. Namun jumlah muridnya relatif lebih sedikit dan mereka tidak diinapkan. Setelah murid-murid bisa membaca Al-Qur’an, dilanjutkan dengan pengajaran berturut-turut tentang kitab Masa’il al-Muhtadi (kitab beraksara Melayu tentang persoalan fikih), kitab Irsyad al-Anam (tentang aspek fikih dalam salat dan keimanan kepada Allah SWT), dan kitab Adab al-Insan (tentang sopan santun dalam pergaulan).
Hingga kini di Desa Loloan terdapat beberapa pesantren, yakni sebagai berikut.
(1) Pondok Pesantren Syamsul Huda yang didirikan pada 1935, terletak di Loloan Barat. Pesantren ini dipimpin KH Sayid Ali Bafaqih, ulama kelahiran Banyuwangi yang berusia sekitar 105 tahun. Ia pernah bermukim di Mekah selama tujuh tahun dan melakukan perjalanan panjang ke Semenanjung Arabia, Yaman, Kuwait, Irak, Iran, dan Mesir. Santrinya berjumlah sekitar 500 orang yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.
(2) Pondok Pesantren Darut Taklim, terletak di Loloan Barat dan didirikan 1940. Pesantren ini diasuh oleh KH Abdurrahman yang pernah belajar di Jombang, Rembang, dan pernah bermukim di Mekah. Santrinya berjumlah sekitar 200 orang yang berasal dari sekitar Bali.
(3) Pondok Pesantren Manba’ul Ulum yang berdiri 1935, terletak di Loloan Timur. Pesantren dengan jum lah santri sekitar 200 orang dari sekitar Bali ini diasuh Ustad Zakki yang pernah belajar di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur.
Di Loloan terdapat berbagai peninggalan sejarah yang terkait dengan perjalanan syiar Islam di daerah tersebut, khususnya di Jembrana, antara lain sebagai berikut.
(1) Benteng Fatimah, yang terletak di dekat Sungai Ijo Gading.
(2) Prasasti Encik Ya’cub yang beraksara Arab-Melayu yang dituliskan di atas papan berukuran 45 x 15 cm. Prasasti ini berangka 1268 H (1848 M), berisikan pesan Encik Ya’cub bahwa ia mewakafkan sebidang sawah dengan penghasilan 40 tebah (ikat) serta Al-Qur’an untuk Masjid Jembrana (sekarang Masjid Baitul Qadim).
Di situ juga dituliskan nama saksinya, yaitu Syarif Abdullah bin Yahya Maulana al-Qadry (Syarif Tua) dan Khalib Abba Abdullah Haman. Encik Ya’cub sendiri adalah ulama dari Trengganu (Malaysia) yang datang ke Loloan sekitar abad ke-19. Prasasti tersebut sekarang disimpan di Masjid Baitul Qadim, Loloan Timur, Jembrana.
(3) Dua buah Al-Qur’an tulisan tangan. Yang sebuah adalah Al-Qur’an karya Encik Ya’cub. Setelah hilang sekian lama, Al-Qur’an ini ditemukan kembali 1979 dan diperkirakan telah berusia 208 tahun.
Al-Qur’an tersebut sekarang disimpan di Masjid Baitul Qadim, Loloan Timur. Yang lainnya adalah Al-Qur’an peninggalan Datuk Haji Abdurrahman, kakek Haji Ali bin Mahmud (sesepuh di Loloan Barat). Tidak diketahui siapa penulisnya. Al-Qur’an ini sekarang disimpan di Masjid Mujahidin, Loloan Barat.
(4) Dua buah kitab fikih Sabil al-Muhtadin. Kitab-kitab tersebut ditulis tangan dengan hiasan ornamen pada setiap lembarnya. Tidak diketahui siapa penulis kitab tersebut.
Daftar Pustaka
“Dinamika Islam Bali,” http://bestari.umm.ac.id/dinamika.html
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Djadjat Sudradjat