Lawami’

Lawami‘ berarti “cemerlang”, “kilat yang bersinar”, “ubun-ubun anak yang masih lembut”. Istilah lawami‘ biasanya dipakai kalangan sufi untuk menggambarkan “kilatan cahaya rohani”, berupa intuisi yang datang hanya seketika dan kemudian menghilang cepat.

Kata lawami‘ merupakan bentuk jamak dari lami‘ dan lami‘ah. Menurut asy-Syarif Ali bin Ahmad al-Jurjani (w. 816 H/1414 M), ahli bahasa dan tasawuf, lawami‘ memantul pertama kali pada khayal, kemudian menembus alat indra, sehingga tampak seperti sinar bulan atau sinar matahari yang memancar melingkupinya.

Kilatan cahaya intuisi seperti ini sering muncul pada ahl al-bidayah (pemula dalam melaksanakan tasawuf). Dalam hal ini Ibnu Atailah (ahli tasawuf) berkata, “Sungguh intuisi ketuhanan jarang datang kecuali secara tiba-tiba, dan seharusnya para hamba tidak layak mengklaimnya sebagai hasil usahanya.”

Berbeda sedikit dari pendapat umum kaum sufi di atas adalah pandangan Ibnu Arabi (560 H/1165 M–638 H/1240 M). Menurutnya, lawami‘ bukan cahaya yang muncul pada hati, tetapi mengilat pada mata kepala ketika pandangan mata tidak dipengaruhi anggota badan lain.

Dengan kata lain, lawami‘ muncul pada mata kepala ketika pandangannya mengatasi segala daya materiil anggota tubuh lain. Karena, apabila penglihatan mata kepala masih dipengaruhi daya materiil mata, niscaya ia tidak akan sanggup melihat nur Ilahi, sebagaimana firman Allah SWT,

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS.6:103).

Pandangan mata yang mampu menangkap sinar gaib itu adalah penglihatan yang mengacu kepada maksud hadis yang berarti: “Jika seseorang hamba telah Aku (Allah) cintai… Akulah yang menjadi penglihatannya…” (HR. Bukhari). Apabila sudah dapat mencapai kilatan cahaya seperti itu, seseorang tidak akan kembali lagi kepada keadaannya semula, yakni berada dalam kegelapan.

Istilah lawami‘ berkaitan erat dengan dua istilah lain dalam tasawuf, yaitu lawa’ih dan Tawali‘. Lawa’ih (bentuk jamak dari la’ihah = yang nyata, yang cemerlang, rupa, dan isyarat) adalah kilatan cahaya rohani yang datang sekilas dan cepat menghilang. Tawali‘ (bentuk jamak dari Tali‘ = yang terbit, yang naik, bulan sabit, dan fajar pertama) adalah kilatan cahaya rohani yang senantiasa bersinar dalam hati seorang sufi.

Apabila cahaya ini dikaitkan dengan pengalaman tasawuf, terdapat rumusan bahwa pada mulanya hati manusia masih dalam keadaan tertutup dan gelap. Kemudian datang cahaya gaib secara tiba-tiba dan dalam waktu singkat menghilang dengan cepat, yang disebut lawa’ih.

Jika bertahan dalam hati selama beberapa waktu sebelum menghilang, maka cahaya itu disebut lawami‘. Kemudian apabila tetap bertahan dan tidak menghilang lagi, maka cahaya itu disebut Tawali‘. Proses meningkatnya kemantapan cahaya tersebut menandai peningkatan amal dari penyucian hati orang yang mendapatkannya.

Berlainan dengan terminologi yang umum dipakai di atas, al-Harawi (w. 481 H/1089 M), tokoh tasawuf Suni, menggunakan istilah barq (kilat, cahaya) dalam pengertian yang sama dengan lawami‘. Lebih jauh al-Harawi membagi barq menjadi tiga tingkatan.

Pertama, cahaya yang mengilat dalam hati, yang berasal dari perbendaharaan rahmat Ilahi. Cahaya ini menimbulkan rasa harap (raja’) dalam diri orang yang mendapatkannya, sehingga timbul dorongan untuk meningkatkan amal ibadahnya. Cahaya itu memberikan empat dorongan, yaitu: (1) rasa kagum terhadap Allah Yang Maha Memberi; (2) rasa hina dina si hamba dalam berhadapan dengan Allah Yang Maha Kuasa; (3) rasa cinta terhadap Allah Yang Maha Pengasih; dan (4) rasa ingin memperbanyak sumbangan (‘atha’).

Kedua, cahaya yang mengilat dalam hati, yang bersumber dari ancaman (wa‘id) Allah SWT. Cahaya ini menimbulkan rasa takut (khauf) terhadap kemurkaan Allah SWT dalam diri orang yang mendapatkannya.

Ketiga, cahaya yang datang memasuki hati, yang bersumber dari kemahaluasan Allah SWT (al-lutf al-ilahi). Cahaya ini menimbulkan rasa gembira dalam menempuh jalan Allah SWT dan rasa sukacita­ dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Al-Harawi mengungkapkan hal ini secara simbolik dalam pernyataannya:

“Apabila barq datang, muncullah awan, kemudian turunlah hujan gerimis sukacita. Ketika itu, hati orang yang ditimpanya merasa gembira. Kegembiraan­ yang meluap akan mengalirkan sungai kemu­liaan. Itulah pemberian Tuhan yang dikhususkan-Nya kepada ham­ba-hamba-Nya yang terpilih.”

Daftar Pustaka

Burckhardt, Titus. Mengenal Ajaran Kaum Sufi, terj. Azyumardi Azra dan Bachtiar Effendi. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Ibnu Arabi. al-Futuhat al-Makkiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Madarij as-Salikin. 3 Jilid. t.tp.: Dar ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
al-Jurjani. at-Ta‘rifat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al- Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rafi‘ Usmani. Bandung: Pustaka, 1984.

Yunasril Ali