Juz’iyah dan Kulliyah

Dua istilah populer dalam filsafat, khususnya filsafat ketuhanan, adalah juz’iyah (kekhususan) dan kulliyah (keumuman). Menurut para filsuf, di alam semesta ini terdapat banyak benda yang dapat ditangkap pancaindra­. Benda tersebut merupakan juz’iyah­. Dalam filsafat yang penting bukanlah juz’iyah­ melainkan kulliyah, yaitu­ hakikat yang terkandung dalam juz’iyah.

Para filsuf berpendapat bahwa setiap benda mempunyai dua hakikat. Yang pertama adalah hakikat se­bagai­ juz’i­yah (haqiqat juz’iyah) yang disebut juga aniyah; dan kedua hakikat sebagai kulliyah (haqiqat­ kulliyah) yang disebut mahiyah, yaitu haki­kat yang ber­sifat universal dalam bentuk genus dan spesies.

Al-Kindi, filsuf muslim pertama, memahami keesaan­ Allah SWT dengan menggunakan konsep juz’iyah­ dan kulliyah ini. Menurutnya, Allah SWT tidak memiliki hakikat dalam bentuk aniyah karena tidak termasuk dalam benda yang ada di alam ini. Allah SWT adalah pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk (al-hayula wa as-surah).

Demikian pula Allah SWT tidak mempunyai­ hakikat dalam bentuk mahiyah karena tidak terdiri dari genus dan spe­sies. Allah SWT hanya satu dan selain-Nya mengandung­ arti banyak.

Pada sisi lain dalam menjelaskan ilmu Allah SWT, para filsuf mengatakan bahwa Allah SWT tidak mengetahui perincian juz’iyah,­ tetapi­ ilmu Allah SWT itu universal. Pendapat para filsuf tersebut menimbulkan diskusi di antara mereka yang diwakili Ibnu Rusyd dan Imam al-Ghazali.

Al-Ghazali dalam menjelaskan pendapat­ para filsuf mengatakan bahwa pada umumnya mereka berpendirian Allah SWT tidak mengetahui hal yang juz’i­yah karena yang juz’iyah­ itu sangat terikat dengan ruang dan waktu. Contoh yang dikemukakan adalah peristiwa gerhana matahari. Gerhana matahari memerlukan­ tiga waktu, yaitu sebelum terjadinya, sewaktu terjadinya,­ dan setelah terjadinya.

Ketiga waktu tersebut mengakibatkan perubahan pada ilmu:
(1) ilmu bahwa gerhana belum terjadi,
(2) ilmu bahwa gerhana sedang terjadi, dan
(3) ilmu bahwa gerhana sudah selesai. Perubahan ilmu itu merupakan se­suatu yang mustahil bagi Allah SWT. Perubahan ilmu juga berarti perubahan­ zat karena ilmu Al-lah SWT berarti zat-Nya. Karena itulah, ilmu Allah SWT tidak mengetahui­ perincian yang juz’iyah­.

Menanggapi pendapat para filsuf, al-Ghazali mengemu­kakan tiga tanggapan. Mengapa para­ filsuf berkeberatan menerima pendapat­ bahwa Allah SWT mempunyai ilmu yang meliputi hal yang juz’iyah­ seperti contoh di atas padahal perubahan itu pada dasarnya berkaitan dengan objeknya (matahari), bukan pada ilmu Allah SWT.

Menurutnya, hal tersebut sama halnya dengan seseorang yang pada mulanya berada di sebelah­ kanan, kemudian­ pindah ke sebelah kiri. Dengan demikian perubahan hanya terjadi pada orang tersebut.

Al-Ghazali mengatakan, jika para filsuf berpendirian­ bahwa ilmu Allah SWT bersifat kulliyah dan tak meliputi segala yang juz’iyah,­ seharusnya mereka­ menerima pula apabila dikatakan bahwa ilmu Allah SWT tidak berubah meskipun objeknya mengalami perubahan.

Al-Ghazali menyatakan, jika para filsuf berpendapat bahwa Allah SWT tidak mengetahui yang juz’i­yah, hal tersebut merupakan­ pengingkaran­ terhadap syarak (hukum Islam). Menurutnya,­ Allah SWT menjelaskan hal itu dalam surah Saba’ (34) ayat 1-2. Demikian pula da­lam surah yang sama ayat 3 yang berarti:

“…Tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya seberat zarah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).”

Ibnu Rusyd menan­g­gapi­ pendapat­ al-Ghazali. Ia mengatakan bahwa­ al-Ghazali sebenarnya salah paham karena para filsuf tidak pernah mengatakan­ Allah SWT tidak mengetahui yang juz’iyah­. Yang dikatakan para filsuf adalah pengetahuan Allah SWT menge­nai­ hal yang juz’iyah tidak sama dengan pengetahuan­ manusia.

Pengetahuan manusia mengambil bentuk efek, sedangkan pe­ngetahuan­ Allah SWT mengambil bentuk sebab, yaitu sebab ada­nya yang juz’i­yah itu. Pengetahuan Allah SWT bersifat kadim. Sejak permulaan zaman Ia me­ nge­tahui segala hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya. Pada dasarnya, baik para filsuf  maupun al-Ghazali sama-sama berpendirian bahwa Allah SWT mengetahui hal yang juz’iyah,­ tetapi dengan tinjauan yang berbeda.

Daftar Pustaka

Abu Rayyan, Muhammad Ali. al-Falsafah al-Islamiyyah. Iskandariyah: Dar al-Qa-umiyah, 1967.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Tahafut al-Falasifah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1966.
Ibnu Rusyd. Tahafut at-Tahafut. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.
Leaman, Oliver. An Introduction to Medieval Islamic Philosophy. New York: Cambridge University Press, 1985.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Syahrin Harahap