Kapitalisme

Secara etimologis, kapitalisme berasal dari bahasa Latin caput (kata benda) atau capitalis (kata sifat) yang berarti “kepala” atau “yang berkaitan dengan kepala”. Dalam kaitan dengan kata ini, kapitalisme berarti usaha untuk mempertahankan kepala, kehidupan, dan kesejahteraan. Secara terminologis, kapitalisme dipakai untuk menamai sistem ekonomi yang mendominasi dunia Barat sejak runtuhnya feodalisme.

Sebagai sebuah sistem, kapitalisme terkait dengan hubungan antara para pemilik pribadi atas alat produksi seperti tanah dan instalasi industri, yang secara keseluruhan disebut modal atau capital dan para pekerja yang tidak mempunyai modal.

Max Weber (1864–1920; peletak dasar sosiologi modern) dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism mendefinisikan kapitalisme sebagai hadirnya industry bagi kebutuhan kelompok manusia yang dilaksanakan dengan metode perusahaan yang dikelola secara rasional, seperti adanya neraca modal. Weber menggunakan semangat kapitalisme untuk menggambarkan sikap mental yang selalu berusaha mencari keuntungan secara rasional dan sistematis.

Kapitalisme sebagai sistem baru telah berkembang sejak zaman kuno. Kantong kapitalis penting saat itu adalah Flanders (abad ke-13) dan Florence (abad ke-14). Sejarah keduanya dapat menjelaskan kondisi hakiki bagi perkembangan kapitalisme di Inggris.

Pada akhir Abad Pertengahan (masa dalam sejarah Eropa antara keruntuhan Romawi Barat [476] sampai penemuan Amerika [1492]) dan pada masa awal Eropa modern terjadi usaha besar-besaran berupa industri wol dengan mekanisme bisnis yang kemudian menjadi ciri kapitalisme. Tetapi industri ini tidak bertahan lama dan hancur karena terjadi konflik antara pekerja dan pemilik pabrik serta bankir.

Karena kegagalan industri tersebut, baru abad ke-15 dianggap sebagai masa munculnya kapitalisme awal yang ditandai dengan perkembangan industri sandang di Inggris, khususnya industri wol.

Pada saat itu, Inggris dengan inovasi pemintalan mesin sederhana memantapkan diri di daerah pedesaan, sehingga terhindar dari perbenturan sosial konflik pekerja dengan pemilik pabrik, seperti yang melanda industri perkotaan di Flanders dan Florence. Industri wol ini terus berkembang pesat selama abad ke-16 sampai abad ke-18.

Industri wol inilah yang memelopori kapitalisme sebagai sistem sosial dan ekonomi serta untuk pertama kalinya membuatnya berakar di Inggris.

Reformasi Protestan yang terjadi pada abad ke-16 dan ke-17 juga disertai dengan perubahan di bidang ekonomi yang mengakibatkan berkembangnya kapitalisme di Eropa Utara. Adanya jalinan dan kesamaan antara agama baru ini dan perkembangan di bidang ekonomi memunculkan kesan bahwa Protestantisme memiliki makna kausalitas bagi timbulnya kapitalisme modern.

Max Weber beranggapan bahwa ada kaitan antara bangkitnya kapitalisme dan Protestantisme. Kapitalisme merupakan bentuk sekuler dari pemahaman Protestantisme atas individualisme dan keharusan mengusahakan keselamatannya sendiri.

Pada abad ke-18, tepatnya di Inggris, fokus pembangunan kapitalisme mulai berubah dari perdagangan ke industri. Revolusi industri dapat didefinisikan sebagai periode peralihan dominasi modal perdagangan atas modal industri ke dominasi modal industri atas modal perdagangan.

Persiapan pergeseran ini berlangsung lama sebelum ditemukan mesin, seperti mesin uap; namun perkembangan teknologi yang terjadi pada abad ke-18 membuat peralihan itu tampak dramatis. Abad ini juga dikenal dengan masa kapitalisme klasik. Karya besar Adam Smith (1723–1790; ahli ekonomi dan filsafat bangsa Skot), Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations mencerminkan ideologi kapitalisme klasik.

Ia menganjurkan permainan pasar bebas yang memiliki aturannya sendiri. Ia yakin, dengan adanya persaingan, harga produk yang dihasilkan dengan “tangan bayangan” (invisible hand) tanpa campur tangan negara akan naik ke tingkat harga alamiah.

Pada abad ke-19, setelah Revolusi Perancis meletus, kebijaksanaan Smith mulai dijalankan. Kebijaksanaan kapitalisme laissez-faire dengan prinsip kepemilikan individu dan keyakinan bahwa interaksi yang tidak diatur (bebas) akan menghasilkan dampak sosial sesuai dengan yang diinginkan oleh liberalisme politis yang mencakup perdagangan bebas, keuangan yang kuat, dan anggaran belanja berimbang.

Perkembangan kapitalisme abad ke-19 mulai mengalami krisis, terutama sesudah Perang Dunia I. Kecenderungan pasar internasional mulai surut, standar emas ditinggalkan, dan alat pembayaran nasional yang terkendali lebih disukai daripada yang bersifat bebas. Rakyat Asia dan Afrika berhasil bangkit melawan kolonialisme Eropa.

Revolusi Rusia (1917), sebagai akibat perang, tidak hanya berhasil membongkar lembaga pokok kapitalisme berupa pemilikan pribadi atas sarana produksi di wilayah yang luas, melainkan juga membongkar struktur kelas, bentuk pemerintahan tradisional, dan agama yang mapan. Maka, laissez-faire, kebijakan yang menjadi kesepakatan abad ke-19, telah dipermalukan oleh perang dan pengalaman sesudah perang.

Pada 1920, negara kapitalis berusaha untuk kembali ke keadaan normal pra-perang, namun usahanya gagal. Salah satunya, Inggris, sama sekali gagal secara mencolok untuk mencapai kemakmuran pada saat itu. Pada 1930, mereka dihadapkan pada depresi luar biasa yang mengguncang sistem kapitalis hingga ke akarnya.

Satu dari empat orang yang mampu bekerja terpaksa menganggur, para petani tidak dapat menjual hasil taninya dengan harga yang wajar, banyak usaha bisnis yang tidak mampu menggaji buruhnya, dan para pemegang saham tidak mampu menarik keuntungan dari usahanya.

Laissez-faire menerima pukulan telak dan ambruk. Di Inggris dan Amerika Serikat, perdagangan pasar bebas ditinggalkan. Italia di bawah fasisme Mussolini (1883–1945) dan Jerman di bawah Hitler (1889–1945) hampir sama sekali meninggalkan filsafat pasar bebas.

Ketika perang dunia kedua pecah pada 1939, masa depan kapitalisme semakin suram. Pada akhir perang, Partai Buruh Inggris menang mutlak dalam pemilu dan mulai menasionalisasi industri dasar. Tapi di luar dugaan, ternyata perusahaan kapitalis mampu menggeliat dan bertahan dengan cara keluar dari kelemahannya dan mampu hadir hingga dewasa ini. Bahkan kapitalisme dianggap sebagai satu-satunya sistem terpenting di dunia setelah runtuhnya sistem komunisme.

Sebagai sebuah sistem yang terus mengalami perkembangan dalam upaya eksistensi dirinya, kapitalisme mempunyai ciri-ciri yang berbeda pada setiap zamannya. Secara umum ciri-ciri tersebut dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu kapitalisme klasik dan kapitalisme modern.

Nicholas Abercrombrie (dosen sosiologi University of Lancaster) mengemukakan ciri-ciri kapitalisme dalam bentuknya yang murni sebagai berikut:

(1) pemilikan dan kontrol atas instrumen produksi, khususnya kapital, oleh swasta;

(2) kegiatan ekonomi diarahkan bagi pembentukan laba (profit);

(3) tersedianya sistem pasar yang mengatur semua kegiatan;

(4) perolehan laba oleh pemilik modal; dan

(5) penyediaan tenaga kerja oleh buruh yang bertindak sebagai agen bebas.

Adapun modal produksi kapitalisme modern, menurut Meghnad Desai (guru besar London School of Economics), bercirikan sebagai berikut:

(1) produk untuk dijual, bukan untuk dikonsumsi sendiri;

(2) pasar, tempat tenaga kerja dibeli dan dijual dengan alat tukar upah melalui hubungan kontrak;

(3) uang yang digunakan dalam tukar-menukar yang selanjutnya memberi peran sistematis kepada bank dan lembaga keuangan non-bank;

(4) proses produksi atau proses kerja dalam kontrol para pemilik modal dan agen manajerial;

(5) pengambilan keputusan di tangan pemilik modal; dan

(6) persaingan bebas di antara pemilik kapital.

Melihat beberapa ciri kapitalisme, baik pada kapitalisme klasik maupun modern, terdapat satu hal yang menjadi ciri substansialnya, yaitu kepemilikan perseorangan (individual ownership) dan upaya penarikan keuntungan (profit).

Dalam konteks ini terbuka kemungkinan adanya ketimpangan (ketidakadilan) berupa konsentrasi kekayaan di satu sisi dan kemiskinan di sisi lainnya. Di dalam Al-Qur’an, kata “keadilan” disebutkan dalam dua kata, yaitu ‘adl dan qisth. ‘Adl tidak hanya bermakna keadilan, tetapi juga bermakna menyamakan dan meratakan, bisa pula dimaknai sebagai lawan dari zulm (perbuatan salah).

Qisth berarti distribusi yang sama, keadilan, kewajaran, dan pemerataan. Islam tidak menghendaki adanya konsentrasi kekayaan pada segelintir orang saja. “Kekayaan tidak boleh hanya beredar di kalangan kaum orang-orang kaya” (QS.59:7). Segala bentuk eksploitasi yang terkandung dalam riba yang sering dianggap sebagai profit dalam kapitalisme merupakan bagian yang hendak dibetulkan oleh Islam (QS.2:278–279).

“Hai orang-orang yang beriman, bertawakalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”, dan “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya da tidak (pula) dianiaya.”

Keberhasilan eksistensi kapitalisme sampai kini tidak terlepas dari kemampuan menyesuaikan dirinya dengan perkembangan zaman. Begitu pun relasi kapitalisme dengan Islam. Kemampuan menghilangkan segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi dengan mengedepankan keadilan dan pemerataan bisa mengubah bentuk relasi Islam dengan kapitalisme.

DAFTAR PUSTAKA

Daniel Bell. The Cultural Contradictions of Capitalism. New York: Basic Books, Inc. Publishers, 1976.
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: UI-Press, 1986.
Kristol, Irving. Two Cheers for Capitalism. New York: Basic Books, Inc. Publishers, 1978.
Rahardjo, M. Dawam, ed. Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Jakarta: LP3ES, 1987.
Sill, David L, ed. International Encyclopedia of the Social Science. New York: The Mac Milan Company & The Free Press, 1972.
Suseno, Frans Magnis. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Supriyadi, Eko. Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
A. Bakir Ihsan