Menurut fikih, khiar berarti “permintaan untuk memberlakukan hak pilih bagi penjual dan pembeli agar dalam waktu tertentu dapat menentukan apakah jual-beli akan dilanjutkan atau dibatalkan. Apabila ijab kabul telah dilakukan, kepemilikan barang beralih dari penjual ke pembeli. Sejak itu pembeli dapat memakai barang itu sesuai dengan keinginannya. Agar tidak menyesal atas jual beli tersebut, kedua belah pihak dapat meminta hak khiar.
Menurut para ahli fikih, khiar ada tiga macam, yaitu khiar majelis, khiar syarat, dan khiar aib. Khiar majelis adalah kebebasan memilih barang yang akan dibeli selama penjual dan pembeli masih belum berpisah dari tempat pelaksanaan jual beli, baik perpisahan ucapan yang menyatakan bahwa jual beli sudah selesai maupun perpisahan badan.
Dasar dari khiar majelis adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang berarti: “Jual beli itu dengan bebas memilih selagi keduanya belum berpisah, atau penjual berkata kepada pembeli: pilihlah.”
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa khiar majelis gugur apabila: (1) salah seorang atau kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli telah menyatakan bahwa akadnya berlangsung dan tidak akan membatalkannya dan (2) penjual dan pembeli telah berpisah dari tempat pelaksanaan transaksi.
Khiar syarat adalah kesepakatan menetapkan khiar untuk meneliti barang yang dibeli sebagai persyaratan transaksi dengan tenggang waktu tertentu, maksimal 3 hari 3 malam terhitung mulai diberlakukannya transaksi. Apabila telah berlalu 3 hari, tidak boleh ada pembatalan atau pengembalian barang yang telah dibeli. Rasulullah SAW bersabda yang berarti: “Apabila kamu berjual beli, katakan: Tidak ada tipuan. Kemudian kamu khiar setiap benda yang kamu jual selama tiga hari” (HR. al-Baihaqi).
Khiar aib (cacat) adalah khiar yang diberikan kepada pembeli agar dapat mengembalikan barang atau membatalkan perjanjian jual beli apabila terdapat cacat pada barang yang dibeli. Cacat baru diketahui setelah transaksi selesai. Pengembalian barang tersebut harus segera dilakukan setelah diketahui cacatnya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW yang berarti: “Jangan kamu mengikat puting susu unta dan kambing. Sebab siapa yang membelinya sesudah itu, ia boleh memilih antara dua pertimbangan setelah memerahnya, yakni jika mau, ia menahannya, dan jika mau ia mengembalikannya berikut satu sha‘ kurma (sebagai ganti dari pengembalian air susunya).”
Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa apabila pembeli sebelum memanfaatkan benda yang dibeli mengetahui adanya cela pada benda yang dibelinya, ia boleh mengembalikannya kepada penjual.
DAFTAR PUSTAKA
al-Hisni, al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini. Kifayah al-Akhyar. Bandung: Syarikah al-Ma‘arif, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-Salam. Kuwait: Dar as-Salafiyah, 1985.
Ridlo Masduki