Secara umum, khilafiah berarti “perbedaan pendapat atau pandangan ulama dalam berbagai persoalan”, baik masalah keagamaan maupun yang lain. Dalam konteks keagamaan (Islam), khilafiah lebih dipahami sebagai perbedaan pandangan ulama dalam persoalan akidah, ibadah, muamalah, dan sebagainya. Pengertian kata “khilafiah” sering disamakan dengan arti kata “ikhtilaf”.
Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW sering berbeda pendapat dengan para sahabatnya dalam berbagai persoalan, baik dalam persoalan keagamaan maupun keduniaan. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda, “Ikhtilaf ummati rahmah (Perbedaan pendapat di antara umatku merupakan rahmat)” (HR. al-Baihaki).
Khilafiah yang membawa rahmat adalah khilafiah yang didasarkan pada rasa persatuan, persaudaraan, dan kebersamaan. Khilafiah yang membawa laknat dan bencana adalah khilafiah yang memecah persatuan, persaudaraan, dan kebersamaan.
Khilafiah yang paling menonjol yang pernah terjadi di antara kaum muslimin adalah ketika muncul masalah siapa yang berhak menjadi khalifah setelah Nabi SAW wafat. Ada pihak yang menghendaki bahwa seorang khalifah berasal dari kalangan Ansar, yang lain dari kalangan Quraisy, dan ada pula dari kalangan keluarga Nabi SAW.
Perselisihan yang menonjol lainnya adalah ketika terjadi Perang Siffin (Safar 37 H/657 M), yakni antara kelompok Ali bin Abi Thalib dan pihak Mu‘awiyah bin Abi Sufyan. Peperangan yang hampir dimenangkan pihak Ali segera dihentikan karena Ali menerima tawaran pihak Mu‘awiyah untuk menyelesaikan peperangan melalui arbitrase (tahkim).
Keputusan Ali ini ternyata tidak didukung semua pengikutnya. Mereka yang menentang keputusannya kemudian keluar dari barisan Ali dan membentuk barisan tersendiri dengan mengangkat Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin mereka yang baru. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kaum Khawarij, yaitu orang yang keluar dari barisan Ali.
Adapun kelompok yang setia kepada Ali kemudian dikenal sebagai kelompok Syiah, yakni yang meyakini bahwa Ali dan keturunannya adalah para pemimpin agama dan umat setelah Nabi SAW.
Kelompok Khawarij mempunyai keyakinan bahwa semua masalah harus diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Qur’an, sesuai dengan surah al-Ma’idah (5) ayat 44: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”
Berdasarkan ayat tersebut, kaum Khawarij mengafirkan orang mukmin yang memutuskan sesuatu tanpa merujuk pada Al-Qur’an; mereka itu dianggap telah berbuat dosa besar. Paham yang dimunculkan oleh kelompok ini merupakan persoalan teologi yang muncul pertama kali. Karena itu, kaum Khawarij juga merupakan aliran teologi pertama dalam sejarah Islam.
Reaksi terhadap paham Khawarij itu kemudian menyebabkan munculnya aliran baru yang tidak sepaham dengan Khawarij, seperti Murji’ah. Golongan Murji’ah, yang dipimpin Jahm bin Sofwan, mengambil sikap menyerahkan penentuan nasib kaum mukmin yang berdosa kepada Allah SWT. Setelah itu, satu per satu bermunculan masalah agama yang menyebabkan lahirnya berbagai aliran dalam berbagai bidang.
Dalam bidang akidah (teologi), misalnya, muncul aliran teologi baru, seperti Kadariyah, Jabariyah, Muktazilah, dan Ahlusunah Waljamaah. Golongan Kadariyah adalah golongan yang mempunyai pandangan bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk menentukan perjalanan hidupnya. Pencetusnya adalah Ma’bah al-Juhani.
Sebaliknya, golongan Jabariyah adalah golongan yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan untuk menentukan kehendak dan perbuatannya; manusia terikat oleh kehendak mutlak Allah SWT. Aliran ini dicetuskan Ja’ad bin Dirham. Muktazilah merupakan golongan yang membahas persoalan teologi berdasarkan akal dan lebih bersifat filosofis. Karena itu, mereka disebut “kaum rasionalis Islam”.
Aliran ini dikembangkan Wasil bin Ata. Ahlusunah waljamaah adalah golongan yang muncul sebagai reaksi atas paham Muktazilah. Ahlusunah Waljamaah, yang berarti golongan yang banyak menggunakan sunah, adalah nama bagi dua golongan, yaitu Asy‘ariyah yang dicetuskan Abu Hasan al-Asy‘ari dan Maturidiyah yang dicetuskan Abu Mansur Muhammad al-Maturidi.
Umat Islam juga berbeda pendapat dalam soal hukum ibadah dan muamalah. Khilafiah dalam masalah hukum ini menyebabkan lahirnya empat mazhab (aliran) besar, yaitu (1) Mazhab Hanafi (aliran yang mengikuti pandangan fikih Imam Hanafi), (2) Mazhab Maliki (mengikuti Imam Malik), (3) Mazhab Syafi‘i (mengikuti Imam Syafi‘i), dan Mazhab Hanbali (mengikuti Imam Hanbali).
Dalam bidang tasawuf dan filsafat, muncul paham kaum sufi dan kaum filsuf yang berbeda dari paham kaum teolog dan fukaha (ahli fikih). Dalam bidang tasawuf, para sufi mempunyai cara tersendiri dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT dan masing-masing memperoleh pengalaman yang berbeda.
Pada sufi wanita, Rabi’ah al-Adawiyyah, misalnya, berkembang emosi cinta (mahabah) yang luar biasa kepada Allah SWT sehingga ia mengalami keterbukan hijab batin dan melihat keindahan Allah SWT. Abu Yazid al-Bustami (w. 874) mengalami perasaan bersatu (ittihad) dengan Allah SWT, sedangkan al-Hallaj (w. 922) memperoleh pengalaman hulul (perasaan bahwa roh Allah SWT menempati tubuhnya dan bersatu dengan rohnya).
Dalam bidang filsafat, paham kadim yang dianut para filsuf muslim yang berkeyakinan bahwa Allah SWT mencipta alam sejak zaman azali atau sejak kadim sehingga alam yang diciptakan-Nya adalah kadim (tidak pernah tidak ada) tidak disetujui kaum teolog atau fukaha.
Khilafiah di kalangan umat Islam pada dasarnya disebabkan adanya perbedaan pemahaman ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Dalam syariat, dikenal adanya istilah qath‘iyyah (hal yang dapat dipastikan/diketahui dengan pasti) dan zanniyyah (hal yang dapat diduga/diketahui sampai ke taraf dugaan kuat, tetapi tidak dapat dipastikan).
Hal yang qath‘iyyah adalah yang ada kepastian hukumnya, baik secara naqli (dilihat dari segi nas) maupun nalar. Hal yang qath‘iyyah tidak akan berubah dan tidak akan diubah karena perubahan tempat dan zaman. Karena itu, tidak ada khilafiah pada qath‘iyyah.
Dalam qath‘iyyah tercakup masalah sebagai berikut:
(1) akidah dan yang berkaitan dengannya, seperti iman kepada keesaan Allah SWT, adanya kebangkitan, surga, dan Muhammad SAW adalah rasul terakhir;
(2) sebagian dari hal yang berhubungan dengan amaliah, seperti adanya kewajiban salat lima kali sehari semalam dengan jumlah rakaat masing-masing, adanya kewajiban mengeluarkan zakat, dan berpuasa; dan
(3) sebagian dari kaidah yang diambil dari nas syariat yang jelas, seperti kaidah yang berbunyi la darara wa la dirara (tidak mengandung mudarat dan memberi mudarat).
Hal yang zanniyyah adalah persoalan yang mungkin dapat berubah sesuai dengan tempat, kondisi, dan perkembangan zaman. Cakupan permasalahannya cukup luas dan menjadi sumber timbulnya khilafiah. Permasalahannya mencakup bidang teologi, amaliah, dan kaidah mazhab.
Umat Islam boleh berbeda pendapat dalam hal yang berkaitan dengan pendapat teologis, misalnya apakah Allah SWT wajib berbuat baik dan yang terbaik bagi manusia. Sebagian orang boleh berpendapat bahwa Allah SWT wajib melakukan itu dan sebagian lain mengatakan tidak wajib bagi-Nya, tetapi jaiz (boleh) saja.
Dalam hal yang berkaitan dengan aspek amaliah, misalnya, timbul perbedaan pendapat mengenai kadar susuan yang mengharamkan terjadinya hubungan perkawinan antara anak sesusuan. Contoh khilafiah dalam hal yang berkaitan dengan kaidah usul adalah perbedaan pendapat dalam menjadikan kias sebagai sumber hukum.
Mustafa Sa‘id al-Khin, guru besar hukum Islam Universitas Damascus (Suriah), dalam bukunya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa‘id al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ (Dampak Perbedaan Kaidah Usul terhadap Perbedaan Pendapat Ulama Fikih) menguraikan secara lebih terperinci sebab terjadinya khilafiah di kalangan ulama. Menurutnya, ada delapan sebab timbulnya khilafiah:
(1) perbedaan qiraah (bacaan) terhadap suatu lafal tertentu dalam Al-Qur’an sehingga menyebabkan khilafiah dalam menetapkan hukum;
(2) kurang dalamnya penelaahan terhadap hadis dan keterkaitannya dengan nas yang lain;
(3) adanya keraguan tentang status dan kualitas hadis;
(4) perbedaan pemahaman terhadap nas dan penafsirannya;
(5) adanya lafal yang bermakna ganda yang digunakan nas;
(6) adanya pertentangan antara dalil;
(7) tidak adanya nas yang jelas berkenaan dengan suatu persoalan; dan
(8) perbedaan kaidah usul yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
_______. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
al-Khin, Mustafa Sa’id. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa‘id al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1985.
al-Madani, Muhammad. Mawathin al-Ijtihad fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Kuwait: Matba‘ah al-Manar, t.t.
A. Thib Raya