Katib

(Ar.: al-katib)

Al-katib berarti “orang yang menulis”, “juru tulis”, atau “sekretaris”, yakni pelaku kataba, yaktubu, katban, kitaban, kitabatan, yang berarti “menulis” atau “yang berkaitan dengan tulis-menulis”. Tulis-menulis adalah cara ekspresi rasa (keinginan) seseorang kepada orang lain atau cara komunikasi dengan bahasa tulis. Istilah ini tidak membuat batasan antara menulis sebagai pengarang, penerjemah, dan tugas kesekretariatan.

Pada mulanya, kata al-katib (jamak: kuttab) menunjukkan orang yang berpengalaman dalam seni tulis-menulis. Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian berarti “orang yang berkecimpung dalam pekerjaan surat-menyurat”, yang dalam istilah sekarang dinamai juru tulis atau sekretaris. Agaknya kata “katib” sebagai juru tulis atau sekretaris ini jarang didapati pada masyarakat Arab sebelum Islam.

Dengan adanya perkembangan komunikasi antarsuku, di Arab timbul kebutuhan akan juru tulis, sekretaris atau katib. Pada saat yang sama jumlah katib masih amat terbatas, sehingga katib mendapat penghargaan begitu tinggi dalam kehidupan kesukuan bangsa Arab ini.

Pada masa sebelum Islam, para katib memperoleh pengetahuan tulis-menulis dalam lembaga pengajaran yang dilaksanakan di biara, kuil, atau di perkampungan Aramaea, Suriah utara. Kemudian ilmu yang disebut ilmu kitabah ini semakin berkembang ketika Islam mulai menjadi ajaran yang diterima masyarakat.

Secara resmi, katib digunakan pertama kali oleh Nabi Muhammad SAW dalam menegakkan dan membangun pemerintahan Islam di Madinah. Nabi SAW mengirimkan pesan tertulis kepada raja Bizantium, raja Persia, raja Abessinia, gubernur Mesir, dan masih banyak lagi pemimpin Arab terkemuka pada masa itu.

Pesan tertulis ini bertujuan untuk mengajak mereka agar mau memeluk kepercayaan dan agama baru (Islam) dan memberitahukan kepada mereka bahwa Muhammad bin Abdullah kini telah diangkat Allah SWT menjadi rasul­Nya. Pesan tertulis ini tentu saja dikerjakan oleh orang yang berpengalaman dalam bidang kesekretariatan dan tulis-menulis, termasuk di dalamnya para penulis pesan kewahyuan yang diberitakan secara lisan oleh Nabi Muhammad SAW.

Setelah Rasulullah SAW wafat, para juru tulis awal Islam ini mengambil tugas menulis dan mencatat seluruh wahyu yang turun sebagai pedoman kaum muslimin. Wahyu yang dimaksudkan ini adalah Al-Qur’an yang merupakan kumpulan kalam Allah SWT. Mereka juga menulis segala hal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun persetujuan dan penolakan beliau (yang kini disebut sunah atau hadis Nabi SAW) secara terperinci.

Baik wahyu Allah SWT maupun hadis Nabi SAW itu antara lain dicatat secara cermat di kertas, tulang-belulang, kulit kayu, kulit binatang, dan batu. Kemudian wahyu Allah SWT dikumpulkan tersendiri menjadi Al-Qur’an, yang dilakukan pertama kali atas inisiatif Umar bin Khattab pada masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq dan disempurnakan pada masa Khalifah Usman bin Affan.

Sementara itu sunah Nabi SAW dikumpulkan pula oleh para rawi atau periwayat hadis setelah diadakan penelitian secara cermat dan penuh ketelitian, dikodifikasikan menurut tingkatan kesahihan ataupun kedaifannya, dan sebagainya, baik dari sisi rawi maupun dari sisi matannya (isi materinya).

Setelah periode sahabat berkembang pula penulisan segala keputusan hukum para sahabat yang dikenal dengan sunah sahabat, yang ditulis sedemikian cermat oleh para katib pada masanya.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, sunah Nabi SAW yang dicermati itu adalah yang berkenaan dengan masalah keagamaan murni, ketatanegaraan, dan urusan politik yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW. Demikian pula pada masa sahabat yang empat (al-Khulafa’ ar-Rasyidun).

Para katib yang melakukan seluruh tugas tersebut di atas adalah para juru tulis atau sekretaris profesional, setidak-tidaknya dalam tingkatan yang amat luas, yakni dalam bidang keagamaan sekaligus urusan kenegaraan.

Pada masa Bani Umayah, perkembangan ketatanegaraan dan urusan politik semakin berkembang. Hal ini menandai semakin pentingnya peranan para sekretaris (katib). Kontak dengan luar negeri, di samping konsolidasi ke dalam, sangat penting untuk mengembangkan kebijakan pemerintah pada saat itu.

Hal ini dilanjutkan pula pada masa Abbasiyah dengan intisari birokrasi yang berkembang mengikuti pola manajemen Persia. Pada masa Abbasiyah ini berlaku sistem birokrasi yang dikenal dengan istilah diwan. Diwan mempunyai manajemen yang sangat ketat, dikepalai oleh seorang katib senior dengan administrasi yang disusun secara hierarkis dari berbagai kuttab.

Berkembangnya kompleksitas roda pemerintahan yang begitu cepat dan semakin rumit juga memperluas jarak dan ragam pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Keseluruhan pelayanan umat mengacu kepada sang pemimpin dan secara bersamaan ini mengangkat prestise para katib sebagai kelompok elite terpelajar. Pengaruh ini masih tetap berbekas sampai pada kehidupan intelektual kontemporer.

Dua orang orientalis terkemuka, H.A.R. Gibb & J.A. Kramers, lebih lanjut menjelaskan bahwa banyak penulis besar, seperti sejarawan, filsuf, dan bahkan ahli syair, dengan berbagai macam tingkatan keahlian masing-masing berasal dari kalangan birokrat yang terlatih. Mereka ini dalam hal tertentu bisa diperbandingkan dengan cendekiawan humanis yang bekerja pada manajemen urusan masyarakat di pengadilan masa Renaisans di Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Garbal, Muhammad Syafiq. al-Mausu’ah al-‘Arabiyyah al-Muyassarah. Cairo: Dar asy-Sya’b, 1972.
Lewis, Bernard. The Political Language of Islam. Chicago: Chicago University Press, 1988.
Stephan & Nandy Ronard. Concise Encyclopaedia of Arabic Civilization. Amsterdam: Djambatan, 1966.
Wajdi, Muhammad Farid. Da’irah al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1971.

Ahmad Qorib