Khalwat

(Ar.: al-khalwat)

Khalwat berarti “menyendiri pada satu tempat tertentu, jauh dari keramaian dan orang banyak, selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui salat dan amaliah tertentu lainnya”.

Kalangan sufi, antara lain al-Ghazali, berpendapat bahwa berkhalwat itu meneladani Nabi Muhammad SAW yang pernah melakukan khalwat di Gua Hira sebelum menerima wahyu pertama dan di Jabal Saur sesudah menjadi rasul. Khalwat Nabi SAW di Gua Hira adalah tafakur tentang segala makhluk ciptaan Allah SWT.

Adapun khalwat Rasulullah SAW setelah menjadi rasul adalah memohon kepada Allah SWT agar wahyu kembali turun setelah terputus beberapa waktu karena Nabi SAW berjanji menjawab pertanyaan seorang musyrik mengenai hakikat roh tanpa mengatakan “Insya Allah”.

Disebutkan juga bahwa Imam al-Ghazali pernah melakukan khalwat tiga kali, masing-masing selama 40 hari. Dalam ‘Awarif al-Ma‘arif (Ahli Ilmu Pengetahuan) kaum sufi, ia menasihatkan untuk berkhalwat selama 40 hari setiap tahun dan menjalaninya dengan salat dan puasa.

Khalwat yang dinamai al-Arba‘iniyyah (sifat empat puluh) ini mempunyai tujuan etis (khuluqiyyah), yaitu penyucian jiwa dan penyingkiran tabir (hijab) jasmani. Khalwat ini bukan untuk mencapai mukasyafah atau untuk meminta keluarbiasaan dan keajaiban yang kadang-kadang muncul.

Seorang murid tarekat yang berkhalwat hendaklah melepaskan diri untuk sementara dari alam sekitar, seluruh harta, dan keluarganya serta tidak meninggalkan khalwatnya kecuali untuk salat jemaah atau salat Jumat.

Dalam keadaan seperti ini ia harus terus mengingat Allah SWT dan tidak memperhatikan apa yang didengar dan dilihatnya agar dirinya tidak terganggu. Selama itu ia harus tetap bersuci dengan wudu, tidak tidur kecuali apabila amat letih, dan tidak putus-putusnya berzikir.

Amaliah yang dilakukan seseorang selama berkhalwat dan tata caranya tergantung pada aliran tarekat dan ajarannya. Misalnya, Tarekat Naqsyabandiyah menetapkan tata cara melakukan khalwat sebagai berikut:

(1) iktikaf dalam masjid;

(2) senantiasa berwudu, setiap kali wudunya batal, si pelaku khalwat harus berwudu kembali dan kemudian salat tobat dua rakaat karena meninggalkan khalwat dipandang telah melakukan dosa;

(3) mengerjakan zikir; dalam Tarekat Naqsyabandiyah, zikir terbagi atas zikir darajat dan zikir hasanat; selain itu terdapat zikir ism dzat (nama Zat), latha’if (keutamaan), nafy itsbat (meniadakan wujud), wukuf, muraqabah ithlaq (pengawasan mutlak), muraqabah ahadiyyah af‘al (pengawasan perilaku perseorangan), muraqabah ma‘iyyah (pengawasan bersama), muraqabah aqrabiyyah (pengawasan yang lebih dekat), muraqabah ahadiyyah adz-dzat (pengawasan diri perseorangan), muraqabah dzat as-sarf wa al-bahts (pengawasan dan penjagaan diri), tahlil al-lisan (bahasa), dan maqam al-‘ubudiyyah (peribadatan);

(4) memisahkan diri dari orang banyak;

(5) salat berjemaah;

(6) mengurangi makan, minum, tidur, dan berkata-kata; yang terutama dikurangi adalah perkataan lidah dan hati; hati hanya berzikir kepada Allah SWT;

(7) memakai baju, kain sarung, dan tutup kepala putih karena warna putih melambangkan kesucian dan akan terlihat jelas apabila terkena najis; ini dilakukan agar di samping kesucian batin, juga diperoleh kesucian lahir;

(8) meninggalkan pekerjaan jual beli dan segala pekerjaan duniawi lainnya yang dapat membuat hati lalai dari mengingat Allah SWT;

(9) mengurangi makan daging karena daging dapat membuat sifat manusia menjadi buas;

(10) sedapat mungkin memakai kelambu agar selain mencegah nyamuk, lalat, dan lainnya yang mengganggu pikiran dalam berzikir, juga dapat mengingatkan orang yang berkhalwat seolah-olah ia berada dalam lubang kubur atau liang lahat;

(11) selalu menghadapkan muka dan dada ke arah kiblat; jasmaninya menghadap ke Baitullah, sedangkan hatinya menghadap Allah SWT; dan

(12) melatih rasa sabar dan qanaah.

Amaliah dan zikir tersebut dipandang oleh penganut tarekat sebagai wasilah atau sarana perantara. Adapun tujuannya adalah menetapkan secara berkesinambungan perhambaan lahir dan batin kepada Allah SWT serta menghadirkan hati secara terus-menerus untuk mengingat Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Solo: Ramadhani, 1984.
Jalaluddin. Pertahanan at-Tariqah an-Naqsyabandiyah. Bukittinggi: t.p., t.t.
Nadir, Alber Nasri. at-Tasawwuf al-Islami. Beirut: al-Maktabah al-Kasulikiyah, t.t.
al-Qusyairi. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
as-Suhrawardi, Syihabuddin Abu Hafs. ‘Awarif al-Ma‘arif. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1966.
M. Rusydi Khalid