Kata al-khatam mempunyai bermacam-macam pengertian yang pada intinya mengandung pengertian yang berkaitan erat dengan keabsahan surat. Khatam dalam arti “cincin meterai” adalah salah satu atribut raja yang merupakan tanda kebesaran dan kemegahannya. Raja membubuhkan khatam itu pada surat kerajaan.
Khatam juga berarti “akhir”. Maksudnya, tulisan yang telah diberi khatam itu benar dan sah atau penulisan surat sudah selesai dan lengkap dengan diberi khatam. Khatam juga berarti wazir. Ini dapat dilihat dari ucapan Harun ar-Rasyid ketika hendak mengangkat Ja‘far bin Yahya menjadi wazir menggantikan al-Fadal:
“Wahai ayahku, aku bermaksud memindahkan khatam dari tangan kananku ke tangan kiriku.” Ia membuat kiasan wazir dengan khatam karena pekerjaan memberi khatam adalah salah satu tugas wazir.
Penggunaan khatam pernah dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW. Diceritakan bahwa ketika Nabi SAW hendak mengirim surat ajakan masuk Islam kepada para penguasa lain, kepada Nabi SAW dikatakan bahwa para raja non-Arab (ajam) hanya mau menerima surat yang diberi khatam. Maka Nabi SAW membuat khatam (cincin stempel) dari bahan perak yang berukirkan: Muhammad Rasul Allah.
Penggunaan khatam itu diteruskan oleh khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan. Ketika ada di tangan Usman, khatam itu jatuh ke dalam sumur. Segera Usman membuat khatam yang menyerupai khatam itu setelah Usman yakin bahwa khatam itu tidak ditemukan. Setiap orang yang memangku jabatan khalifah memiliki khatam. Pada khatam tidak diukirkan nama khalifah, akan tetapi diukirkan kata-kata hikmah atau slogan.
Pada khatam Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bin Abi Thalib, misalnya, masing-masing diukirkan kata-kata Ni‘mah al-Qadir Allah (Sang Maha Kuasa yang paling baik adalah Allah), Kafa bi al-Maut Wa‘izan Ya ‘Umar (Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu wahai Umar), Latasbiranna Au Latandamanna (Engkau bersabar atau menyesal), dan al-Mulk li Allah (Kekuasaan hanya bagi Allah).
Khalifah Bani Umayah dan Bani Abbas mengukirkan kata-kata khusus pada khatam. Pada umumnya ada kesamaan arti antara kata-kata khusus itu dengan nama khalifah. Pada Bani Abbas, Khalifah al-Ma’mun mengukirkan kata-kata Abdullah Yu’min bi Allah Mukhlisan (Abdullah beriman kepada Allah dengan ikhlas) pada khatamnya, Khalifah al-Wasiq mengukirkan Allah siqat al-Watsiqi (Allah adalah yang dipercayai dan diimani al-Wasiq), Khalifah al-Mutawakkil mengukirkan ‘Ala Allah Tawakkaltu (Kepada Allah aku serahkan diri), dan Khalifah al-Mu‘tamid mengukirkan I‘timadi ‘Ala Allah wa Huwa hasbi (Aku hanya bersandar kepada Allah dan Dialah pelindungku).
Khatam untuk membuat cap pada permulaan dan akhir tulisan mempergunakan tanah atau tinta. Mereka juga memberi khatam pada surat dengan lilin setelah surat itu diikat.
Khalifah pertama yang memperkenalkan khatam pada surat adalah Mu‘awiyah bin Abu Sufyan. Ia juga memperkenalkan pendirian diwan (dewan) yang bertugas mengurus surat lamaran kerja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain, membalut dengan lilin, dan kemudian memberikan cap di atasnya. Diwan ini disebut Diwan al-Khatim (Lembaga Khatam).
Tujuan didirikannya diwan ini adalah untuk menghindarkan pemalsuan, seperti kasus pemalsuan yang dilakukan Umar bin Zubair yang terjadi pada masa Mu‘awiyah. Mu‘awiyah mengirim surat kepada Ziyad bin Abihi, seorang pejabat Kufah. Dalam suratnya dikatakan agar Ziyad memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham.
Umar bin Zubair yang ditugaskan membawa surat yang tidak diberi khatam itu mengubah angka tersebut menjadi dua ratus ribu dirham sebelum ia menyerahkan surat itu kepada Ziyad. Kemudian Ziyad memberikan uang sebanyak dua ratus ribu dirham kepada Umar. Ketika Ziyad menghadap Mu‘awiyah dan memberikan laporan, Mu‘awiyah tidak mengakui jumlah dua ratus ribu itu. Akhirnya terungkaplah kasus pemalsuan itu.
Umar diperintahkan untuk mengembalikan uang seratus ribu dirham. Sejak itu Mu‘awiyah mendirikan Diwan al-Khatim. Ziyad bin Abihi, seperti dituturkan al-Baladari (sejarawan Arab terkemuka), adalah orang Arab pertama yang menerapkan Diwan al-Khatim di wilayah Irak mengikuti orang Persia (Iran).
Memberi khatam bisa dilakukan dengan cara mengecap lembaran kertas dengan adonan tanah atau menekankan khatam pada lilin, sehingga ukiran khatam itu tergambar. Memberi khatam juga bisa dilakukan dengan cara menuliskan kata-kata tahmid, tasbih, atau nama khalifah pada permulaan atau akhir surat. Pembubuhan kata-kata itu mengisyaratkan keabsahan surat itu. Tanpa kata-kata itu surat dianggap tidak sah.
Khatam juga bisa disebut alamat atau tanda. Ketika berkembang pengangkatan sultan, para sultan membuat alamat yang menyerupai alamat kekhalifahan pusat. Alamat itu disebut tugra’, yaitu ukiran yang ditulis dengan pena tebal dengan mencantumkan gelar penguasa.
Nama itu diambil dari nama seorang ahli kaligrafi yang memiliki tulisan bagus yang bernama al-Husain Abu Ismail at-Tugra’iyyu. Ia juga seorang penyair yang menjadi wazir Sultan Mas’ud bin Muhammad. Tugra’ berfungsi sebagai tanda tangan sultan pada surat dan edaran. Bani Seljuk memiliki Diwan at-Tugra’ (Lembaga Administrasi Sultan) untuk menggantikan nama Diwan al-Insya’ (Lembaga Pengelola Surat Sultan).
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-tsaqafi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1967.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj. Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Syalabi, Ahmad. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1977.
Zaidan, Jurji. Tarikh at-Tamaddun al-Islami. Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayati, t.t.
Abdullah