Khalid bin Walid (lengkap: Khalid bin Walid bin Mugirah al-Mahzumi) adalah seorang sahabat Rasulullah SAW dan pemimpin pasukan perang kaum muslimin. Karena kecakapan dan keberaniannya dalam memimpin perang, ia dijuluki Pedang Allah (Saif Allah).
Dalam Perang Uhud, Khalid bin Walid masih memimpin pasukan musyrikin Mekah di bagian sayap kanan. Karena kearifannya dalam menetapkan saat yang tepat untuk menyerang, peperangan itu dimenangkan pihak musyrikin Mekah. Antara tahun 6 H/627 M dan 8 H/630 M, yaitu setelah Perjanjian Hudaibiyah dan sebelum penaklukan kota Mekah, Khalid bin Walid masuk Islam.
Peperangan pertama yang diikutinya setelah masuk Islam adalah peperangan melawan pasukan Bizantium di Mu’tah (Yordania) pada tahun 8 H/629 M. Dalam perang ini pasukan muslimin menderita kekalahan. Tetapi dengan taktik yang dijalankan Khalid bin Walid, sebagian besar pasukan muslimin dapat mundur teratur sampai ke Madinah.
Taktik yang dijalankannya adalah membubungkan debu sebanyak-banyaknya ke angkasa, sehingga pasukan musuh menyangka telah datang bala bantuan besar untuk pasukan muslim. Dalam keadaan demikian, pasukan musuh tidak berani memburu lagi dan pasukan muslimin dapat mundur teratur.
Dalam peristiwa Fath al-Makkah (penaklukan kota Mekah; Muharam 8), Khalid mendapat tugas dari Rasulullah SAW untuk menghancurkan Uzza dan Nakhla, berhala kaum Jahiliah dekat Ka’bah. Kemudian ia diutus lagi untuk menumpas pemberontakan Bani Jadimah, yaitu kaum musyrik Mekah yang tidak menerima kemenangan kaum muslim.
Pada tahun 9 H/630 M, Rasulullah SAW mengutusnya ke perkampungan Daumat al-Jandal (kini di perbatasan utara Arab Saudi) untuk menangkap al-Ukaydir, seorang kepala suku Nasrani. Pada tahun 10 H/631 M, ia diutus Rasulullah SAW ke Najran, Yaman, untuk mengajak Bani Haris masuk Islam; tugas ini dilaksanakannya tanpa pertumpahan darah.
Pada tahun 11 H/632 M, pada masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Khalid bin Walid ditugaskan untuk menumpas kaum murtad pimpinan Tulaihah bin Khuwailid, yang akhirnya dapat dikalahkannya di Buzaha, Hijaz. Kemudian ia ditugaskan menumpas Bani Tamim, yang enggan membayar zakat.
Satu kabilah Bani Tamim yang dipimpin Malik bin Nuwaira sudah ditaklukkannya, dan Malik sendiri sudah menanggalkan senjatanya, tetapi Khalid bin Walid tetap memenggal kepala Malik. Ketika perkara ini dihadapkan kepada Abu Bakar, khalifah itu memaafkannya dan mengatakan bahwa Khalid salah paham. Ia mengira harus membunuh para tawanannya, padahal khalifah tidak memerintahkan untuk membunuh.
Pada tahun 12 H/633 M, Khalid bin Walid mendapat tugas untuk menangkap Musailamah al-Kazzab, seorang nabi palsu, yang akhirnya dapat dibunuh dekat perbatasan Yamamah. Pada bulan Rabiulawal (Mei–Juni) tahun itu juga Khalid menaklukkan al-Hira (kini di Irak).
Beberapa bulan kemudian seluruh wilayah sekitar Sungai Eufrat dapat ditaklukannya; di sini ia juga dapat memukul mundur tentara Bizantium yang mencoba menyeberangi sungai itu. Pada bulan Muharam (Maret–April) tahun berikutnya, ia mendapat tugas dari Khalifah Umar bin Khattab untuk melakukan ekspedisi ke Syria (Suriah), menyerang pasukan Bizantium.
Pada bulan Jumadilawal dan Jumadilakhir 14 H/634 M, pasukan Bizantium dapat dihalau dari Ajnadain (Palestina) dan mundur ke Damascus. Pada bulan Rajab tahun itu juga ia melanjutkan penyerangan, sehingga Damascus dapat dikuasai.
Di tengah kesuksesan pasukan Islam di bawah pimpinan Khalid, tiba-tiba datang perintah dari Khalifah Umar bin Khattab, tanpa alasan jelas, untuk menurunkan jabatan Khalid dari panglima pasukan menjadi prajurit biasa; kedudukannya sebagai panglima digantikan oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.
Perintah ini ditaatinya, dan ia tetap mengikuti setiap pertempuran di bawah komando penggantinya tanpa kurang semangat. Dalam Perang Yarmuk (Rajab 15/Agustus 636), ia kembali memimpin pasukan berkuda, dan memperoleh kemenangan. Setelah perang itu, Hims (Homs) di Suriah dapat dikuasai pasukan muslim.
Menurut analisis para ahli sejarah, diturunkannya Khalid dari pucuk pimpinan adalah karena Umar bin Khattab khawatir para prajuritnya mengkultuskan Khalid. Ketika ia ditanya mengapa penggantian kepemimpinannya tidak menimbulkan kekecewaan dan menggoyahkan semangat perangnya, ia hanya menjawab bahwa ia berperang karena Allah SWT, bukan karena Umar.
Khalid bin Walid meninggal di Hims. Menurut sebagian sumber di Madinah, ia meninggal karena sakit. Menjelang akhir hidupnya, ia pernah menjadi gubernur Suriah. Anaknya, Abdul Rahman bin Khalid, menjadi gubernur Hims.
DAFTAR PUSTAKA
Crone, P. “Khalid b. al-Walid,” The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1978.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdullah. Sirah Sayyidina Muhammad Rasul Allah. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
Ibnu Sa‘d, Muhammad. ath-thabaqat al-Kubra. Beirut: Nasyr wa Dar as-Sadir, 1376 H.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Zad al-Ma‘ad fi Huda Khair al-‘Ibad. Cairo: Dar al-Babi al-Halabi, 1324 H/1906 M.
Nu’mani, Syibli. al‑Farouq, Life of Omar The Great, Second Caliph of Islam. Lahore: Muhammad Ashraf, 1976.
Zakaria, Maulana Muhammad. Kisah-Kisah Para Sahabat. Pulau Pinang: Dewan Pakistan, 1979.
Zettersteen, K.V. “Khalid b. al-Walid b. al-Mughirah al-Mahzumi,” The First Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1976.
Atjeng Achmad Kusaeri