Kafalah

Secara kebahasaan, kafalah berarti “tanggungan”. Dalam fikih kafalah berarti “suatu bentuk perbuatan menolong orang lain dengan cara menjamin seorang yang berutang yang tidak atau belum mampu membayarnya di hadapan pemberi utang, baik dengan harta atau dirinya sendiri”. Selain kafalah, adakalanya digunakan juga istilah hamalah, damanah, atau za’amah.

Ada empat unsur kafalah, yaitu al-kafil (penjamin), al-asil (yang berutang), al-makful lahu (yang memberi utang, yang mendapat jaminan), dan al-makful bih (yang dipertanggungkan). Penjamin dengan niat baik akan mendapat pahala, karena dalam prakteknya mempunyai risiko berat.

Praktek kafalah dibolehkan berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Yusuf (12) ayat 72 yang berarti: “Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.’”

Di samping itu, dasar hukum kafalah adalah hadis Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW bersabda, “Penanggung (borg) harus bertanggung jawab dalam menanggung kerugian” (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan Ibnu Hibban).

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Ibnu Majah diceritakan bahwa Nabi SAW mendatangi jenazah seorang sahabat yang siap disembahyangkan. Lalu Nabi SAW bertanya, “Apakah dia (si mayat) meninggalkan sesuatu?” Para sahabat yang hadir menjawab, “Tidak.”

Nabi SAW bertanya lagi, “Apa dia meninggalkan utang?” Mereka menjawab, “Ya, dua dinar.” Nabi SAW berkata, “Jangan kamu sembahyangkan sahabatmu ini.” Dalam pada itu salah seorang sahabat yang bernama Abu Qatadah berkata, “Utangnya yang dua dinar itu aku yang menjamin, wahai Rasulullah.” Lalu Nabi SAW menyembahyangkan jenazah itu.

Tidak ada bantahan dari kalangan fukaha tentang kebolehan kafalah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa hal yang menyangkut masalah teknis pelaksanaannya, seperti pada rukun dan syarat kafalah sebagai berikut.

Menurut Abu Hanifah (Imam Hanafi, w. 150 H/767 M), dan muridnya, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (w. 189 H/805 M), dalam pelaksanaan kafalah harus ada pernyataan pengambil-alihan tanggung jawab (al-ijab) oleh yang menanggung (al-kafil) dan pernyataan penyerahan tanggung jawab oleh yang ditanggung (al-qabul). Sementara menurut Imam Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), murid Abu Hanifah, dan mayoritas fukaha cukup dengan pernyataan pengambilalihan tanggung jawab (al-ijab) saja.

Transaksi kafalah harus memenuhi syarat sebagai berikut:

(1) Al-Kafil harus balig, berakal, memiliki kompetensi (ahliyyah) untuk melakukan transaksi (tabarru‘), dan merdeka.

(2) Al-Asil, menurut Abu Hanifah, harus sanggup menyelamatkan al-makful bih baik oleh dirinya sendiri atau al-kafil. Karena itu menurutnya, tidak dibenarkan kafalah bagi orang bangkrut yang sudah meninggal. Akan tetapi menurut asy-Syaibani, Abu Yusuf, dan mayoritas fukaha, sah-sah saja menanggung beban orang meninggal, sebagaimana terjadi pada kasus Abu Qatadah tersebut di atas. Selain itu, al-asil juga harus diketahui secara pasti oleh al-kafil.

(3) Al-Makful lahu harus orang atau pihak yang diketahui identitasnya secara jelas, hadir pada saat terjadi ikrar pengambilalihan tanggung jawab, serta balig dan berakal.

(4) Al-Makful bih benar-benar sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan oleh pribadi al-asil sendiri, baik berupa uang, barang, jiwa, maupun pekerjaan, bukan sesuatu yang merupakan amanat. Adapun untuk pertanggungjawaban hukuman hadd, seperti hukuman hadd zina, pencurian, menuduh zina, dan kisas, tidak dibenarkan kafalah.

Selain itu, apa yang dipertanggungjawabkan harus sesuatu yang mungkin dilakukan oleh al-kafil dan harus sesuatu yang lazim dan jelas, yang dapat dilunasi dengan cara dibayar atau dibebaskan. Tidak sah suatu utang dibayar dengan pekerjaan menulis. Begitu juga kafalah yang bukan utang, seperti mempertanggungjawabkan nafkah istri.

Konsekuensi hukum dalam kafalah ada dua:

(1) Adanya kewajiban bagi al-kafil untuk mendatangkan uang jika berupa utang uang atau hal lain yang harus dipertanggungjawabkan dari al-asil apabila sudah tiba jatuh tempo yang ditentukan. Jika yang dipertanggungjawabkan berupa jiwa, kewa jiban al-kafil adalah mendatangkan al-asil; apabila tidak sanggup, al-kafil dapat dipenjarakan sampai didatangkan al-asil.

(2) Apabila al-kafil telah mempertanggungjawabkan utang kepada al-makful lahu, pada prinsipnya al-asil tetap mempunyai kewajiban membayar utangnya kepada al-kafil, karena kafalah bukan berarti pengambilalihan utang/tanggung jawab sepenuhnya, melainkan hanya sementara waktu selama al-asil belum sanggup melaksanakannya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan keterikatan antara unsur yang terkait dalam transaksi kafalah berakhir. Apabila yang dipertanggungjawabkan berupa uang, transaksi tersebut akan berakhir jika:

(1) ada pelunasan utang, baik dari al-kafil kepada al-makful lahu maupun dari al-asil kepada al-kafil;

(2) ada pemutihan utang, baik dari al-makful lahu kepada al-kafil maupun kepada al-asil; dan

(3) ada pengambilalihan secara penuh (hiwalah) kepada pihak lain atas utang atau tanggung jawab. Jika yang dipertanggungjawabkan berupa jiwa, kafalah akan berakhir apabila: (1) al-asil datang kembali dari luar kota setelah mengambil uang untuk pembayaran utangnya; (2) terjadi pengampunan atau pemutihan dari al-makful lahu kepada al-asil; dan (3) al-asil meninggal secara wajar, bukan karena dianiaya sehubungan dengan transaksi kafalah.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba’ah, 1960.
as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-Salam. Bandung: Pustaka Dahlan, t.t.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar. Beirut: Dar al-Fikr al-Islami, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Atjeng Achmad Kusaeri