Kondisi sosial yang memungkinkan semua golongan agama hidup bersama tanpa mengurangi hak asasi masing-masing untuk melakukan kewajiban agamanya disebut kerukunan hidup antarumat beragama. Konsep hidup beragama mencakup tiga kerukunan: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, serta kerukunan antara umat beragama dan pemerintah. Ketiga konsep ini disebut “tri kerukunan”.
Kerukunan intern umat beragama berarti “suasana tenteram dalam kehidupan beragama sesama penganut suatu agama”; tidak terjadi permusuhan karena perbedaan mazhab, tidak saling mengklaim diri yang benar, dan mengembangkan rasa ukhuwah islamiah.
Kerukunan antarumat beragama berarti “suasana tenteram dalam kehidupan beragama”, tidak saling mencurigai, saling menghormati agama masing-masing, dan tidak mengganggu umat beragama lain, tetapi bersamasama menciptakan suasana kehidupan yang damai di bawah naungan negara Republik Indonesia.
Kerukunan antarumat beragama dan pemerintah berarti “umat beragama yang diwakili oleh para pemuka agama masing-masing dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam membangun bangsa dan negara Indonesia sehingga tercipta stabilitas, kesatuan, dan persatuan bangsa”.
Latar Belakang. Konsep kerukunan hidup beragama muncul dengan latar belakang beberapa peristiwa yang menimbulkan konflik antarumat beragama. Mohammad Natsir (1908–1993, ulama intelektual dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengemukakan, “Umat Islam merasa kegiatan misi Kristen-Katolik di Indonesia tampak meningkat setelah meletusnya peristiwa G-30-S/PKI pada 30 September 1965.
Keluarga orang-orang komunis dan umat Islam yang miskin telah menjadi sasaran utama kegiatan misi Kristen-Katolik. Puluhan ribu orang Islam terpaksa pindah agama dan masuk Kristen-Katolik berkat bujukan dan dana dari misi tersebut. Kegiatan misionaris yang semakin meningkat tersebut dianggap melanggar kebebasan penganut agama berdasarkan Pancasila dan meresahkan iman orang Islam.”
Berbagai peristiwa konflik antarumat beragama muncul pada tahun 60-an, seperti peristiwa pendirian gereja oleh umat Kristen di perkampungan miskin di Meulaboh, Aceh Barat, pada pertengahan 1967. Pendirian gereja ini diprotes oleh umat Islam dan Majelis Ulama Meulaboh. Pendirian gereja ini dibatalkan gubernur Aceh, tetapi tidak diindahkan oleh umat Kristen.
Pembangunan gereja tetap berlangsung. Pada tahun yang sama, pendirian Rumah Sakit Immanuel di Bukittinggi diprotes oleh umat Islam serta ulama Sumatera Barat. Demikian pula pada 1 Oktober 1967, ketika seorang pendeta Kristen Protestan di Makassar mengatakan kepada murid-muridnya bahwa Nabi Muhammad SAW itu seorang pezina, sehingga terjadi demonstrasi.
Banyak kasus lainnya yang menyulut konflik antara umat Islam dan umat Kristen, seperti peristiwa Slipi (di Jakarta Barat), peristiwa Pulau Banyak (di Jakarta), peristiwa Manado, peristiwa Flores, peristiwa gedung Tarakanita (di Jakarta), dan peristiwa Donggo (di Kabupaten Bima).
Semua peristiwa ini terjadi pada 1960-an dan menimbulkan ketegangan antara umat Islam dan umat Kristen sehingga masalah ini berkembang menjadi isu nasional. Konflik muncul kembali pada awal 1999 di Ambon, Maluku. Penyebabnya bermula dari pertikaian individu yang ditambah isu yang bercorak provokasi sehingga konflik berkembang menjadi kerusuhan massa.
Konflik tersebut hingga saat ini belum ada titik temu yang mengarah ke perdamaian, meskipun kerusuhan agak meredam. Konflik serupa terjadi pada Agustus 2000 di Poso, Sulawesi Tengah. Setahun kemudian tepatnya April hingga Agustus 2001 konflik merebak kembali, bahkan kerusuhannya lebih besar daripada tahun sebelumnya.
Kasus yang meresahkan umat Islam pada 1960-an tersebut berlanjut ke Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dengan munculnya interupsi 31 anggota DPR-GR pada 10 Juli 1967 yang ditujukan kepada presiden Republik Indonesia, c.q. menteri utama kesejahteraan rakyat dan menteri agama.
Interupsi tersebut, yang diprakarsai oleh Lukman Harun (cendekiawan muslim Indonesia), memuat enam permasalahan yang dipertanyakan kepada pemerintah, yaitu tentang:
(1) bantuan dana luar negeri untuk agama tertentu;
(2) negara asal, prosedur, dan pemanfaatan bantuan tersebut;
(3) penertiban dan pengawasan pemerintah terhadap segala bantuan luar negeri untuk agama di Indonesia;
(4) banyaknya, negara asal, dan penertiban propagandis/penyiar agama di Indonesia serta pengawasan prosedurnya;
(5) jumlah rumah ibadah yang dibangun selama 5 tahun terakhir; dan
(6) perlunya mempelajari faktor sosial psikologis masyarakat dan daerah tempat pembangunan rumah ibadah.
Di samping interupsi yang dilakukan oleh anggota DPR-GR di atas, berbagai tanggapan dari kalangan agamawan terhadap kasus konflik antarumat beragama itu bermunculan. Mohammad Natsir mengatakan bahwa kejadian tersebut timbul karena masalah kaum muslimin yang disampaikan kepada pihak yang bersangkutan dan pemerintah tidak mendapat sambutan yang positif.
Prof. Dr. H Mohammad Rasjidi (cendekiawan muslim, mantan menteri Agama RI) mengatakan, “Saya merasa dengan terus terang bahwa keadaan sekarang adalah serius, hubungan antarumat Islam dengan umat Kristen tegang, bahkan sangat tegang.
Kita tidak dapat berpura-pura tidak merasakan hal ini; rasa tegang ini di mana-mana dapat kita raba. Dalam keadaan semacam ini saya mendengar bahwa ada suatu pihak yang menaruh minat dan perhatian serta berusaha agar keadaan seperti ini jangan meletus lebih besar lagi, cukuplah yang sudah terjadi di Makassar dan Aceh.”
Berdasarkan berbagai peristiwa yang mengacu pada semakin memuncaknya ketegangan antarumat beragama, pemerintah mengambil inisiatif agar diadakan musyawarah antaragama yang dilaksanakan pada 30 November 1967.
Dalam musyawarah tersebut (pejabat) Presiden Soeharto antara lain menyatakan, “Secara jujur dan dengan hati terbuka, kita harus berani mengakui, bahwa musyawarah antaragama ini justru diadakan oleh karena timbul berbagai gejala di beberapa daerah yang mengarah pada pertentanganpertentangan agama.”
Kemudian pada kesempatan itu Presiden Soeharto juga menyatakan, “Pemerintah tidak akan menghalang-halangi suatu penyebaran agama. Akan tetapi, hendaknya penyebaran agama tersebut ditujukan kepada mereka yang belum beragama yang masih terdapat di Indonesia.
Penyebaran agama tidak ditujukan semata-mata untuk memperbanyak pengikut, apalagi apabila cara penyebaran agama tersebut dapat menimbulkan kesan bagi pemeluk agama lain, seolah-olah ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk agama tersebut.”
Musyawarah antaragama ini dihadiri para pemuka agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Dalam musyawarah tersebut pemerintah mengusulkan dibentuknya Badan Konsultasi Antaragama dan ditandatangani bersama suatu piagam yang isinya antara lain: “menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.”
Musyawarah ini berhasil membentuk Badan Konsultasi Antaragama, tetapi tidak dapat menyepakati penandatanganan piagam yang telah diusulkan pemerintah tersebut. Pihak Kristen tidak bersedia menandatangani piagam tersebut sebab dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil.
Dr. A.M. Tambunan, SH, seorang tokoh Kristen, antara lain menyatakan, “Kami sebagai orang-orang Kristen terikat pada perintah Ilahi.” Di dalam Injil, antara lain disebutkan: “Dan kamu akan menjadi saksi bagiku, baik di Yerusalem, baik di seluruh tanah Yudea serta di Samaria, hingga ke ujung bumi” (Kisah Rasul-Rasul, 1:8). Ayat lain menyatakan: “Pergilah ke seluruh dunia dan maklumkanlah Injil kepada segala makhluk” (Markus, 16:15).
Sekalipun pihak Kristen tidak menyetujui prinsip “tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama”, sebagaimana yang dikehendaki pemerintah dan didukung umat Islam, pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah terus berusaha menumbuhkan saling pengertian atau kerukunan antarumat beragama dengan melakukan dialog antaragama yang disponsori Departemen Agama.
Setelah melalui proses panjang, maka melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 35/1980 tertanggal 30 Juni 1980 dibentuklah Forum Konsultasi dan Komunikasi Antarumat Beragama yang bernama “Wadah Musyawarah Umat Beragama”.
Keanggotaan wadah ini terdiri atas majelis agama yang ada di Indonesia, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI), Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI; kini Konferensi Waligereja Indonesia/KWI), Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP), dan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi).
Surat keputusan tersebut juga dilampiri dengan Pedoman Dasar tentang Wadah Musyawarah Antarumat Beragama yang memuat status, nama, bentuk, susunan, tata kerja, dan wewenang Wadah Musyawarah Antarumat Beragama. Wadah ini merupakan forum konsultasi dan komunikasi antara pemuka agama, dibentuk di tingkat pusat, bertujuan untuk meningkatkan pembinaan kerukunan hidup di antara sesama umat beragama.
Kebijakan Pemerintah. Dalam rangka mewujudkan kerukunan antarumat beragama dan menghindari terjadinya konflik antaragama, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan bermacam-macam peraturan, antara lain:
(1) Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/1969 tentang Cara-cara Mendirikan Rumah Ibadah dan Cara-cara Penyiaran Agama;
(2) Keputusan Menteri Agama Nomor 70/1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama;
(3) Keputusan Menteri Agama Nomor 77/1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga-lembaga Keagamaan di Indonesia;
(4) Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/1979 tentang Tata Cara Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga-lembaga Keagamaan di Indonesia; dan
(5) Keputusan Menteri Agama Nomor 49/1980 tentang Rekomendasi atas Permohonan Tenaga Asing yang Melakukan Kegiatan Bidang Agama di Indonesia.
Seluruh peraturan tersebut mengandung empat hal pokok, yakni tentang:
(1) Pendirian Rumah Ibadah. Untuk mendirikan rumah ibadah harus dipertimbangkan pendapat kepala perwakilan Departemen Agama setempat, planologi, dan keadaan setempat.
(2) Penyiaran Agama. (a) Tidak dibenarkan penyebaran agama ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan, dan obat-obatan serta pengobatan. (b) Tidak dibenarkan penyebaran agama melalui pamflet, majalah, buletin, buku-buku, dan media cetak/elektronik lainnya, kepada pemeluk agama lainnya. (c) Tidak dibenarkan menyebarkan agama dari rumah ke rumah umat yang telah memeluk agama lain.
(3) Bantuan Luar Negeri. Bantuan luar negeri bagi lembaga keagamaan di Indonesia harus mendapat persetujuan Panitia Koordinasi Kerja Sama Teknik Departemen Luar Negeri, setelah mendapat rekomendasi dari Departemen Agama.
(4) Tenaga Asing. Tenaga asing yang bertugas dalam bidang keagamaan di Indonesia harus mendapat rekomendasi dari menteri Agama. Masing-masing umat beragama mengupayakan indonesianisasi dan memperkecil jumlah tenaga asing.