Kada

(Ar.: al-qada’)

Secara harfiah, kata al-qada’memiliki banyak arti (musytarak), antara lain “menunaikan”, “mengerjakan”, “menyelesaikan”, “menyempurnakan”, “membayar”, dan “memutuskan”. Secara terminologis, kada berarti “mengerjakan kembali ibadah khassah (seperti salat, puasa, dan zakat) karena lupa atau lalai di luar batas waktu yang telah ditentukan”.

Al-Qur’an sendiri, yang menyebut 63 kali kata “kada” dalam 32 surah dan 62 ayat, menggunakan kata tersebut untuk beberapa pengertian yang berbeda, antara lain: (1) “menetapkan”, seperti dalam surah al-Isra’ (17) ayat 4; (2) “mengharuskan atau mewajibkan”, seperti dalam surah al-Isra’ (17) ayat 23; dan (3) “menyelesaikan”, seperti dalam surah al-Ahzab (33) ayat 37.

Menurut Ibnu Jazzi al-Kilabi (w. 292 H/741 M), seorang ahli bahasa, kata “kada” mempunyai tujuh macam pengertian, yaitu (1) al-hukm (hukum), (2) al-amr (pemerintah), (3) al-qadr as-sabiq (ketentuan yang mendahului), (4) fi‘l asy-syay’ (mengerjakan sesuatu), (5) al-farag minhu (selesai dari mengerjakan sesuatu), (6) al-maut (mati), dan (7) al-i‘lam bi asy-syay’ (memberitahukan sesuatu).

Masalah kada banyak dibicarakan dalam masalah salat dan puasa, karena kedua ibadah khassah inilah yang merupakan sari atau esensi ibadah yang diwajibkan bagi setiap mukalaf. Ibadah khassah yang telah difardukan itu wajib dilaksanakan tepat pada waktu yang telah ditentukan syarak (hukum Islam) dan tidak boleh ditinggalkan.

Jika ibadah tersebut ditinggalkan karena faktor yang tidak disengaja (seperti tertidur atau lupa) maupun disengaja (karena ada kesibukan), seseorang harus mengkadanya segera meskipun di luar batas waktu yang telah ditetapkan.

Kada Salat. Dasar hukum ulama fikih yang menetapkan wajib mengkada salat yang tertinggal itu adalah pertimbangan ijtihad bahwa salat sebagai ibadah khassah wajib ditunaikan dan tidak boleh ditinggalkan, meskipun salat itu telah berada di luar waktu yang ditentukan.

Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim diceritakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Bilal bin Rabah mendirikan salat, lalu mereka salat subuh bersama-sama (berjemaah) sebagai salat yang dikadakan. Setelah itu Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang lupa mengerjakan salat, maka hendaklah ia salat ketika ia ingat. Allah telah berfirman, ‘Dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.’”

Ulama fikih yang mewajibkan kada atas salat yang tertinggal adalah yang berasal dari kalangan Mazhab Syafi‘i. Mazhab lainnya menolak adanya kada salat dengan alasan bahwa salat itu diwajibkan dalam waktunya dan tidak boleh dikadakan. Orang yang meninggalkan salat berarti telah berbuat dosa dan salat yang ditinggalkannya itu tidak dapat lagi digantikan.

Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang berarti: “…Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS.4:103). Berdasarkan ayat ini, para imam mujtahid (yang melakukan ijtihad) menetapkan bahwa salat yang lima kali mempunyai waktu yang lima pula dan waktu ini menjadi syarat sahnya salat.

Ketentuan waktu salat adalah sesuatu yang telah ditetapkan secara pasti (qath’i) dan tidak dapat diubah kecuali dalam waktu darurat atau dalam keadaan terpaksa. Menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sewaktu dalam keadaan darurat salat dapat saja dilakukan dengan cara menggabungkan dua salat dalam waktu yang sama, misalnya menggabungkan salat zuhur dengan asar dan salat magrib dengan isya.

Ulama Mazhab Syafi‘i menetapkan bahwa orang yang tidak mengerjakan salat dalam waktunya dituntut untuk mengerjakannya segera dengan mengkada salat tersebut. Ini berarti salat itu tidak boleh ditinggalkan. Salat harus lengkap dalam hitungan lima kali dalam setiap hari dan malam.

Dasar hukum lain dalam menetapkan kada ini, selain hadis di atas, adalah hadis yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, yakni Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa yang lupa mengerjakan salat atau tertidur, maka hendaklah ia menggantikan (mengkada) salatnya seketika ia mengingatnya.”

Adapun pelaksanaan salat yang dikadakan sama saja dengan salat pada waktunya. Misalnya, salat subuh dua rakat ketika dikada juga tetap dua rakaat dengan ketentuan yang sama dengan ketentuan salat subuh itu sendiri.

Kada Puasa. Puasa adalah salah satu ibadah khassah yang diwajibkan untuk dijalankan pada bulan Ramadan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berarti: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS.2:183).

Kewajiban ini pada dasarnya bersifat qath’i (pasti), tidak dapat ditinggalkan tanpa alasan yang jelas. Tetapi jika ada halangan yang jelas (misalnya, karena sakit, berada dalam perjalanan, uzur karena usia tua, dan wanita dalam keadaan haid, nifas atau menyusui), kewajiban puasa itu dapat dikadakan pada hari-hari lain.

Dasar hukum masalah kada puasa adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang berarti: “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS.2:184).

Fukaha (ahli fikih) berbeda pendapat tentang pelaksanaan kada puasa. Sebagian fukaha mewajibkan kada puasa itu berturut-turut seperti urutan puasa pada bulan Ramadan. Sebagian yang lain tidak mewajibkannya berturut­turut, yang penting hitungannya sama dengan jumlah puasa yang ditinggalkan dalam bulan Ramadan.

Golongan fukaha terakhir ini menyatakan, apabila kada puasa itu dilakukan berturut-turut, maka hukumnya adalah sunah. Tetapi dari golongan ini ada pula yang menyatakan tidak sunah. Perbedaan pendapat itu terjadi karena adanya perbedaan cara pandang dalam menafsirkan esensi ayat di atas yang berbunyi:

“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Ada kesepakatan di antara fukaha bahwa kada itu wajib dilakukan sebelum masuk bulan Ramadan yang mendatang. Apabila kada ditunda hingga bulan Ramadan berikutnya, menurut sebagian fukaha seperti Imam Malik, Syafi‘i, dan Hanbali, wajib kada tetap berlaku dengan ditambah kafarat.

Menurut al-Hasan al-Basri dan Ibrahim an-Nakha‘i (keduanya ahli hadis dan fikih pada periode tabiin), hanya berlaku wajib kada dan tidak diwajibkan kafarat.

Dalam masalah ini ada fukaha yang memiliki pendapat lain, yakni apabila seseorang sakit yang berlangsung lama hingga Ramadan berikutnya, ia tidak wajib mengkada puasanya. Golongan terakhir ini juga berpendapat, jika seseorang meninggal dunia dan kada puasanya belum dilaksanakan, tidak wajib bagi orang lain untuk mengkadakan puasanya tersebut.

Menurut Imam Syafi‘i, memang tidak wajib bagi orang lain untuk mengkadakan puasanya tersebut, namun walinya berkewajiban memberi makanan kepada orang miskin atas nama orang yang wafat. Menurut Imam Hanafi, walinya wajib berpuasa. Jika walinya tidak kuat, ia wajib memberi makanan.

Dasar hukum tentang masalah di atas adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar RA. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa meninggal, padahal atasnya ada kewajiban puasa, maka walinya yang menunaikan puasanya.” Dasar hukum yang kedua adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Ibnu Abbas.

Ia mengatakan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, “Ya Rasulullah, ibu saya meninggal sedangkan atasnya ada puasa sebulan. Apakah saya harus mengkada puasa tersebut atas namanya?” Rasulullah SAW berkata, “Jika ibumu mempunyai utang, apakah engkau harus melunasinya?” Orang itu menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah SAW berkata, “Utang kepada Tuhan lebih utama dilunasi.”

Fukaha berbeda pendapat tentang masalah kada puasa bagi wanita hamil atau menyusui dan orang lanjut usia. Dalam hal ini ada empat pendapat:

(1) keduanya tidak wajib mengkada puasanya, tetapi hanya diwajibkan mengeluarkan makanan (pendapat Umar bin Khattab RA dan Ibnu Abbas RA);

(2) keduanya wajib mengkada puasanya dan tidak wajib mengeluarkan makanan bagi orang miskin (pendapat Imam Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Saur);

(3) keduanya wajib meng-kada puasanya dan memberi makan fakir miskin (pendapat Imam Syafi‘i); dan

(4) wanita hamil wajib mengkada, sedangkan wanita menyusui wajib mengkada dan memberi makan (pendapat fukaha lain, seperti Imam Hanbali).

Peradilan. Selain digunakan untuk arti “menunaikan ibadah mahdah (ibadah khassah) di luar batas waktu yang ditentukan syariat”, kata “kada” dalam istilah fikih digunakan untuk pengertian peradilan, yaitu upaya menyelesaikan persengketaan yang terjadi antara manusia atau badan hukum/lembaga guna menghilangkan saling gugat serta memutuskan pertentangan berdasarkan ketentuan hukum yang digali dari Al-Qur’an dan hadis serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam dunia fikih Islam, menegakkan lembaga kada adalah wajib kifayah (kewajiban kolektif ). Yang terkena kewajiban dalam hal ini adalah pihak pemerintah atau uli al-amri, karena kewajiban untuk menegakkan keadilan pada dasarnya adalah bagian tak terpisahkan dari tugas umum pemerintahan (wilayah ‘ammah). Di samping itu, pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk memaksa agar ketentuan hukumnya dipatuhi masyarakat.

Menurut fikih, untuk mendirikan lembaga kada, ada lima unsur yang harus dipenuhi:

(1) hakim, yaitu orang yang ditunjuk penguasa untuk menyelesaikan pengaduan dan perselisihan karena penguasa sendiri tidak mungkin menangani semua urusan;

(2) hukum, yaitu suatu ketentuan yang diperlukan untuk menyelesaikan persengketaan dan memutuskan permusuhan;

(3) mahkum bih, yaitu ketentuan yang ditetapkan hakim terhadap si terhukum untuk memberikan hak kepada yang empunya (berhak);

(4) mahkum‘alaih, yaitu orang yang dijatuhi hukuman; dan

(5) mahkum lah, yaitu orang yang menuntut haknya, baik itu hak pribadi maupun hak Allah SWT (umum) atau berupa campuran antara hak Allah SWT dan hak pribadi.

Untuk dapat diangkat menjadi hakim (kadi), seseorang harus memiliki beberapa persyaratan. Dalam fikih Islam, syarat untuk menjadi hakim itu pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu syarat yang disepakati ulama (muttafaq ‘alaih) dan syarat yang mereka perselisihkan (mukhtalaf fih).

Syarat yang disepakati adalah: (1) mukalaf, (2) berakal sehat, dan (3) merdeka. Adapun syarat yang mereka perselisihkan adalah: (1) Islam, (2) laki-laki, (3) adil, (4) mujtahid (ahli ijtihad), dan (5) sempurna jasmani, yakni dapat berbicara, melihat, dan mendengar.

Menurut Mazhab Hanafi, orang non-muslim boleh menjadi hakim bagi orang Islam karena kemampuan untuk menjadi hakim didasarkan atas kemampuan menjadi saksi. Menurut sebagian ulama yang lain, beragama Islam adalah syarat untuk memangku jabatan kadi.

Menurut Imam Malik, Syafi‘i, dan Ahmad bin Hanbal, wanita tidak sah menjabat hakim. Tetapi menurut Abu Hanifah (Imam Hanafi), wanita boleh saja menjadi kadi sejauh dalam masalah yang diterima kesaksiannya. Adapun menurut Abu Hanifah, kesaksian wanita pada dasarnya dapat diterima dalam segala urusan, selain dalam masalah hudud dan kisas (tindak pidana). Lebih dari itu, menurut at-Tabari, wanita boleh menjadi hakim dalam semua lapangan, termasuk di bidang pidana sekalipun.

Seorang hakim hendaklah seorang yang adil, yakni selalu benar dalam perkataan, melaksanakan tugas yang diamanatkan, menjauhi segala larangan, dan bermental kuat baik di kala duka maupun suka. Menurut kebanyakan fukaha, keadilan merupakan syarat tambahan bagi syarat keislaman, yaitu menepati kewajiban syarak (hukum Islam) dan anjurannya serta menjauhi hal yang dimakruhkan, apalagi yang diharamkan.

Tetapi menurut ulama Mazhab Hanafi, keputusan yang diambil hakim yang fasik dapat dilaksanakan selama keputusan hukumnya sesuai dengan hukum syariat dan ketentuan kitab undang-undang yang berlaku sampai ada hakim yang lebih baik lagi.

Mengenai persyaratan hakim harus mampu berijtihad, ada yang memang mensyaratkan bahwa hakim harus mujtahid (ulama Mazhab Maliki, Syafi‘i, dan sebagian Hanafi), tetapi menurut sebagian ulama Mazhab Hanafi yang lain, kemampuan berijtihad bukan merupakan syarat mutlak bagi seseorang untuk dapat diangkat menjadi hakim.

Menurut sebagian ulama, antara lain Ibnu Qudamah (ahli hukum Islam di Damasc

kus), orang bisu (tuna wicara) tidak dapat diangkat menjadi hakim karena ia tidak dapat mengucapkan putusan hukum. Demikian pula orang yang tuli dan buta. Orang yang tuli dan bisu bisa saja diangkat menjadi hakim sejauh mereka bisa melaksanakan tugasnya.

Di Indonesia terdapat empat macam lembaga kada (peradilan), yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dari keempat lembaga peradilan ini, lembaga yang khusus menangani persoalan hukum Islam (menganut asas personalitas keislaman) adalah Peradilan Agama.

Peradilan Agama seperti diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama bergerak dalam bidang (1) perkawinan; (2) pewarisan, wasiat, dan hibah; dan (3) wakaf serta sedekah.

Adapun syarat untuk menjadi hakim di lingkungan Pengadilan Agama seperti diatur dalam pasal 13 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah:

(1) warga negara Indonesia;

(2) beragama Islam;

(3) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

(4) setia pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

(5) bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi G. 30 S/PKI atau organisasi terlarang yang lain;

(6) pegawai negeri;

(7) sarjana syariat atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;

(8) berumur serendah-rendahnya 25 tahun; dan (9) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Badawi, Abdurrahman. Madzahib al-Islamiyyin. Beirut: Darul Ilmi li al-Maliyin, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al- Fikr, 1972.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Libanon: Darul Fikri, 1981.
as-Sabuni, Abdur Rahman. al-Madkhal li Dirasah at-Tasyri‘ al-Islami. Damascus: Matba’ah Riyadh, 1980.
az‑Zarqa’, Mustafa Ahmad. al‑Madkhal ila al‑Fiqh al‑‘am: al‑Fiqh al‑Islami fi tsaubihi al‑Jadid. Beirut: Dar al‑Fikr, 1968.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.

Muhammad Amin Suma