Judi

(Ar.: al-maisir)

Permainan yang mengandung taruhan dengan tujuan mendapat untung dengan mudah disebut judi. Maisir berasal dari kata yasira atau yasura (menjadi mudah) atau yassara (memudahkan). Pada masa Jahiliah, judi dilakukan dengan anak panah, lalu berkembang sesuai dengan kreasi manusia. Ulama sepakat mengharamkan judi sesuai dengan firman Allah SWT.

Ulama fikih mendefinisikan judi atau maisir sebagai “suatu permainan yang menjanjikan keuntungan tanpa melalui cara yang wajar sebagaimana yang dituntunkan syarak (hukum Islam)”. Judi merupakan praktek untung-untungan yang membuat orang yang bermain berharap akan mendapatkan keuntungan dengan mudah.

Hasbi ash-Shiddieqy (1904–1975) mengartikan judi dengan “segala bentuk permainan yang ada wujud kalah-menangnya; pihak yang kalah memberikan sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai taruhan kepada pihak yang menang”. Lebih lanjut dikatakannya, segala permainan yang mengandung unsur untung-untungan, termasuk judi, dilarang syarak.

Kata maisir dijumpai dalam Al-Qur’an sebanyak 3 kali, yaitu dalam surah al-Baqarah (2) ayat 219 dan surah al-Ma’idah (5) ayat 90 dan 91. Firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 219:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’.”

Ketika menafsirkan kata maisir dalam surah al-Baqarah (2) ayat 219, Muhammad Rasyid Rida menyatakan bahwa maisir adalah suatu permainan dalam mencari keuntungan tanpa harus berpikir dan bekerja keras.

Menurut Rasyid Rida, maisir sama dengan qimar, yaitu permainan yang mensyaratkan bahwa orang yang menang menerima seluruh taruhan yang ditentukan dalam permainan itu. Bahkan menurut at-Tabarsi, ahli tafsir Syiah Imamiyah abad ke-6 Hijriah, maisir adalah permainan yang pemenangnya mendapatkan sejumlah uang atau barang tanpa usaha yang wajar dan dapat membuat orang jatuh miskin.

Permainan anak-anak pun jika ada unsur taruhannya, termasuk dalam kategori ini. Rasyid Rida dan at-Tabarsi sepakat menyatakan bahwa segala bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan termasuk ke dalam pengertian maisir yang dilarang syarak.

Dari kandungan surah al-Baqarah (2) ayat 219 dan surah al-Ma’idah (5) ayat 90 dan 91 diketahui bahwa judi merupakan perbuatan keji yang diharamkan Islam. Keharaman judi dalam surah al-Baqarah (2) ayat 219 tidak begitu jelas.

Dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 90, Allah SWT secara tegas menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan.”

Penyebab diharamkannya perbuatan judi dijelaskan Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 91 yang berarti: “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingati Allah dan sembah yang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”

Dari ketiga ayat tersebut, para mufasir menyimpulkan beberapa hal bahwa judi:

(1) merupakan dosa besar;

(2) merupakan perbuatan setan;

(3) sejajar dengan syirik;

(4) merupakan permainan yang dapat menjerumuskan seseorang ke lembah kemiskinan dan kehinaan;

(5) menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia;

(6) membuat orang malas berusaha; dan

(7) menjauhkan orang dari Allah SWT. Selain lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, perbuatan judi dilarang Allah SWT karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang senantiasa memotivasi umatnya untuk melakukan kreasi yang positif dalam menunjang kehidupannya di dunia dan akhirat.

Undian dan Bonus. Salah satu bentuk permainan yang menjurus kepada judi atau maisir adalah undian yang berlaku di beberapa negara, seperti porkas dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) di Indonesia yang diselenggarakan pada masa Orde Baru.

Porkas dan SDSB pada hakikatnya mengandung unsur maisir yang dijelaskan dalam kedua surah di atas. Oleh sebab itu, mayoritas ulama di Indonesia menganggap porkas dan SDSB sebagai permainan judi yang merugikan umat Islam. Akan tetapi, Ibrahim Hosen berpendapat bahwa porkas dan SDSB tidak termasuk ke dalam maisir, karena keduanya hanya merupakan suatu sumbangan yang disertai hadiah dan tidak mendatangkan permusuhan karena tidak berhadapan muka.

Namun, menurut ulama yang menentangnya, jika dilihat ilat diharamkannya perbuatan maisir sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 91 di atas, porkas dan SDSB mempunyai ilat yang sama dengan maisir. Oleh sebab itu, sesuai dengan teori kias, kesatuan ilat menyebabkan kesatuan hukum. Artinya, hukum maisir, porkas, dan SDSB sama, karena ilatnya sama.

Adapun bonus yang banyak mendorong para konsumen untuk membeli suatu produk sekarang ini masih dapat ditoleransi, karena ilat hukumnya tidak sama dengan maisir. Para pedagang dalam memberikan bonus telah memperhitungkan harganya dan memasukkannya dalam harga produk yang dijual itu. Bahkan, tidak jarang para pedagang akan mendapatkan keuntungan besar dengan adanya bonus itu. Oleh sebab itu, menurut Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih dan usul fikih), bonus dalam pembelian suatu produk tidak termasuk ke dalam kategori judi.

Daftar Pustaka

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981 M.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Qur’an al-Karim (al-Manar). Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. al-Islam II. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami fi Uslubih al-Jadid. Damascus: al-Maktab al-Islami, 1976.

Nasrun Haroen