Jiwa adalah unsur immateriil dalam diri manusia. Dalam bahasa Inggris, jiwa disebut soul atau spirit. Jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh, begitu juga sebaliknya. Tanpa salah satu dari keduanya, seseorang tidak dapat dikatakan sebagai manusia.
Kendatipun jiwa adalah unsur pokok dalam diri manusia, persoalan hakikat jiwa, hubungan jiwa dengan badan, dan keabadian jiwa tidak mudah dipecahkan. Karena itu, tidak heran para ahli agama, filsuf, sufi, dan psikolog sampai sekarang masih terus berusaha mengkaji dan mendalami eksistensi jiwa.
Dalam kitab suci agama pun, ungkapan jiwa termasuk bahasan penting karena terkait dengan kepercayaan pokok, yaitu percaya akan hari akhirat, yang di dalamnya terkandung makna keabadian jiwa.
Dalam Al-Qur’an, jiwa diungkapan dengan kata nafs atau ruh dengan arti yang tidak selalu sama. Nafs sendiri memiliki banyak arti, antara lain jiwa, hati, dan jenis, sedangkan ruh ada yang berarti jiwa, Malaikat Jibril, dan wahyu.
Kendatipun terdapat persamaan arti antara nafs dan ruh, dalam Mu‘jam al-Wasith (kamus bahasa Arab), ruh dan nafs dibedakan; ruh adalah yang menghidupkan nafs dan esensi ruh lebih halus daripada nafs.Pengertian ini tampaknya diperkuat Quraish Shihab, yang mengatakan bahwa nafs dalam Al-Qur’an menggambarkan totalitas manusia atau kepribadian seseorang yang membedakannya dari orang lain.
Ia mengutip pendapat Abdul Karim al-Khatib, salah seorang ulama kontemporer, yang cenderung memahami jiwa sebagai hasil perpaduan antara unsur jasmani dan rohani manusia, perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan, serta dikenal dan dibedakan dari manusia lainnya. Adapun Ibnu Kasir berpendapat bahwa nafs dan ruh adalah sama, yaitu zat halus yang menjalar di dalam tubuh, seperti air mengalir dalam akar pohon.
Ibnu Maskawaih, filsuf etika dari Persia (Iran), berpen dapat bahwa jiwa adalah substansi sederhana, tidak dapat diindra. Jiwa bukanlah tubuh, bukan juga bagian dari tubuh, dan bukan pula materi. Jiwa itu satu dan lebih luas daripada materi karena jiwa dapat menerima sesuatu yang berlawanan pada saat yang bersamaan, seperti warna putih dan hitam.
Adapun tubuh tidak dapat menerima kedua warna itu secara bersamaan. Jiwa juga tidak dapat diukur dengan ukuran panjang atau lebar, sebagaimana benda karena jiwa tidak dapat berubah lebih panjang atau lebar.
Jiwa, menurut Ibnu Maskawaih memiliki potensi, dan yang tertinggi adalah daya pikir. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna ketika ia mampu meningkatkan dan memaksimalkan daya pikirnya, sebagaimana kesempurnaan pedang terletak pada ketajamannya. Daya pikir bertugas membimbing potensi yang ada di bawahnya, seperti nafsu syahwat.
Jika seseorang menggunakan daya akalnya dengan baik, maka segala sikap dan tindakannya berjalan secara normal dan ia tidak perlu khawatir, sekalipun ia mati, karena hakikat kematian itu adalah nonaktifnya jiwa untuk sementara waktu. Jiwa yang sempurna, jika terpisah dengan tubuh, akan mengalami kehidupan abadi dan lebih terhormat.
Sebagaimana Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina juga yakin bahwa manusia terdiri atas dua unsur (jiwa dan tubuh) dan antara keduanya tidak ada hubungan substansial karena tubuh berasal dari campuran berbagai unsur secara sempurna, sedangkan jiwa tidak berasal dari campuran, tetapi merupakan substansi yang berdiri sendiri dan dipancarkan dari ‘akal aktif’.
Jiwa yang dipancarkan dari ‘akal aktif’ berasal dari pandangan Ibnu Sina tentang emanasi, yaitu setiap akal memiliki tiga objek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujud, dan dirinya sebagai mungkin wujud. Dari pemikiran tentang Tuhan muncullah akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujud muncul jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujud timbul langit.
Akal terakhir dari proses emanasi adalah ‘akal aktif’ (Jibril) yang memunculkan bumi dengan empat unsurnya, yaitu tanah, air, udara, dan api. Tubuh terdiri atas campuran unsur ini, sedangkan jiwa, yang sama sekali berbeda dari unsur tersebut, dipancarkan oleh ‘akal aktif’ ke setiap tubuh baru.
Ibnu Sina meyakini benar bahwa jiwa adalah unsur yang berbeda dari tubuh dan memiliki karakter spesifik. Untuk menjelaskan perbedaan tersebut dan sekaligus memperkuat adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat argumen.
Pertama, argumen psikofisik, yaitu setiap benda harus tunduk kepada hukum alam. Contohnya, batu harus jatuh ke bawah dan tidak bergerak, tetapi ternyata manusia adalah benda yang bisa bergerak. Gerak manusia ini tentu tidak digerakkan oleh tubuh itu sendiri, tetapi ada unsur luar yang menggerakkannya, yang disebut jiwa.
Kedua, aku dan fenomena psikologis, yaitu ketika seseorang mengatakan, “Aku mau tidur”, maka yang dimaksud bukan kakinya bergerak dan matanya tertutup, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan dirinya yang satu, dan itu adalah jiwa.
Ketiga, argumen kontinuitas, yaitu pengetahuan seseorang selalu sambung-menyambung dari yang dulu, sekarang, dan yang akan datang tanpa terputus. Seseorang dapat mengingat masa lalu, dan berada pada saat ini, kemudian dapat memprediksi masa yang akan datang; semua itu menunjukkan adanya aktivitas yang dilakukan unsur selain badan, yang disebut jiwa.
Keempat, argumen manusia terbang, yaitu mengandaikan seseorang yang lahir dengan kesempurnaan akal dan tubuh kemudian matanya ditutup sehingga tidak dapat melihat, kemudian diterbangkan di udara kosong tanpa bersentuhan dengan benda apapun; dalam keadaan ini dapat dikatakan bahwa jiwa ada karena ia dapat mengkhayalkan adanya kaki dan tangan. Jelas bahwa khayalannya tentang kaki dan tangan bukan berasal dari indra, tetapi unsur lain, yaitu jiwa.
Di samping meyakini keberadaan jiwa dan perbedaannya dengan tubuh, Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian: pertama jiwa tumbuh-tumbuhan, yang memiliki daya makan, tumbuh, dan berkembang biak; kedua, jiwa binatang, yang memiliki jiwa tumbuh-tumbuhan dan daya gerak serta ketiga, jiwa manusia, yang terbagi atas dua daya, yaitu daya praktis yang terkait dengan badan dan daya teoretis yang terkait dengan hal abstrak.
Daya teoretis memiliki empat tingkat, yaitu akal materiil, akal terlatih, akal aktual, dan akal mustafad. Akal tertinggi adalah mustafad yang mampu berpikir tentang hal abstrak, sehingga dapat berhubungan dengan ‘akal aktif’. Karena itu, seseorang yang meningkatkan daya rasionalnya akan lebih dekat dengan malaikat, sebaliknya jika ia dipengaruhi oleh jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang, maka ia jatuh pada tingkat binatang.
Ibnu Sina meyakini bahwa jiwa akan kekal setelah mati karena manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Jiwa tidak akan mati ketika tubuh mati karena jiwa adalah unsur yang sama sekali berbeda dari tubuh dan tidak mungkin tergantung pada tubuh.
Hubungan antara tubuh dan jiwa bukanlah hubungan kausal dan ‘harus’, tetapi bagaikan hubungan tuan dan hamba, yaitu tuan tidak terpengaruh dengan perubahan yang menimpa hambanya. Karena itu, jiwa tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada badan karena ia yang mengelola dan mengatur urusan badan. Jiwa manusia tidak hanya mendapat balasan di dunia ini, tetapi juga pada hidup kedua di akhirat.
Jika jiwa telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, manusia akan mengalami kesenangan untuk selamanya. Dan, jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, karena ketika bersatu dengan tubuh dipengaruhi hawa nafsu, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal untuk selamanya.
Keabadian jiwa yang terlalu ditekankan Ibnu Sina mendapat reaksi keras dari al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, Ibnu Sina menafikan kebangkitan jasmani dan hanya mengakui kebangkitan rohani. Padahal, Al-Qur’an jelas menyebutkan bahwa kebangkitan di akhirat adalah jasmani dan rohani, bahkan dalam beberapa ayat anggota badan akan menjadi saksi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan manusia.
Reaksi al-Ghazali ini kemudian menjadi polemic panjang dalam sejarah filsafat Islam. Ibnu Rusyd, yang datang kemudian, menjawab reaksi al-Ghazali tersebut dan menyatakan bahwa al-Ghazali tidak memahami apa yang diungkapkan Ibnu Sina dan sekaligus menetralisasi pandangan Ibnu Sina dan al-Ghazali.
Menurut Ibnu Rusyd, keabadian jiwa yang dipahami filsuf tidak salah karena akhirat adalah alam immateriil, maka yang abadi di sana adalah sesuatu yang immateriil juga. Ayat yang mengungkapkan keabadian tubuh perlu ditakwil filsuf, karena cocok dengan pemahamannya. Adapun untuk kalangan awam, ayat itu sama sekali tidak boleh ditakwil karena akan merusak akidah mereka.
Daftar Pustaka
De Boer, T. J. Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, terj. Cairo: Matba‘ah Tarjamah, 1970.
Hidayat, Komaruddin. Tuhan Begitu Dekat. Jakarta: Paramadina, 2000.
Ibnu Maskawaih. Tahdzib al-Akhlaq, terj. Bandung: Mizan, 1998.
Ibnu Rusyd. Fasl al-Maqal fi ma bain al-hikmah wa asy-Syari‘ah min al-Ittisal. Cairo: 1972.
Kalabadzi, Abu Bakar M. Ajaran-Ajaran Sufi, terj. Bandung: Pustaka, 1985.
Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tatbiquh. Cairo: Dar Al-Ma’arif, 1119 H.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Qur’an al-Karim. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Amsal Bakhtiar