Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo adalah pemimpin Darul Islam, pendiri Tentara Islam Indonesia (TII), dan proklamator Negara Islam Indonesia (NII). Sebagai seorang organisator ulung, ia mampu menghimpun banyak pengikut dari kalangan rakyat pedesaan. Kartosoewirjo berpengalaman dalam politik nasional dan berperan penting dalam gerakan Islam pada masa perjuangan kemerdekaan.
Pada usia 6 tahun, Kartosoewirjo masuk Sekolah Bumiputera Kelas Dua. Setelah tamat ia melanjutkan pada Sekolah Dasar Kelas Satu, yang memakai bahasa Belanda. Setelah ayahnya pindah ke Bojonegoro, ia berhasil masuk Sekolah Dasar Eropa (ELS). Kedua sekolah itu, bagi anak pribumi, adalah sekolah elite. Ia dapat diterima di sekolah itu karena dianggap sebagai anak yang berbakat.
Setelah tamat dari ELS itu, ia melanjutkan studi ke Surabaya dan masuk Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Dokter Hindia Belanda. Sekolah ini terdiri dari dua tingkat: tingkat persiapan 3 tahun dan tingkat lanjutan 6 tahun. Ia masuk tingkat persiapan pada tahun 1923 dalam usia 18 tahun.
Setelah tamat dari tingkat persiapan ini, ia dapat diterima pada tingkat lanjutan. Akan tetapi, karena alasan politik, ia dikeluarkan dari sekolah itu. Pada masa sekolah, ia terdaftar sebagai anggota Jong Java dan bahkan terpilih menjadi ketua cabang Surabaya.
Ia kemudian keluar dari organisasi ini dan masuk Jong Islamieten Bond (JIB). Ketika menjadi salah seorang pemimpin itulah ia dikeluarkan dari sekolah dengan tuduhan mempunyai kecenderungan komunis.
Sesudah itu, ia sempat pulang kampung dan mengajar. Kemudian ia kembali ke Surabaya dan mondok di rumah HOS Tjokroaminoto yang kemudian menjadi mentor politiknya. Pada waktu itu ia resmi menjadi anggota Sarekat Islam yang ketika itu sudah berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Selama tinggal di rumah Tjokroaminoto ia bagaikan sekretaris pribadi politikus terkemuka ini sampai tahun 1929.
Karena pendidikan formal Kartosoewirjo bersifat sekuler dan ia tidak mendapat pendidikan formal dalam bidang agama, maka pengetahuan agamanya banyak didapat melalui bacaan dalam bahasa Belanda. Sebagian besar pengetahuan tentang Islam hanya bergantung pada perkenalan pribadinya dengan para ulama yang secara kebetulan berjumpa dengannya. Sebagian lagi diperolehnya dari Tjokroaminoto dan para pemimpin SI lainnya.
Karena alasan kesehatan, pada 1929 ia pindah ke Malangbong, sebuah kota kecil dekat Garut dan Tasikmalaya. Selama tinggal di sana, ia mempelajari Islam dari sejumlah kiai setempat. Kartosoewirjo menjadi seorang “sufi yang mengabdikan diri”.
Meskipun ia berada di Malangbong, ia terpilih juga menjadi sekretaris PSII pada tahun 1931, dan pada tahun 1936 ia bahkan terpilih menjadi wakil ketua PSII karena mendapat dukungan dari anggota atas politik “hijrah”-nya. Segera setelah itu, ia mengeluarkan brosur yang menjelaskan konsep politik hijrahnya itu.
Pada tahun 1939, PSII memutar haluan politiknya, dan Kartosoewirjo bersama para pendukungnya dikeluarkan dari partai. Akibatnya, ia mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran PSII (KPK-PSII) yang kemudian diubahnya menjadi PSII tandingan pada tanggal 24 April 1940. Organisasi ini hanya berhasil di Jawa Barat.
Pada kongres pertamanya, hanya enam cabang yang hadir: Cirebon, Cibadak, Sukabumi, Pasanggarahan, Wanaraja, dan Malangbong. Cabang inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pengikut DI/TII-nya.
Pada waktu yang sama, Kartosoewirjo mendirikan semacam pesantren di Malangbong yang bernama Institut Suffah. Institut ini dimaksudkan sebagai tempat latihan kepemimpinan dalam bidang politik keagamaan. Pada masa pendudukan Jepang, institut ini berubah dan akhirnya menjadi suatu pusat latihan untuk pasukan gerilya Hizbullah dan Sabilillah.
Setelah kemerdekaan, ketika Masyumi mengubah dirinya menjadi partai politik pada tanggal 7 November 1945, ia duduk sebagai anggota pengurus besar. Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada 27 Juli 1947, ia menyerukan jihad menentang Belanda.
Setelah Perjanjian Renville pada bulan Januari 1948, Kartosoewirjo membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Salah satu ketentuan Renville itu adalah bahwa pasukan Republik harus ditarik dari daerah yang resmi dikuasai Belanda, termasuk hampir seluruh Jawa Barat, tempat Kartosoewirjo banyak mendapat pengikut.
Hizbullah dan Sabilillah pimpinan Kartosoewirjo menolak mengundurkan diri. Hizbullah dan Sabilillah inilah yang dijadikannya sebagai Tentara Islam Indonesia tersebut.
Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948, Kartosoewirjo kembali menyerukan perang jihad. Akan tetapi, RI tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville karena Belanda sudah membatalkan secara sepihak. Oleh karena itu, Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat. Akibatnya, terjadilah perang segitiga: Belanda, RI, dan TII. Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII).
Proklamasi ini dilakukan di desa Cisampak, Cisayong. Sejak itulah hubungan TII dan RI berpatah arang, tidak mungkin lagi dapat diperbaiki. Gerakan Daud Beureueh di Aceh dan gerakan Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan ikut menggabungkan diri dan menjadi bagian dari NII itu.
Pada waktu Mohammad Natsir menjadi perdana menteri, ia beberapa kali mengupayakan agar Kartosoewirjo dan DI/ TII-nya kembali ke pangkuan RI. Sejak 1960, pengikut Kartosoewirjo mulai berkurang.
Dalam konflik bersenjata dengan tentara RI, pasukan TII mulai terdesak serius. Pada 4 Juni 1962, ia tertangkap di sebuah gubuk di Gunung Geber, Kecamatan Pacet, antara Bogor dan Cianjur. Pada 16 Agustus 1962 ia dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati itu dilaksanakan pada bulan September 1962.
DAFTAR PUSTAKA
Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafitipers, 1985.
van Dijk, C. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Press, 1987.
Milner, A.C. “Islam dan Negara Muslim”, Perspektif Islam di Asia Tenggara. ed.
Azyumardi Azra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942), terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
___________. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Badri Yatim