Ada dua kerajaan di Kutai, yaitu Kerajaan Kutai Martapura (abad ke-4–abad ke-17) dan Kerajaan Kutai Kertanegara (awal abad ke-14–abad ke-19), keduanya menganut agama Hindu. Sekitar abad ke-16, Islam masuk ke Kutai. Aji Raja Mahkota Mulia Islam atau Aji Raja Diistana atau Aji Dimakam memerintah (1525–1600) Kutai berdasarkan ajaran Islam. Kesultanan Kutai merupakan kelanjutan dari Kerajaan Kutai Kertanegara.
Kerajaan Kutai Martapura terletak di Muara Kamam, pedalaman Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Keberadaannya diketahui berdasarkan penemuan beberapa prasasti yang dipahat di atas tiang batu pengikat kurban persembahan (yupa), yang berasal dari abad ke-5.
Kerajaan yang berlangsung kurang lebih 13 abad ini diperintah 25 raja, dengan Maharaja Mulawarman Nala Dewa sebagai raja pertama. Terdapat dugaan bahwa raja tersebut menganut agama Hindu. Dugaan tersebut diperkuat tulisan di prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Mulawarman melakukan upacara sedekah dengan menghadiahkan 20.000 ekor sapi untuk para Brahmana di sebidang tanah yang dipandang suci.
Adapun Kerajaan Kutai Kertanegara, yang berdiri sekitar tahun 1300, terletak di Tepian Batu, tidak jauh dari tepi muara Sungai Mahakam. Menurut hikayat, kerajaan tersebut didirikan anak seorang kepala kampung di Kutai Lama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Antara Kerajaan Kutai Kertanegara dan Kutai Martapura sering terjadi peperangan. Pada awal abad ke-17 Kerajaan Kutai Kertanegara berhasil memperoleh kemenangan; Kerajaan Kutai Martapura disatukan dengan Kerajaan Kutai Kertanegara. Sejak itu nama Kerajaan Kutai Kertanegara menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura.
Pada saat Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri, masyarakat dipengaruhi ajaran Hindu atau Buddha. Hal itu antara lain terlihat dari anggapan masyarakat bahwa raja adalah penjelmaan dewa. Perkembangan kedua agama di kerajaan tersebut melemah dengan adanya hubungan dengan dunia luar, khususnya dengan daerah yang telah memeluk Islam (misalnya, Makassar).
Meskipun agama Islam secara pasti belum masuk di kerajaan tersebut, pengaruh itu mulai terlihat pada masa pemerintahan Raja Aji Wirabayan (1370–1420), yang juga bernama Aji Maharaja Sultan. Menurut berita Hikayat Kutai Kertanegara, pada saat itu Raja Aji Wirabayan belum memeluk Islam.
Islam berkembang secara intensif pada masa pemerintahan Aji Raja Diistana atau Aji Dimakam (1525–1600). Raja sendiri pada saat itu telah masuk Islam. Begitu pula dengan putranya yang bernama Aji Dilanggar atau Aji Mandaraya (memerintah 1600–1605).
Pada masa itu hidup seorang mubalig terkenal, Said Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar al-Warsak. Makam mereka yang terletak di Kutai Lama dianggap keramat; di atas makam tersebut terdapat tulisan Arab.
Karena rajanya telah memeluk Islam, masyarakat pun masuk Islam. Adapun penduduk yang enggan masuk Islam semakin terdesak ke pedalaman dan hidup terisolasi.
Ajaran Islam di Kesultanan Kutai Kertanegara berkembang demikian pesat dan kuatnya. Agama terdahulu tidak banyak meninggalkan bekasnya. Kedua undang-undang kesultanan, yaitu Panji Selatan dan Braja Nanti, dan pengaturan kesultanan didasarkan pada ajaran Islam.
Dalam laporan J. Zwager, seorang Belanda yang pernah bertugas sebagai asisten residen di Kalimantan Timur, disebut nama seorang sultan yang wafat 1 Juli 1845, yaitu Aji Sultan Muhammad Salehuddin atau Marhum Tenggarong Anak (memerintah 1782–1845). Pemerintahannya dinilai kuat dan bijaksana. Pada masa itu, pengakuan atas kedaulatan Belanda di Kalimantan Timur sudah dilakukan (Oktober 1844).
Sepeninggal sultan tersebut, suasana kesultanan mulai memburuk; pemerintahan kacau-balau. Laporan Zwager melukiskan situasi kesultanan sesudah masa Aji Sultan Muhammad Salehuddin sebagai situasi malaise dari pranata dan sistem kerajaan pribumi di Nusantara.
Seperti kerajaan tradisional lainnya di tanah air, karena kebobrokan pemerintah dan kebejatan moral penguasa serta penetrasi bangsa asing dengan keunggulan militer dan ekonominya, Kesultanan Kutai pun pada akhirnya mengalami kemunduran.
Meskipun mengalami kemunduran, Kesultanan Kutai tetap bertahan. Raja yang memerintah sesudah Aji Sultan Muhammad Salehuddin adalah Sultan Sulaiman (1850–1899), yang kemudian digantikan Sultan Aji Muhammad Alimuddin (1899–1915). Setelah wafat ia digantikan Sultan Aji Muhammad Parikesit (1915–1971).
Istana Kutai masih utuh, tetapi kekuasaan sultan sudah runtuh. Bangunan keraton tersebut tetap menjadi tempat tinggal hingga Parikesit meninggal pada 1971. Pada 1976, bangunan tersebut dijadikan Museum Negeri Kalimantan Timur. Sejak saat itu Kesultanan Kutai tak mempunyai raja.
Seiring dijalankannya otonomi daerah, Kesultanan Kutai dikembalikan kepada keturunan sultan, yakni Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II yang dinobatkan pada 22 September 2001. Setahun kemudian pada 20 September 2002 dilakukan penobatan putra mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, yakni Aji Pangeran Arifin yang bergelar Aji Pangeran Adipati Surya Adiningrat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, ed. Sejarah Lokal di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985.
Kartodirdjo, Sartono, dkk. Sejarah Nasional Indonesia. Jil. II. Jakarta: Balai Pustaka, 1977.
“Lapuk Karena Usia,” Gatra, Edisi Khusus No. 3 Tahun IX, 7 Desember 2002.
Vlekke, Bernard HM. Nusantara (Sejarah Indonesia) 1. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1967.
Waluyo, Dwitri. “Mencoba Bangkit dari Kubur,” Gatra, Edisi Khusus No. 3, Tahun IX, 7 Desember 2002.
Moch. Qasim Mathar