Secara kebahasaan, jism berarti “jasad”, “badan”, dan “anatomi tubuh”. Istilah jisim muncul di kalangan mutakalim karena ada ayat Al-Qur’an yang –jika dilihat secara zahir– menyatakan seakanakan Tuhan mempunyai jisim. Di kalangan filsuf, istilah jism muncul ketika mempersoalkan bagaimana Allah yang immateriil menciptakan alam semesta yang immateriil dan materiil.
Dalam Al-Qur’an digambarkan bahwa Tuhan mempunyai wajah (QS.2:115), takhta (QS.7:54), dan tangan (QS.36:83). Bagi kaum Muktazilah, Tuhan bersifat immateriil. Oleh sebab itu tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai wujud jasmani. Ayat Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat jasmani harus dipahami secara metaforis. Dengan demikian, arasy (takhta kerajaan) diartikan sebagai kekuasaan, al-‘ain (mata) sebagai pengetahuan, al-wajh (muka) sebagai zat, dan al-yadd (tangan) sebagai kekuasaan Tuhan.
Kaum Asy‘ariyah tidak menerima paham bahwa Tuhan mempunyai jisim dan sifat jasmani seperti manusia. Mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan, mata, dan sebagainya, tetapi tidak sama dengan makhluk-Nya. Kata itu bagi kaum Asy‘ariyah tetap tidak boleh diberi interpretasi lain (bila kayf).
Akal manusia memiliki keterbatasan, tidak akan sanggup membuat gambaran tentang sifat Tuhan. Adapun golongan yang meyakini bahwa Tuhan mempunyai jasmani disebut Mujassimah (antropomorfisme).
Al-Asy‘ari (pendiri aliran Asy‘ariyah) dalam kitabnya Maqalat al-Islamiyyin (pembahasan tentang teologi Islam) menjelaskan bahwa Hisyam bin al-Hakam, seorang teolog Syiah, sering mengemukakan pandangan seakan-akan Tuhan merupakan jisim. Namun al-Hakam tidak bermaksud membandingkan Tuhan dengan jisim yang bersifat duniawi, melainkan jisim dalam arti metaforis untuk menerangkan bahwa Tuhan itu ada.
Di kalangan Asy‘ariyah, ada teori yang berkenaan dengan jisim, yaitu teori atom. Teori ini muncul untuk menjawab pertanyaan, berapa kali Tuhan menciptakan alam (jisim). Menurut teori ini, alam terdiri dari sesuatu yang niskala (sesuatu yang tidak berbentuk). Artinya, alam berupa hewan, tumbuhan, dan kosmos yang terdiri dari partikel terkecil yang tidak bisa dibagi (atom, zarah), tidak berbentuk dan tidak dapat diamati.
Atom itu setiap saat bisa bersatu dan berbentuk jisim setelah ditambahkan ‘arad (sifat yang datang kemudian). Persatuan atom dan ‘arad inilah yang disebut proses penciptaan alam. Hal ini terus berjalan setiap saat tanpa henti-hentinya. Oleh sebab itu, menurut teori ini, Allah SWT menciptakan alam setiap saat. Jika Allah SWT berhenti menciptakan alam, semua yang ada akan musnah.
Konsekuensi dari teori ini mengan dung arti bahwa apa saja yang terjadi di alam ini merupakan penggabungan atom dan penggantian ‘arad dan juga merupakan ciptaan Tuhan secara langsung, sehingga di alam ini tidak ada hukum keharusan yang berjalan secara tetap.
Sebagai analogis teori atom tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Setiap saat Tuhan memutar atau menggerakkan jarum jam, detik demi detik. Bagi kalangan Muktazilah yang meyakini adanya hukum alam, Tuhan hanya sekali memutar pér jam, kemudian jarum jam berjalan sendiri dengan kecepatan yang dikehendaki.
Dengan kata lain, kalangan ini berpendapat bahwa alam mempunyai hukum tersendiri yang berjalan dengan sendirinya. Oleh karena itu, penciptaan alam ini hanya sekaligus secara bersamaan. Teori ini disebut teori kummun (tersembunyi, tersimpan). Sebagai contoh, Tuhan menjadikan manusia, hewan, tumbuhan atau jisim sekaligus. Penciptaan Adam AS tidak lebih dahulu dari penciptaan manusia abad ke-20.
Namun ketika Adam AS muncul, manusia yang akan muncul kelak disimpan dalam tempat persembunyiannya. Pada waktu makhluk itu lahir kemudian, sudah tidak ada campur tangan Allah SWT. Meskipun demikian, semua itu masih berada dalam pengetahuan atau pengawasan Allah SWT. Tokoh Muktazilah yang mengemukakan teori kummun ini adalah an-Nazzam (w. 231 H/846 M).
Menurut para filsuf, misalnya Aristoteles dan pengikutnya, badan atau jisim terdiri dari zat (hayula atau maddah) dan bentuk (Sirah). Keduanya tidak mempunyai bentuk, tidak dapat dibagi, dan tidak dapat diamati jika berdiri sendiri-sendiri.
Tetapi kombinasi dari keduanya (jisim) dapat dibagi-bagi karena jisim memang merupakan perpaduan yang mempunyai arti. Pemikiran ini timbul karena alam jagat raya ini tercipta dari bahan baku yang sudah ada, yaitu zat dan bentuk. Alam ini terbentuk ketika zat bersatu dengan bentuk.
Di kalangan filsuf Islam, istilah jisim muncul ketika membicarakan bagaimana Allah SWT yang bersifat immateriil menciptakan alam semesta yang bersifat immateriil dan materiil. Al-Farabi dan Ibnu Sina mencari jalan keluar dengan teori emanasi. Dalam teori emanasi Ibnu Sina dikatakan bahwa Tuhan berpikir tentang diri-Nya sendiri, sehingga muncul akal pertama.
Akal pertama ini merupakan pancaran dari Tuhan, maka ia juga merupakan wajib al-wujud; jika dilihat hakikat dirinya, akal pertama merupakan mumkin al-wujud. Ketika berpikir, akal pertama ini mempunyai tiga objek, yaitu (1) Tuhan, (2) diri-Nya sebagai wajib al-wujud, dan (3) diri-Nya sebagai mumkin al-wujd. Ketika akal pertama memikirkan Tuhan, muncul akal kedua.
Ketika memikirkan diri-Nya sebagai wajib al-wujud muncul jiwa langit pertama. Ketika memikirkan diri-Nya sebagai mumkin al-wujud, muncul jisim langit pertama. Demikian seterusnya sampai akal kesepuluh. Dengan adanya tiga objek pemikiran ini, Ibnu Sina ingin menerangkan bahwa alam ini ada yang bersifat materiil, jisim, dan ada yang bersifat immateriil, yaitu jiwa.
Daftar Pustaka
de Boer, T.J. “Djism,” Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1965.
Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
–––––––. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Atjeng Achmad Kusaeri