Dalam bahasa Indonesia, khusyuk berarti “penuh penyerahan dan kebulatan hati, sungguh-sungguh, dan penuh kerendahan hati”. Dalam agama Islam terdapat beberapa definisi khusyuk yang dikemukakan para ulama, salah satu di antaranya mengatakan bahwa khusyuk berarti “merasakan bahwa diri berada di hadapan Allah SWT”.
al-Hasan al-Basri (Madinah, 642-Basrah, 729), ahli hadis dan fikih periode tabiin, mengatakan bahwa khusyuk adalah perasaan takut yang senantiasa ada dalam hati. Al-Junaid, tokoh sufi modern, mengatakan bahwa khusyuk adalah perasaan tunduk yang timbul dalam hati terhadap Tuhan yang mengetahui yang gaib.
Al-Ghazali ((450 H/1058 M–505 H/1111 M) mencoba menyimpulkan dari pendapat yang berkembang pada masanya. Menurutnya, khusyuk meliputi enam hal, yaitu kehadiran hati, mengerti antara yang dibaca dan yang diperbuat, mengagungkan Allah SWT, merasa gentar terhadap Allah SWT, merasa penuh harap kepada Allah SWT, dan merasa malu terhadap-Nya.
Semuanya itu menyatu dalam rangka melaksanakan salat. Oleh karena perasaan yang demikian telah bersatunya, Sa’id bin Jubair mengatakan bahwa khusyuk adalah terpusatnya pikiran terhadap salat yang sedang dilaksanakan hingga tidak diketahui siapa orang yang di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
Al-Qur’an menyebut orang yang khusyuk dengan al-khasyi‘in sebagaimana firman-Nya: “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” (QS.2:45–46).
Dari keterangan di atas terlihat bahwa khusyuk merupakan kondisi mental dalam bentuk pemusatan pikiran dan perhatian kepada Allah SWT ketika melakukan salat. Kondisi demikian mempengaruhi kondisi jasmani. Pengaruh kondisi mental yang demikian tercermin dari beberapa cerita tentang kekhusyukan orang saleh pada zaman dahulu ketika melaksanakan salat.
Diceritakan al-Ghazali dalam Ihya’‘Ulum ad-Din, bahwa Muslim bin Yasar suatu kali melakukan salat di Masjid Jami Basrah. Ketika ia sedang khusyuk melakukan salat tersebut, salah satu sudut masjid tiba-tiba runtuh, sehingga orang banyak berkerumun. Tetapi Muslim tidak mengetahui hal itu sama sekali sampai ia selesai melakukan salat.
Diceritakan lagi oleh al-Ghazali, suatu saat salah satu anggota tubuh Muslim terkena infeksi. Penyakit tersebut tidak bisa sembuh jika anggota tubuhnya tidak dipotong. Orang menyarankan kepada tabib (dokter) yang akan memotong, agar pelaksanaan pemotongan dilakukan ketika ia sedang salat. Maka tatkala Muslim sedang khusyuk melakukan salat dilaksanakanlah pemotongan tersebut. Pada saat itu ia tidak merasa sakit sedikit pun.
Diceritakan pula ketika Ali bin Abi Thalib terkena anak panah, anak panah tersebut dimintanya dicabut ketika ia sedang salat, agar ia tidak merasakan sakit karena sedang khusyuk salat.
Di samping itu, kekhusyukan hati juga dipengaruhi kondisi jasmani. Jasmani yang segar dan bersih akan memberikan pengaruh pada kekhusyukan hati. Oleh karena itu, kekhusyukan hati dan kondisi jasmani saling mempengaruhi.
Saling pengaruh itu berlangsung sebagai berikut:
(1) ucapan yang dibaca oleh bibir diartikan oleh pikiran dan dihayati oleh hati;
(2) perbuatan yang dilakukan anggota badan dalam menghormati dan mengagungkan Tuhan, merendahkan hati kepada-Nya, khidmat, dan memuliakan-Nya diartikan oleh pikiran dan dihayati oleh hati;
(3) penghayatan hati terhadap segala ucapan dan sikap perbuatan tadi menimbulkan kekhusyukan; dan
(4) setelah khusyuk terwujud, ia mempengaruhi anggota tubuh, sehingga gerak dan sikap jasmani serasi dengan yang dibaca dan yang dihayati.
Khusyuk merupakan roh (jiwa) salat. Salat itu akan lebih mempunyai makna dan dapat memberikan pengaruh positif terhadap tingkah laku jika dilakukan secara khusyuk. Oleh sebab itu, ada di antara ulama yang memandang bahwa khusyuk termasuk salah satu di antara syarat sahnya salat. Pendapat ini umumnya dipegang ulama sufi.
Akan tetapi pada umumnya ulama fikih memandang khusyuk itu hanyalah sunah. Alasannya, khusyuk itu bukan termasuk bagian dari salat. Oleh sebab itu, ketiadaannya tidak merusak ataupun membatalkan salat. Selain itu, khusyuk merupakan tindakan hati yang bersifat individual.
Perbuatan hati tidak termasuk dalam rukun ataupun syarat salat. Apabila berkenaan dengan ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW yang memerintahkan supaya berlaku khusyuk dalam salat, maka perintah itu dipandang sebagai perintah yang bersifat sunah, bukan wajib.
Adapun ulama yang memandang khusyuk itu sebagai syarat sahnya salat mengemukakan alasan berupa ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Surah yang memerintahkan khusyuk antara lain adalah surah Taha (20) ayat 14 yang berarti: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.”
Dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abu Hurairah antara lain disebutkan: “Berapa banyak orang yang melakukan salat malam, tetapi yang diperolehnya dari salatnya itu hanyalah payah dan letih.”
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Amar bin Yasir dijelaskan pula: “Bahwa seorang hamba yang betul-betul melakukan salat baginya mungkin hanya dituliskan separuh salat atau sepertiga atau seperempat atau seperlima sampai sepersepuluh. Salat seseorang hanya dituliskan untuknya sekadar yang dapat ia pahamkan dari salatnya itu.”
Ayat dan hadis yang memerintahkan dan mengisyaratkan khusyuk mereka pandang sebagai perintah dan isyarat wajib. Perbedaan paham tersebut tak kunjung usai, namun apabila dipahami dengan baik, kelihatan bahwa kualitas salat banyak terkait dengan nilai khusyuk. Untuk itu perlu bagi setiap orang yang akan melakukan salat menumbuhkan khusyuk dalam hati.
Upaya untuk menumbuhkan khusyuk itu dapat ditempuh dengan usaha sebagai berikut:
(1) merasakan ketika salat bahwa kita sedang berdiri di hadapan Yang Maha Kuasa dan mengetahui segala yang tersimpan dalam pikiran dan hati;
(2) memperhatikan arti dari segala yang dibaca;
(3) menghayati arti tersebut dalam hati;
(4) tidak tergesa-gesa dalam segala ucapan dan tindakan salat;
(5) menurut sebagian ulama senantiasa memandang ke tempat sujud; dan
(6) menjauhkan diri dari segala yang membimbangkan hati. Keutamaan khusyuk terlihat dari firman Allah SWT yang berarti: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang khusyuk di dalam sembahyangnya” (QS.23:1-2).
Di dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Silah bin Asim dijelaskan juga: “Barangsiapa melakukan salat dua rakaat tanpa terpengaruh hatinya oleh urusan duniawi, niscaya diampuni Allah dosanya yang telah lalu.”
DAFTAR PUSTAKA
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1983.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1959.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Yunasril Ali