Kloning

(Ar.: al-istinsakh)

Kloning adalah upaya duplikasi genetik yang sama pada suatu organisme dengan menggantikan inti sel dari satu sel telur dengan inti sel organisme lain.

Kloning pada manusia dilakukan dengan cara mempersiapkan sel telur yang intinya sudah diambil, lalu sel telur tersebut disatukan dengan sel dewasa dari suatu organ tubuh. Hasilnya ditanam ke rahim seperti layaknya embrio pada bayi tabung.

Kloning mengundang kontroversi setelah pertama kali diumumkan bahwa telah berhasil dilakukan terhadap seekor domba yang diberi nama Dolly pada 1996. Percobaan kloning dilakukan oleh para ahli secara terus-menerus dengan berturut-turut menjadikan tikus (1997), sapi (1998), babi (1999), kera (2000), dan kucing (2001) sebagai percobaan.

Kehebohan kloning semakin mengundang reaksi setelah Clonaid, perusahaan yang berbasis sekte Realian di Denver, mengumumkan kelahiran bayi kloning yang diberi nama Eve pada akhir 2002.

Sekte Realian yang mendanai perusahaan Clonaid adalah aliran kepercayaan yang dipimpin oleh Real yang bernama asli Claude Vorilhon (l. 1946 di Perancis). Kelompok ini mempercayai bahwa manusia adalah “ciptaan sains” dan kloning merupakan kunci keabadian manusia. Pandangan ini, menurut mereka, membantah keyakinan agama samawi dan juga teori ilmiah Darwin tentang asal usul manusia.

Kloning memungkinkan manusia mempunyai anak tanpa harus melewati jalur perkawinan dan bahkan tanpa harus ada pasangan hidup suami atau istri. Seseorang cukup memesan sel telur pada sebuah bank sel telur yang mungkin sudah dilengkapi dengan penyedia jasa rahim sewaan.

Keadaan ini akan berdampak pada sendi institusi keagamaan yang sudah mapan, seperti institusi perkawinan dan keluarga, serta konsep mapan lainnya dalam Islam, antara lain muhrim, nasab, waris, dan wali.

Institusi perkawinan dalam Islam, di samping berfungsi sebagai kontrak sosial (‘aqd at-tamlik) yang melahirkan kesadaran dan tanggung jawab sosial antarkedua belah pihak, juga berfungsi sebagai kontrak ibadah (‘aqd al-‘ibadah), karena mendeklarasikan sesuatu yang tadinya haram menjadi halal dilakukan oleh sepasang suami istri.

Ini sebagaimana diterangkan Allah SWT, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS.30:21).

Perkawinan memiliki konsekuensi penting terhadap kelangsungan konsep hukum yang berlaku dalam Islam, seperti kewarisan, nasab, dan wali. Masing-masing konsep hukum yang lahir dari perkawinan tersebut sudah menjadi hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Keberatan dan pertanyaan tentang kloning tidak hanya berkaitan dengan masalah hukum kekeluargaan dalam Islam, namun juga terkait dengan pertimbangan teologis dan moral. Secara teologis, Al-Qur’an memang mengisyaratkan adanya intervensi manusia dalam proses reproduksi manusia, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati tanah. Kemudian Kami menjadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah. Lalu segumpal darah itu Kami jadikan tulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling Baik” (QS.23:12–14).

Ayat tersebut menggunakan kata tsumma khalaqnakum (kemudian Kami ciptakan), kata ganti dalam bentuk plural, bukan tsumma khalaqtukum (kemudian Aku ciptakan). Dalam kaidah tafsir sering ditemukan bahwa Allah SWT menggunakan kata ganti plural untuk dirinya Yang Mahaesa; ini biasanya mengisyaratkan adanya keterlibatan pihak lain selain diri-Nya dalam proses perwujudan suatu kejadian atau ciptaan.

Al-Qur’an juga mengisyaratkan adanya proses reproduksi non-konvensional, seperti kejadian Adam AS tanpa ayah dan ibu (QS.55:14), manusia tanpa ibu yaitu Hawa (QS.4:1), dan manusia tanpa bapak yaitu Isa AS (QS.3:59). Akan tetapi, semua isyarat yang memungkinkan kloning dari sudut proses tersebut tidak serta-merta mengandung ajaran akan kebolehan melakukan kloning terhadap manusia.

Dalam konteks teologis, pertanyaan yang muncul adalah apakah manusia dalam kapasitasnya sebagai khalifah Allah SWT, bukan pencipta, mempunyai kewenangan untuk melakukan proses penciptaan diri mereka sendiri melalui kloning.

Jawaban pertanyaan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun harus dilihat dalam persepektif moral dan hukum fikih. Secara moral, kloning menjadikan martabat manusia tidak lebih daripada binatang percobaan sains. Kemuliaan martabat manusia yang diberikan Allah SWT menjadi hilang.

Tetapi ini bukan berarti Islam melarang dan menentang akselerasi ilmu pengetahuan. Islam justru sangat mendukung perkembangan pengetahuan yang bermanfaat. Apabila pengetahuan tersebut tidak mengandung manfaat atau mengandung lebih besar madarat daripada manfaatnya, maka Islam melarang dan mengharamkan pengetahuan tersebut demi melindungi kepentingan kemanusiaan.

Jika kloning terbukti akan melahirkan manusia yang tidak produktif, terutama dalam mengemban amanah sebagai khalifah Allah SWT di bumi, apalagi terbukti menurunkan martabat manusia, maka kloning dapat ditolak dengan pertimbangan moral.

Dalam kacamata hukum Islam, kloning menimbulkan permasalahan dalam urusan hukum keluarga. Anak hasil kloning tidak memiliki hubungan nasab dan keturunan, hal yang sangat diperhatikan dalam Islam. Nasab dan keturunan akan menentukan posisi hukum selanjutnya bagi anak dalam penentuan hak kewarisan, perwalian, muhrim, dan nafkah. Atas dasar hukum Islam ini, kloning dilarang dan diharamkan untuk diterapkan pada manusia.

Majma’ Buhuts Islamiyyah (sebuah lembaga fatwa), al-Azhar, Cairo, telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan kloning manusia serta menyerukan bahwa kloning harus diperangi dan dihalangi dengan berbagai cara.

Fatwa ini membuat perbedaan antara kloning dan teknologi rekayasa genetika pada manusia, hewan, atau tumbuhan, yang menghasilkan keturunan yang baik dan bermanfaat atau untuk pengobatan medis.

Kloning untuk tujuan medis, seperti mengganti organ tubuh manusia yang rusak, dapat diterima apabila motivasinya adalah untuk menjaga kemaslahatan dan kebaikan manusia. Yang dilarang dan dicegah adalah kloning rekayasa genetika pada manusia dan makhluk hidup lainnya, karena manusia adalah makhluk, bukan pencipta.

Bahtsul Masa’il Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur mengklasifikasi kloning dalam tiga bentuk dan hukum yang berbeda-beda.

Pertama, kloning yang dilakukan pada makhluk tumbuhan diperbolehkan untuk kemaslahatan hidup manusia, seperti pengembangan rekayasa genetika terhadap tanaman kopi, dan jagung, yang membawa kemaslahatan kepada manusia.

Kedua, kloning pada gen hewan diperbolehkan dengan syarat dilakukan pada hewan halal, tidak menimbulkan penyiksaan, dan tidak melakukan penyilangan antara hewan yang haram dan yang halal. Ketiga, kloning pada manusia menurut etika dan hukum tidak dibenarkan serta harus dicegah sedini mungkin.

Penolakan terhadap kloning pada manusia tidak saja datang dari kalangan Islam. Vatikan, sebagai lembaga otoritas tertinggi Gereja Katolik, telah mengeluarkan keputusan tentang pelarangan kloning manusia.

Parlemen Perancis telah mengeluarkan undang-undang larangan kloning manusia, dan di Amerika Serikat upaya untuk melarang ini sudah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative) dengan membentuk tim perumus undang-undang pelarangan kloning.

Reaksi terhadap kloning di berbagai belahan dunia lebih didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan dan kepentingan yang jauh lebih besar mengingat biaya materiil, moral, dan sosial yang akan dilahirkan dari proses kloning manusia.

DAFTAR PUSTAKA

“Agamawan Berbicara Manusia Kloning,” Republika, 17 Januari 2003.
“Kloning Manusia, Mimpi Besar Sekte Realian,” Sinar Harapan, 28 Desember 2002.
Umar, Nasaruddin. “Pandangan Islam terhadap Kloning,” Kompas, 21 April 2002.
“Usulan agar Kloning Manusia Dilarang,” GloriaNet.

Ahmadie Thaha