Kata dasar (masdar) al-kaffarah adalah kafara, yang berarti “menutupi sesuatu”. Dalam terminologi fikih, kafarat berarti “denda yang wajib ditunaikan karena melakukan suatu perbuatan dosa”. Kafarat bertujuan untuk menutupi dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh dosa yang diperbuat tersebut, baik di dunia maupun di akhirat.
Kafarat merupakan salah satu hukuman yang dipaparkan secara terperinci oleh syariat Islam. Ada bermacam-macam kafarat dalam Islam yang bentuknya berbeda sesuai dengan perbedaan pelanggaran (dosa) yang dilakukan. Perbuatan dosa yang dikenai kafarat tersebut meliputi antara lain melanggar sumpah, melakukan jimak (hubungan suami-istri) di saat ihram atau di siang hari pada bulan Ramadan, menzihar istri (seorang suami menyatakan bahwa punggung istrinya sama dengan punggung ibunya), dan mempergauli istri (bersetubuh) ketika sedang melaksanakan ihram di Mekah.
(1) Kafarat sumpah. Ulama membedakan sumpah tersebut dalam: (a) Sumpah lagw (sia-sia), seperti ucapan seseorang yang dilontarkan tanpa tujuan untuk bersumpah, sekalipun kelihatannya ia mempergunakan lafal sumpah, misalnya ucapan seseorang “la wallahi” (tidak, demi Allah). Sumpah yang seperti ini tidak dianggap sebagai sumpah yang harus dikenai denda kafarat (QS.5:89).
(b) Sumpah qumus, yaitu sumpah dusta dan mengandung unsur pengkhianatan. Sumpah seperti ini tidak dikenakan kafarat menurut jumhur (mayoritas) ulama, karena hukumannya lebih besar dan berat dari kafarat. Namun Imam Syafi‘i menyatakan wajib bagi pelaku sumpah qumus ini membayar kafarat sumpah.
(c) Sumpah mun‘aqidah, yaitu sumpah yang dilakukan seseorang bahwa ia akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang atau tidak akan melakukan sesuatu, kemudian sumpahnya ini dilanggar. Bentuk sumpah ini dikenai kafarat sumpah sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 89, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak. Jika tidak sanggup melaksanakan kafarat tersebut, si pelanggar sumpah harus berpuasa selama 3 hari.
(2) Kafarat zihar, yaitu ucapan menyamakan punggung ibu dengan punggung istri. Hukumannya menurut surah al-Mujadalah (58) ayat 3 dan 4 adalah memerdekakan budak; jika tidak sanggup, berpuasa 2 bulan berturut-turut; dan jika tidak mampu juga, memberi makan 60 orang miskin.
Jumhur (mayoritas) ulama menyepakati kafarat zihar ini dengan urutan seperti yang ada dalam ayat di atas, tanpa ada kebolehan memilih atau mengganti urutan tersebut. Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa bentuk hukuman tersebut merupakan tiga alternatif yang boleh dipilih, tanpa terikat dengan tertib yang ada dalam ayat. Boleh saja yang kedua didahulukan kalau kemaslahatan menghendaki demikian.
(3) Kafarat bagi suami yang melakukan jimak (persetubuhan) pada saat ihram atau pada siang hari puasa Ramadan. Kafaratnya adalah memerdekakan budak, berpuasa berturut-turut selama 2 bulan, atau memberi makan 60 orang miskin (ketiga macam pelanggaran ini kafaratnya sama).
Dasar hukum dari kafarat jimak di siang hari bulan Ramadan atau di kala sedang ihram tersebut adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Jamaah dari Abu Hurairah. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa seseorang mendatangi Nabi SAW untuk mempertanyakan hukum terhadap perbuatannya yang telah menjimak istrinya di siang hari Ramadan. Pada kesempatan tersebut Nabi SAW menjawab, “Merdekakan seorang budak, jika tidak mampu, berpuasa selama 2 bulan berturut-turut, dan kalau juga tidak mampu, berikanlah makan orang miskin sebanyak 60 orang.”
Dari berbagai ayat dan hadis tentang kafarat tersebut terlihat bahwa tujuan kafarat adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, di samping juga memerdekakan budak, dalam arti bukan untuk menanggung risiko fisik sebagaimana yang terdapat dalam hukuman hudud atau kisas.