Ilmu laduni ialah pengetahuan yang diterima secara langsung oleh hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan) atau inspirasi dari Tuhan. Pengetahuan ini diperoleh seseorang yang saleh dari Al lah SWT tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung pada kehendak dan kurnia Allah SWT.
Dalam tasawuf dibedakan tiga jenis alat untuk komunikasi rohaniah, yaitu: (1) kalbu (hati nurani) untuk mengetahui sifat Tuhan; (2) roh untuk mencintai-Nya; dan bagian yang paling dalam, yakni (3) sirr (rahasia) untuk musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT secara yakin, sehingga tidak terjajah nafsu amarah) kepada-Nya.
Meskipun dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung secara jasmani, kalbu bukanlah daging atau darah, melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu. Lapisan dalam kalbu disebut roh; sedangkan bagian yang terdalam dinamakan sirr; kesemuanya itu secara umum disebut hati.
Apabila ketiga organ tersebut telah disucikan sesuci-sucinya dan telah dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi dengan zikir yang mendalam, hati itu akan dapat mengetahui Tuhan.
Tuhan akan melimpahkan nur (cahaya) keilahianNya kepada hati yang telah suci itu. Hati seperti ini diumpamakan kaum sufi dengan sebuah cermin. Apabila cermin itu telah dibersihkan dari deb dan noda yang mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih, dan bening.
Pada saat itu cermin tersebut dapat memantulkan gambar apa saja yang ada di hadapannya. Demikian pula hati manusia. Apabila telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala sesuatu yang datang dari Tuhan. Pengetahuan seperti ini disebut makrifat musyahadah atau ilmu laduni.
Semakin tinggi makrifat seseorang semakin banyak pula ia mengetahui rahasia Tuhan dan ia pun semakin dekat dengan Tuhan. Meskipun demikian, memperoleh makrifat atau ilmu laduni yang penuh dengan rahasia ketuhanan tidaklah mungkin karena manusia serba terbatas, sedangkan ilmu Allah SWT tanpa batas, seperti yang dikatakan al-Junaid (sufi modern), “Cangkir teh tidak akan dapat menampung segala air yang ada di samudera.”
Keberadaan dan status ilmu laduni ini bukan tanpa alasan. Para sufi merujuk keberadaan ilmu ini pada Al-Qur’an (QS.18:60–82) yang memaparkan beberapa episode tentang kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS. Dalam episode pertama, Nabi Musa AS diperkenankan oleh Khidir AS mengikutinya dengan syarat tidak boleh menanyakan apa saja yang diperbuatnya.
Perbuatan pertama yang dilakukan Nabi Khidir AS ialah melubangi perahu. Melihat perbuatan tersebut Nabi Musa AS bertanya, “Mengapa engkau melubangi perahu itu yang akibatnya bisa menenggelamkan penumpangnya?”
Karena pertanyaan tersebut ia segera mendapat teguran dari Nabi Khidir AS dan ia segera menyadari kekhilafannya. Dalam episode kedua, Nabi Khidir AS membunuh seorang pemuda dan peristiwa itu segera pula dikritik Nabi Musa AS. Namun ia segera mendapat teguran dari Nabi Khidir AS yang membuatnya sadar seketika.
Selanjutnya dalam episode ketiga, Nabi Khidir AS membangun dinding rumah yang hampir runtuh. Melihat peristiwa itu Nabi Musa AS tanpa berpikir panjang berkata pula, “Jikalau kamu mau, niscaya kamu ambil upah untuk itu.”
Dengan episode ketiga berakhirlah kisah antara Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS. Sebelum berpisah, Nabi Khidir AS menjelaskan segala rahasia perbuatan yang telah dilakukannya kepada Nabi Musa AS. Ia melubangi perahu agar perahu itu terhindar dari perampasan penguasa karena perahu itu milik orang miskin.
Ia membunuh pemuda itu karena ia khawatir pemuda itu akan menyeret kedua orangtuanya pada kesesatan dan kekufuran. Ia membangun dinding yang hampir runtuh karena rumah itu milik dua anak yatim yang berayahkan seorang yang saleh; di bawah rumah itu ada harta simpanan bagi mereka.
Kisah tersebut dijadikan para sufi sebagai alasan keberadaan dan status ilmu laduni. Mereka memandang Nabi Khidir AS sebagai orang yang mempunyai ilmu laduni dan Nabi Musa AS sebagai orang yang mempunyai pengetahuan biasa dan ilmu lahir. Ilmu tersebut dinamai ilmu laduni karena di dalam surah al-Kahfi (18) ayat 65 disebutkan, “wa ‘allamnahu min ladunna ‘ilman” (… dan yang telah Kami ajarkan kepadanya [Khidir AS] ilmu dari sisi Kami).
Tasawuf termasuk ilmu laduni karena ilmu tersebut diterima langsung oleh sufi dari Tuhannya setelah ia membersihkan hatinya dengan riadat dan mujahadat (kesungguhan). Riadat dan mujahadat tersebut menghasilkan musyahadah (tembus pandang) pada keilahian Tuhan setelah terbukanya hijab (dinding pembatas) antara hamba dan Tuhannya. Ketika itulah seorang hamba menerima limpahan ilmu laduni.
Daftar Pustaka
al-Banjari, Muhammad Nafis. Ad-Durr an-Nafis. Cairo: Dar at-Taba‘ah al-Misriyah, 1347 H/1928 M.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. London: Routledge and Kegan Paul, 1975.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abd al-Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
Yunasril Ali