Karamah dalam bahasa Arab berarti “anugerah, kemuliaan, kemurahan hati, perlindungan, atau pertolongan Allah SWT kepada hamba-Nya”. Dalam tasawuf, Karamah berarti “keadaan luar biasa di luar pengalaman biasa yang diberikan Allah SWT kepada wali-Nya”. Karamah sering disamakan dengan “keramat”, yakni bakat luar biasa orang pilihan karena Allah SWT menyertai, melindungi, dan menolongnya.
Orang sufi yakin bahwa para wali mempunyai keistimewaan, seperti kemampuan melihat kegaiban dan kemampuan melakukan sesuatu yang tidak dapat diperbuat oleh manusia biasa. Keramat atau Karamah sering terjadi di kalangan sufi, namun dapat juga lahir dari seorang hamba Allah SWT yang biasa, saleh, beriktikad bersih, dan tekun mengerjakan segala amal ibadah.
Perkataan “keramat” dalam pengertian ini sudah umum diketahui dan dipakai di Indonesia terutama untuk orang yang sudah wafat. Hal ini terjadi karena pada masa hidupnya mereka sudah menunjukkan beberapa keajaiban.
Setelah kematiannya pun, banyak terkabul niat yang disampaikan dengan menggunakan namanya. Maka terdapat banyak kuburan orang keramat, baik wali maupun orang biasa yang pada waktu hidupnya berbudi mulia dan luhur, yang dikunjungi orang pada waktu-waktu tertentu.
Dalam Al-Qur’an surah Yunus (10) ayat 62 dikatakan bahwa wali Allah SWT tidak pernah merasa khawatir dan bersedih hati karena mereka pasrah total kepada Allah SWT. Allah SWT adalah pelindung, penolong, dan teman terdekat mereka sehingga hubungan dengan Allah SWT tidak pernah terkendala oleh ruang dan waktu.
Allah SWT adalah pelindung para hamba-Nya. Mereka adalah orang yang suci, berjiwa bersih, dekat pada Allah SWT, dan rela menerima apa saja yang datang dari-Nya, seakan-akan semuanya membawa kemuliaan yang ajaib dan kejadian luar biasa. Karena hubungannya yang dekat pada Allah SWT, terbukalah selubung yang menutupi alam supernatural, alam gaib. Mereka dikaruniai kelebihan yang luar biasa.
Contoh kejadian luar biasa antara lain tampak dalam cerita yang dilukiskan surah an-Naml (27) ayat 39–40, bahwa seorang yang mempunyai ilmu dari Alkitab dapat membawa singgasana Ratu Bilqis dari negeri Saba kehadapan Nabi Sulaiman AS.
Juga dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 37 diceritakan bahwa setiap kali Nabi Zakaria AS masuk untuk bertemu dengan Maryam, ibu Nabi Isa AS, maka didapatinya makanan di sisi mihrab atas kehendak dari Allah SWT. Kejadian ini merupakan anugerah luar biasa Allah SWT di luar pengalaman lahiriah manusia, karena dekatnya hamba pada Khaliknya.
Pendapat ulama berbeda-beda mengenai masalah Karamah. Abu al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani, pengarang buku Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islami (Pengantar Tasawuf Islam; Cairo: Dar as-Saqafah, 1983), mengatakan bahwa uraian yang begitu luas tentang kekeramatan dalam kehidupan wali merupakan hal yang dilebih-lebihkan dan menyimpang dari fakta biasa dalam pengalaman keagamaan yang ajaib dan luar biasa.
Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina (Avicenna) mengatakan bahwa kekeramatan harus diakui bersandarkan hipotesis bentuk misteri yang masih terpendam dan belum terbongkar di alam jagat raya.
Namun, Mazhab Muktazilah (aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada Al-Qur’an dan akal) menolaknya karena alam semesta tidak menyimpan misteri yang tidak terpikirkan secara rasional. Karenanya, keseluruhan kejadian alam semesta masih dapat diselesaikan dengan kaidah rasional karena Al-Qur’an memang mengatakan demikian.
Orang keramat seperti para wali tidak maksum (bebas dari dosa dan kesalahan), tidak terpelihara dari segala pekerjaan jahat, tetapi mahfuz, yang berarti terpelihara dari segala perbuatan maksiat. Mahfuz pada asalnya berarti “tidak mengerjakan yang maksiat, tetapi jika mengerjakannya juga, maka para wali menyesal dan bertobat sesempurna mungkin”.
Kekeramatan pada para wali menurut kaum sufi bukan pekerjaan mustahil bagi Allah SWT, karena termasuk yang mungkin terjadi seperti juga mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kejadian ini tidak pernah disangkal oleh empat aliran mazhab ahlusunah (ahli sunah), terutama tanda keramat sesudah mati.
Kisah mengenai kekeramatan para wali biasanya dapat didengar dari penunggu kuburan, keluarga, dan murid mereka, atau dibaca dalam sejarah hidupnya yang biasa disebut manakib (kisah kekeramatan para wali), umpamanya manakib Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M), pendiri Tarekat Kadiriyah, dan masih banyak lagi manakib para wali dalam cerita kekeramatan.
Menurut kaum sufi, “kekeramatan” berbeda dari “sihir”. Sihir acap kali terjadi di kalangan orang fasik (tidak mengindahkan perintah Tuhan), zindik (tersesat imannya), dan kafir. Adapun kekeramatan terjadi pada orang yang percaya kepada Allah SWT dan sungguh-sungguh mengerjakan segala syariatNya.
Terdapat perbedaan keramat dengan mukjizat. Keramat terjadi pada wali Allah SWT biasa, sedangkan mukjizat terjadi bagi nabi dan rasul Allah SWT demi kelancaran dakwah dan syiar Islam dalam menanamkan kepercayaan kepada umat yang dihadapi.
Nabi melahirkan mukjizatnya untuk meyakinkan kenabiannya kepada umat, sedangkan para wali hanya menyampaikan seruan Nabi Muhammad SAW kepada manusia di sekitarnya dengan keterangan yang sudah diberikan oleh Allah SWT dalam firman-Nya dan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sunahnya.
Kebanyakan wali merahasiakan keistimewaannya yang luar biasa karena ketaatan kepada Allah SWT serta kesungguhan mereka dalam menjauhkan diri dari segala maksiat dan hawa nafsu.
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik). Solo: Ramadhani, 1988.
Ali, Syed Ameer. The Spirit of Islam, atau Api Islam, terj. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Ansari, Muhammad Abdul Haq. Sufism and Syari’ah. Wilstshrine: Islamic Foundation, 1986.
Gibb, Hamilton A.R. and J.A. Kramers. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1961.
Nicholson, Reynold A. The Mistics of Islam. London: Routledge and Kegan Paul, 1975.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islami. Cairo: Dar as-Saqafah li at-Tauzi’ wa an-Nasyr, 1983.
Zuhri, Mustafa. Kunci Memahami Tasawwuf. Bandung: Mizan, 1988.
Ahmad Qorib