Secara etimologis, al-qalb berarti “memindahkan atau membalikkan sesuatu dari permukaannya”. Secara terminologis, al-qalb berarti “organ kemerah-merahan di kiri atas rongga perut”. Al-qalb dan al-qulub banyak disebut dalam Al-Qur’an dengan arti: “hati”, “roh”, atau “arwah” pada surah al-Ahzab (33) ayat 10; “pengetahuan” dan “pengertian” pada surah Qaf (50) ayat 37); dan “jiwa” pada surah al-A‘raf (7) ayat 205.
Dalam Islam, fungsi dan kedudukan kalbu sangat penting bagi manusia. Kalbu menentukan kualitas manusia secara keseluruhan, apakah ia baik atau sebaliknya. Hal ini disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa pada diri manusia terdapat segumpal daging yang apabila baik, baiklah manusia itu, dan apabila jahat, rusaklah manusia itu (HR. Bukhari dan Muslim dari Nu‘man bin Basyir).
Pada hadis lain yang diriwayatkan Bukhari dari Aisyah binti Abu Bakar disebutkan bahwa makrifat adalah perbuatan kalbu, dan manusia akan diberi balasan sesuai dengan apa yang dilakukannya. Allah SWT memberikan isyarat bahwa penyalahgunaan hati secara tidak sesuai dengan fungsinya akan membawa manusia pada posisi sebagai penghuni neraka.
Bahkan manusia seperti ini dapat dianggap seperti binatang atau lebih sesat dari itu (QS.7:179). Pada ayat lain disebutkan bahwa orang kafir tidak bisa menerima ajaran Islam, karena kalbunya telah menolak kebenaran (QS.2:10). Gambaran kalbu seperti ini diumpamakan seperti kerasnya batu atau bahkan lebih keras dari itu (QS.2:74).
Dalam tasawuf, kata “kalbu” sangat akrab dengan prinsip dasar yang dikembangkan para sufi, sehingga sering dijumpai kata-kata bijak dan penilaian yang tinggi dari pernyataan tasawufnya, misalnya:
(1) kalbu dalam diri manusia ibarat taman ‘Adn dalam alam ini;
(2) sebagai pusat seluruh kemaujudan manusia, kalbu adalah matahari batiniah; dan
(3) kalbu adalah indra penglihatan spiritual yang langsung tanpa hijab. Dari sini dapat dilihat bahwa kalbu memainkan peranan sangat penting dan menentukan dalam aktivitas para sufi sebagai figur yang mengarahkan kehidupannya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dari sudut pandang potensi yang dimiliki manusia, kalbu merupakan salah satu dari dua daya yang terdapat pada setiap manusia. Keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Daya pikir manusia berfungsi untuk melakukan kajian dan penelitian terhadap alam ini, sedangkan daya kalbu atau daya rasa berfungsi untuk membuat fisik lebih bermakna, terutama untuk menyucikan diri guna mendekatkan diri kepada-Nya.
Oleh karena itu, para sufi berusaha melatih dan mempertajam kalbunya melalui latihan spiritual, dengan menempuh maqam tertentu, seperti zuhud, tobat, warak, kefakiran, sabar, tawakal, rida, mahabah, makrifat, serta fana dan baka.
Menurut para filsuf Islam, kata “kalbu” memiliki dua pengertian: (1) dalam arti fisik, kalbu adalah segumpal daging yang terletak pada dada sebelah kiri; dan (2) dalam arti nonfisik, kalbu adalah roh, jiwa, atau akal. Menurut mereka, kalbu berfungsi untuk menemukan kebenaran yang hakiki, baik melalui ilham maupun perkiraan.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Manzur. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar as-Sadir, t.t.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. ar-Ruh Jakarta: Dinamika Barkah Utama, t.t.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: ’Isa al-Bab al Halabi, 1960.
Lings, Martin. What is Sufism?, terj. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
Utang Ranuwijaya