Jins

(Ar.: al-jins)

Bagian dari mahiyah (hakikat) yang bersifat umum disebut jins. Secara etimologis jins berarti “jenis”, “bangsa”, atau “genus”, yang dikaitkan dengan lafal umum dan khusus, terutama untuk membentuk konsep nalar terhadap suatu objek pengetahuan sehingga orang dapat menuturkannya dengan mudah dan teratur. Dalam filsafat, jins digunakan dalam kajian logika.

Di alam semesta terdapat benda yang dapat ditangkap melalui pancaindra. Masing-masing benda mempunyai dua hakikat:

(1) hakikat sebagai juz’iyyah (kekhususan) yang disebut aniyah; dan

(2) hakikat sebagai kulliyyah (keumuman) yang disebut mahiyah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jins (genus) dan nau‘ (spesies). Contohnya, manusia dikatakan sebagai binatang yang berpikir.

Lafal “binatang” merupakan ungkapan yang bersifat umum. Sifat keumuman “binatang” yang dilekatkan pada manusia sebagai salah satu unsur hakikatnya dinamakan jins. Jins merupakan bagian dari hakikat itu sendiri. Karena itu, lafal “binatang” adalah bagian dari hakikat manusia dan unsur “kebinatangan” merupakan salah satu sifat yang menjadi hakikat manusia.

Dalam kaitannya dengan benda, lafal “manusia” disebut nau‘. Sekalipun merupakan ungkapan umum, lafal “berpikir” juga menunjukkan sifat khusus manusia, yang disebut fasl (yang membedakan).

Jika dipandang dari satu sisi, ada lafal umum yang dapat menjadi jins, tetapi dari sisi lain menjadi nau‘. Misalnya, lafal “binatang” disebut jins karena di bawahnya terdapat kuda, kerbau, manusia, dan sebagainya. Tetapi, apabila dilihat dari lafal lain yang lebih umum, seperti jisim (jasad), lafal “binatang” berkedudukan sebagai nau‘. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa macam jins.

Para ahli logika membedakan jins berdasarkan tingkatan, yaitu jins tinggi, jins menengah, dan jins rendah. Jins tinggi ialah jins yang keumumannya paling tinggi (tidak ada yang melebihi keumumannya).

Di bawahnya terdapat beberapa hal yang umum. Misalnya, di bawah jauhar (substansi) terdapat jisim. Jins tinggi ini disebut juga jins al-ajnas (jenis dari segala jenis) yang terdiri dari satu jauhar dan sembilan ‘arad (sifat yang datang kemudian). Sembilan ‘arad tersebut adalah sebagai berikut:

(1) kammiyyah (kuantitas), seperti tinggi, panjang, lebar, luas, dan isi;
(2) kaifiyyah (kualitas), misalnya hitam, putih, atau merah;
(3) idafah (hubungan), seperti si A putra si B; kalimat “putra si B” adalah relasi atau hubungan;
(4) niyyah (tempat), contohnya di dalam kelas, di rumah, atau di pasar;
(5) zaman (waktu), seperti kemarin, sekarang, atau besok.
(6) hal (situasi), misalnya duduk, berjalan, atau berdiri;
(7) milk (sikap atau status), seperti atlet atau guru;
(8) fi‘l (aksi), misalnya memegang, melempar, atau memukul; dan
(9) infi‘al (keadaan terpengaruh), seperti terjatuh atau terduduk.

Jins menengah ialah jins yang di atasnya terdapat jenis yang lebih umum dan di bawahnya terdapat jins yang lebih khusus, misalnya al-jism an-nami (tubuh yang berkembang). Di atas al-jism an-namÓiada jisim, sementara di bawahnya ada binatang.

Yang dimaksud dengan jins rendah ialah jins yang di atasnya terdapat beberapa sifat yang lebih umum dan di bawahnya terdapat pula sifat umum yang merupakan nau‘. Di atas hewan terdapat jisim, sedangkan di bawahnya terdapat kerbau, unggas, dan manusia.

Daftar Pustaka

Abdul Mu‘in, M. Taib Thahir. Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta: Wijaya, 1981.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Maqashid al-Falasifah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1960.

Yunasril Ali