Kisas

(Ar.: al-qisas)

Kisas berarti “memberi perlakuan sama terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana ia melakukannya (terhadap korban)”. Kisas tertuju pada kejahatan menyangkut nyawa atau anggota badan. Jika seseorang membunuh orang lain, wali korban berhak menuntut balas melalui hakim untuk membunuh pelaku pidana tersebut. Kalau seseorang menghilangkan anggota tubuh orang lain, korban berhak pula menghilangkan anggota tubuh yang sama pada pelaku tindak pidana tersebut.

Tindakan kisas ini disyariatkan melalui surah al-Baqarah (2) ayat 178 yang berarti: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…” Ayat tersebut merupakan ayat khusus yang menyangkut tindak pidana yang berkaitan dengan menghilangkan nyawa orang lain.

Adapun kisas dalam tindak pidana yang menyangkut anggota badan dapat dilihat melalui firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 45, yang di antara kandungannya menegaskan bahwa setiap yang luka (diberlakukan) kisas.

Jika korban pembunuhan tersebut meninggal dunia, hak menuntut melakukan kisas ini berada di tangan ahli warisnya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah al-Isra’ (17) ayat 33 yang berarti: “…Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya….”

Untuk terlaksananya kisas ini, diperlukan pembuktian bahwa yang diduga pelaku pembunuhan atau pelaku kejahatan yang menghilangkan anggota tubuh seseorang adalah benar-benar pelaku pidana tersebut. Untuk itu diperlukan dua orang saksi yang benar-benar melihat kejadian tersebut.

Jika pidana itu menyangkut anggota badan, adalah hak pribadi korban untuk melakukan tuntutan. Ini artinya, pihak korban dapat saja menggugurkan hukuman kisas tersebut sepanjang itu menyangkut haknya, tetapi ia tidak berhak menggugurkan hal yang menyangkut kepentingan umum.

Oleh sebab itu, kendatipun si korban telah menggugurkan hak kisas, jika dari segi perbuatan jarimah hal tersebut mengganggu ketenteraman umum, penguasa berhak pula untuk membebani dengan sanksi hukum takzir (hukuman yang tidak ditetapkan syarak, melainkan oleh manusia; hukuman yang penentuan jenis, bentuk, dan ukurannya diserahkan kepada penguasa), yang berat ringannya diserahkan kepada hakim.

Hal ini berbeda dengan tindak pidana hudud, seperti zina, mencuri, dan murtad, yang merupakan hak Allah SWT semata-mata dan tidak dapat digugurkan pihak korban.

Jika pihak korban (korban atau ahli warisnya jika korban telah wafat) memaafkan pelaku pidana atau tidak mau melakukan kisas, ulama berbeda pendapat tentang apakah pemberian maaf ini diartikan sebagai kerelaan tanpa imbalan yang harus diberikan pelaku atau harus dibarengi suatu imbalan dari pihak pelaku.

Perbedaan ini muncul dari pengertian kalimat ‘ufiya dan kalimat sesudahnya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 178. Muhammad Ali as-Sayis, seorang ahli tafsir, mengatakan bahwa istilah ‘ufiya mempunyai dua makna yang sesuai, yaitu pengguguran hukuman atau pemberian (harta) sebagai ganti rugi.

Imam Syafi‘i lebih cenderung berpendapat bahwa pihak korban dalam tindak pidana pembunuhan memiliki dua pilihan hukuman, yaitu melakukan kisas atau menerima diat (ganti rugi dengan 100 ekor unta). Sementara itu ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ‘ufiya berarti pemberian.

Maksudnya, jika pihak korban memberi kesempatan bagi pelaku pidana untuk membayar ganti rugi maka hendaklah diikuti dengan pemberian ganti rugi pula. Ini berarti hukuman terhadap pelaku pembunuhan hanya kisas, dan pihak korban tidak dibenarkan memaksa pelaku untuk membayar ganti rugi dengan diat.

Dengan demikian ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kisas bukan hukum pilihan, sebagaimana yang dikemukakan Imam Syafi‘i. Namun, pendapat Imam Syafi‘i ini didukung hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah, yang menyatakan bahwa pihak korban (walinya) dapat memilih hukuman yang akan dikenakan kepada pelaku antara kisas dan menerima ganti rugi (diat).

Hal ini tentunya berlaku secara pribadi antara wali korban dan pelaku pembunuhan. Akan tetapi, sekalipun pihak korban menggugurkan hukuman kisas ini secara sukarela, karena ini haknya secara pribadi, namun tidak tertutup kemungkinan bagi pihak pemerintah untuk menentukan hukuman takzir kepada pelaku pidana. Hal seperti ini pernah dilakukan Umar bin Khattab.

Dilihat dari segi motivasi pembunuhan yang dilakukan, tindak pidana pembunuhan ini dapat dibagi menjadi tiga bentuk.

(1) Pembunuhan sengaja, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan dari pelaku. Unsur kesengajaan ini dapat dilihat dari alat yang dipergunakan untuk membunuh (seperti pisau, senjata, dan pedang) atau dapat juga dilihat dari cara pembunuhan yang dilakukan (seperti membakarnya, membenamkannya ke dalam air, dan menjatuhkannya dari tempat yang tinggi) yang mengakibatkan kemungkinan korban untuk hidup kecil sekali.

(2) Pembunuhan semi-sengaja, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan, tetapi bukan dengan alat yang biasanya dapat menghabisi nyawa seseorang, misalnya memukul korban dengan kayu atau tongkat. Untuk pembunuhan yang semi-sengaja ini dikenakan hukuman denda 100 ekor unta.

(3) Pembunuhan tersalah, yaitu terbunuhnya seseorang yang tidak direncanakan dari semula, tetapi terjadi hanya karena kekeliruan semata-mata, misalnya seorang pemburu rusa dalam hutan tanpa sengaja menembak seorang manusia yang dikiranya rusa. Di sini terlihat tidak ada maksud untuk membunuh manusia tersebut. Untuk pembunuhan yang tersalah ini, hukumannya juga dikenakan denda (diat).

Tindak pidana terhadap anggota badan juga dikenakan hukuman kisas, sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 45 di atas. Dalam pelaksanaan kisas ini, unsur kesamaan harus benar-benar terjamin. Misalnya, jika pelaku pidana memotong jari telunjuk korban sebanyak dua ruas, kisas yang akan dilakukan korban juga harus dengan memotong dua ruas jari telunjuk pelaku pidana.

Namun, hukuman ini juga dapat diganti dengan membayar denda. Bentuk dan jumlah denda untuk anggota badan ini berbeda antara satu dan lainnya. Misalnya, jika kedua matanya dicopot, dendanya satu diat (100 ekor unta). Tetapi jika hanya sebelah mata yang dicopot, dendanya setengah diat (50 ekor unta).

Tujuan dari syariat kisas ini sebenarnya adalah untuk menjadi tindakan preventif (pencegahan) bagi masyarakat yang menyaksikan pelaksanaan kisas tersebut. Artinya, dengan melihat pelaksanaan kisas tersebut, masyarakat akan dapat lebih mawas diri, tidak sewenang-wenang terhadap nyawa atau tubuh orang lain.

Demikian juga halnya terhadap pelaku tindak pidana. Inilah yang dimaksud Allah SWT dengan firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 179 yang berarti: “Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal…” Jadi kisas ini bukan hanya semata-mata pembalasan tindakan terhadap pelaku pidana, sebagaimana yang dituduhkan sementara orang.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami. Cairo: Dar al-‘Urubah, 1964.
Ibnu Taimiyah. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Ihlah ar-Ra‘i wa ar-Ra‘yah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
Muhammad, Abbas Husaini. al‑Fiqh al‑Islami Afaquh wa Tathawwuruh. Mekah: Rabitah al‑’Alam al‑Islami, 1402 H/1981 M.
an‑Nawawi, Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf ad‑Dimasqi. al‑Majmu‘ Syarh al‑Muhadzdzab. Cairo: al‑Imam, t.t.
as-San’ani, Muhammad bin Isma’il. Subul as-Salam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.
Nasrun Haroen