Kuliah Subuh

Kuliah subuh adalah ceramah agama yang diberikan sehabis salat subuh, yang berlangsung selama sekitar 15 sampai 30 menit. Ceramah biasanya dilakukan di masjid, musala, surau, dan langgar, atau disiarkan melalui media elektronik radio dan televisi.

Tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali dimulai kuliah subuh, tetapi diperkirakan bahwa cikal bakal kuliah subuh itu lahir dari pengajian berhalaqah (berlingkar) di sekeliling guru yang diadakan di surau atau di pesantren sehabis melaksanakan salat subuh.

Dalam pengajian itu, seorang guru membacakan kitab tertentu disertai keterangan panjang lebar sedangkan para murid menyimak bacaan gurunya pada kitab milik mereka masing-masing. Biasanya, pengajian berakhir pada waktu pagi sudah agak terang, atau setelah matahari terbit. Kebiasaan ini kemudian menyebar di kalangan masyarakat umum.

Diperkirakan, kebiasaan ini menyebar sekitar 1950-an dan biasa disebut kuliah subuh. Pada sekitar 1958, kuliah subuh mulai memasyarakat. Misalnya, HAMKA memberikan kuliah tafsir Al-Qur’an seusai salat subuh di Masjid Agung al-Azhar, Jakarta, pada akhir 1958.

Bermula dari bahan kuliah subuh itulah kemudian muncul Tafsir al-Azhar sebanyak 30 jilid. Kuliah subuh semakin berkembang karena disiarkan melalui RRI (Radio Republik Indonesia), radio swasta, dan televisi swasta.

Di RRI Jakarta, selain Prof. Dr. HAMKA, terkenal pula nama mubaligh seperti Prof. Osman Raliby dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Di RRI Surabaya terdapat nama H Bey Arifin, dan di RRI Bandung terdapat nama Salahuddin Sanusi.

Kemudian, di sejumlah radio swasta muncul pula nama seperti KH Abdullah Syafi‘i, KH Tahir Rahili, H Tutty Alawiyah, H Suryani Tahir, KH Zainuddin M.Z., dan H Kosim Nurseha. Selain menampilkan sejumlah mubaligh, sejumlah saluran televisi juga mengundang pejabat negara untuk menyampaikan kuliah subuh.

Perkembangan kuliah subuh yang paling pesat terjadi sekitar 1965–1966 ketika bangsa Indonesia, yang mayoritas Islam, menghadapi ancaman bahaya laten PKI yang sedang gencar menyebarkan semangat antiagama di segenap pelosok tanah air.

Untuk mengantisipasi bahaya laten komunis itulah, ulama dan para pemuka Islam giat menggembleng keimanan umat melalui ceramah agama. Di samping kuliah subuh, pada waktu itu muncul pula istilah “Gelora Subuh” yakni kegiatan pemuda dan anak-anak yang bersifat keagamaan yang dilakukan sehabis kuliah subuh. Dari sini pula, kegiatan wirid remaja dan organisasi pemuda masjid kemudian tumbuh.

Dalam perkembangan kuliah subuh selanjutnya, pelaksanaan perkuliahan tidak hanya dilakukan dalam bentuk pengajian berhalaqah, melainkan telah berkembang dalam bentuk ceramah agama.

Di samping itu, pengajian dan ceramah agama yang sebelumnya dilakukan tanpa pengeras suara, kemudian berkat perkembangan ilmu dan teknologi, dapat dilaksanakan dengan pengeras suara, sehingga dapat dilakukan di tengah jemaah yang besar.

Cara pelaksanaan kuliah subuh di masing-masing masjid, musala, ataupun langgar tidak selalu sama. Ada sebagian yang melakukannya dalam bentuk ceramah agama secara bebas.

Sebagian yang lain melaksanakannya dalam bentuk pengajian dengan materi kajian tertentu, misalnya tafsir, hadis, fikih, akhlak, tasawuf, keimanan, tarikh Islam, dan materi lain dengan jadwal dan penceramah yang telah ditentukan pula.

Demikian pula dengan jadwal pelaksanaannya, ada yang melaksanakan setiap pagi yaitu sehabis salat subuh, ada pula yang melaksanakannya setiap pagi Jumat dan Minggu, dan ada juga yang melaksanakannya hanya satu kali dalam satu minggu.

Berbagai stasiun televisi biasanya menayangkan kuliah subuh selama 30 menit mulai pukul 5 pagi. Acara yang sama disiarkan pula oleh RRI dan sejumlah radio swasta, baik di ibukota maupun di daerah.

Dalam penyampaian perkuliahan terdapat pula perkembangan yang cukup berarti. Pada awalnya perkuliahan hanya disampaikan dalam bentuk metode ceramah sehingga jemaah hanya mendengarkan ceramah sang mubaligh.

Kemudian metode itu dikembangkan menjadi metode lain yang secara praktis membuat jemaah juga ikut terlibat dalam pembahasan materi yang sedang dibicarakan. Misalnya dalam masalah ibadah, jemaah terlibat langsung untuk mempraktekkan topik ibadah yang sedang dibicarakan.

Selanjutnya, kini dalam kuliah subuh juga digunakan metode diskusi dan wawancara, sehingga jemaah diajak untuk melakukan tukar pikiran tentang masalah yang sedang dikaji.

Dalam hal ini, perkuliahan juga melibatkan sejumlah pakar di bidangnya masing-masing dan orang yang terlibat langsung dengan pokok permasalahan yang ditayangkan, yang tidak hanya menyangkut masalah peribadatan khusus, tetapi juga berkembang pada masalah ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, pertahanan dan keamanan, pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain.

Sementara itu, di RRI dan sejumlah radio swasta perkuliahan dilaksanakan pula dalam bentuk menjawab pertanyaan masalah keagamaan yang diajukan secara tertulis oleh anggota masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan itu ditampilkanlah seorang ulama atau pakar keagamaan.

DAFTAR PUSTAKA
HAMKA. Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional, 1990.
Omar, Toha Jahja. Ilmu Da’wah. Jakarta: Widjaja, t.t.
Shaleh, Abdur Rasyad. Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1985.
Yunasril Ali