Secara bahasa, al-jihad berarti “pengerahan seluruh potensi untuk menangkis serangan musuh”. Dalam hukum Islam, jihad bermakna luas, yaitu segala upaya maksimal pen-erapan ajaran Islam dan pemberantasan kejahatan, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Ulama fikih membagi jihad atas (a) memerangi musuh, (b) melawan setan, dan (c) mengendalikan diri sendiri.
Jihad dalam pengertian umum seperti di atas mencakup juga seluruh jenis ibadah yang bersifat lahir dan batin, se-bagaimana dicontohkan dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW selama di Mekah dan Madinah. Dalam Al-Qur’an, kata “jihad” dengan pengertian umum ini terdapat dalam 39 ayat, antara lain dalam surah an-Nahl (16) ayat 110, an-Nur (24) ayat 53, al-Furqan (25) ayat 52, dan al-Fatir (35) ayat 43.
Di samping pengertian umum tersebut, ada juga pengertian khusus yang dikemukakan ulama. Imam Syafi‘i mendefinisikan jihad sebagai “memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam”. Pengertian jihad secara khusus inilah yang secara luas dibicarakan dalam kitab fikih yang senantiasa dikaitkan dengan pertempuran, peperangan, dan ekspedisi militer.
Ayat jihad yang turun pada periode Madinah men-gandung makna jihad secara khusus dan umum. Seperti firman Allah SWT dalam surah al-Anfal (8) ayat 72 yang berarti: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada para muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi….”
Demikian pula dalam surah at-Taubah (9) ayat 73, Allah SWT berfirman, “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam….”
Jihad dalam arti khusus baru diizinkan kepada Nabi Muhammad SAW setelah ia bermukim di Madinah selama setahun. Ketika Rasulullah SAW berada di Mekah, selama 13 tahun, penyebaran dakwah Islam tidak dibenarkan dengan ke kerasan. Penyebarannya pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Kemudian, setelah Nabi SAW mendapat perintah untuk berdakwah secara terbuka, mulailah penyebaran Islam tersebut dilakukan secara terang-terangan. Sekalipun dalam menyebarkan Islam Nabi SAW mengalami berbagai penderitaan, Allah SWT tetap menyuruh Nabi SAW bersabar. Barulah setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW melawan musuhnya.
Tindakan Nabi SAW ini dilakukan berdasarkan perintah surah al-hajj (22) ayat 39 yang berarti: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka.”
Demikian pula dalam ayat 40 disebutkan, “(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, Tuhan kami hanyalah Allah….” Sejak ayat ini diturunkan, Nabi SAW dengan para pengikutnya yang sejak lama dianiaya kaum kafir dalam menyiarkan agama Allah SWT telah mendapat pengesahan dari Allah SWT untuk membalas serangan musuhnya.
Kata “jihad” yang ada dalam Al-Qur’an kebanyakan mengandung pengertian umum. Artinya, pengertiannya tidak hanya terbatas pada pertempuran, peperangan, dan ekspedisi militer, tetapi juga mencakup segala bentuk kegiatan dan usaha yang maksimal dalam rangka dakwah Islam, amar makruf nahi munkar (perintah untuk berbuat kebaikan dan larangan untuk perbuatan keji).
Dari pengertian ini, jihad harus berlangsung secara berkesinambungan, baik dalam situasi aman maupun dalam situasi perang, karena tegaknya Islam sangat ditentukan oleh jihad. Sebaliknya, jika semangat jihad telah memudar dari kalbu umat Islam, etos kerja akan menurun, sifat apatis akan muncul yang akhirnya akan membawa pada kemunduran dan kehancuran umat Islam itu sendiri.
Jihad dalam pengertian umum ini telah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul. Berjihad tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan merupakan salah satu ciri orang yang beriman.
Ulama menyimpulkan latar belakang perlunya berjihad berdasarkan beberapa surah dalam Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah (2) ayat 190–193, surah an-Nisa’ (4) ayat 75, dan surah at-Taubah (9) ayat 13–15.
Latar belakang tersebut antara lain:
(1) mempertahankan diri, kehormatan, harta, dan negara dari tindakan sewenang-wenangan musuh;
(2) memberantas kezaliman yang ditujukan kepada umat pemeluk agama Islam;
(3) menghilangkan fitnah yang ditimpakan kepada umat Islam;
(4) membantu orang yang lemah; dan
(5) mewujudkan keadilan dan kebenaran. Tujuan jihad yang dapat disimpulkan dari ayat Al-Qur’an adalah terlaksananya syariat Islam dalam arti yang sebenarnya serta terciptanya suasana yang damai dan tenteram. Tanpa motivasi jihad seperti yang disebutkan di atas, Islam tidak membenarkan pemeluknya untuk menyerang musuhnya.
Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 90 yang berarti: “Kecuali orang-orang yang meminta per-lindungan kepada sesuatu kaum yang antara kamu itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya….”
Firman Allah SWT tentang jihad senantiasa dikaitkan dengan fi sabilillah (berjuang di jalan Allah), yakni berjuang melalui segala jalan dengan niat untuk menuju keridaan Allah SWT dalam rangka mengesakan Allah SWT, menciptakan rasa kasih sayang sesama hamba-Nya, dan menegakkan keadilan di bumi. Hal ini dilakukan dengan ketentuan bahwa jihad tersebut harus senantiasa selaras dengan kaidah serta norma yang telah ditentukan Allah SWT (QS.9:91 dan QS.48:17).
Jihad sebagai sarana untuk mencapai keridaan Allah SWT dan salah satu ciri orang yang beriman merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk melakukannya. Namun, kewajiban ini tidak bersifat mutlak dalam setiap saat. Kewajiban jihad dikemukakan oleh ulama dalam dua bentuk, yaitu wajib ‘aini (kewajiban secara pribadi) dan wajib kifa’i (kewajiban secara kolektif).
Hukum jihad yang diartikan dengan peperangan dalam rangka menegakkan Islam dari serangan musuh bersifat kifa’i (kolektif). Hal ini dapat dilihat dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 71 dan 95 dan surah at-Taubah (9) ayat 122, dan dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abu Sa‘id al-Khudri. Hadis tersebut menjelaskan bahwa ketika mengutus pasukan untuk berjihad, Rasulullah SAW juga menyatakan harus ada pasukan yang tinggal untuk menangani permasalahan lain.
Akan tetapi, jihad dalam arti khusus (perang) ini bisa juga berubah menjadi wajib‘aini jika wilayah Islam diintervensi musuh yang menurut perkiraan akan bisa menghancurkan keutuhan dan kedaulatan negara Islam tersebut. Dalam situasi yang seperti ini, setiap muslim yang mampu wajib melakukan jihad mempertahankan negaranya (QS.9:123).
Kewajiban jihad dalam arti umum, yakni salah satu ciri orang mukmin dan muslim, bersifat ‘aini. Hal ini disebabkan jihad ini dapat dilakukan sesuai dengan kemam puan yang ada pada seseorang, seperti melalui lisan (ucapan) atau tulisan, melalui hati, atau dengan pengorbanan harta sesuai dengan profesinya, baik jihad terhadap dirinya sendiri atau untuk kepentingan Islam secara umum.
Dilihat dari pelaksanaannya, Ibnu Qayyim membagi jihad menjadi tiga bentuk, yaitu: jihad mutlaq, jihad hujjah, dan jihad ‘amm. Jihad mutlaq adalah perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini mempunyai persyaratan tertentu, antara lain perang tersebut harus bersifat defensif (QS.2:190), untuk menghilangkan fitnah (QS.2:193), menciptakan perdamaian (QS.8:61), dan mewujudkan kebajikan dan keadilan (QS.60:8).
Perang juga tidak dibenarkan apabila dilakukan untuk memaksakan ajaran Islam kepada orang yang bukan Islam, untuk tujuan perbudakan, penjajahan, dan perampasan harta kekayaan. Juga tidak dibenarkan membunuh orang yang tidak terlibat dalam peperangan tersebut, seperti wanita, anak kecil, dan orang tua.
Orang yang wajib berjihad dalam pengertian perang adalah orang yang memenuhi persyaratan, yakni Islam, berakal, akil balig, laki-laki, tidak cacat, merdeka, dan mempunyai biaya yang cukup untuk pergi berperang dan untuk keluarga yang ditinggalkan.
Jihad hujjah adalah jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat. Ibnu Taimiyah menyebut jihad ini sebagai jihad bi al-‘Ilm wa al-Bayan atau jihad bi al-lisan (jihad dengan lisan), yaitu jihad yang memerlukan kemam puan ilmiah yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan sunah serta ijtihad (QS.58:11, QS.3:7, dan QS.4:162).
Jihad ‘amm adalah jihad yang mencakup segala aspek kehidupan, baik yang bersifat moral maupun yang bersifat materiil, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah masyarakat. Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Jihad ini juga bersifat berkesinambungan, tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan atau hawa nafsu. Pengertian musuh yang nyata di sini, di samping perang, juga berarti semua tantangan yang dihadapi umat Islam, seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Jihad terhadap setan mengandung pengertian berusaha untuk menghilangkan hal yang negatif yang membahayakan umat manusia. Ada pun jihad terhadap hawa nafsu adalah sikap pengendalian diri agar cara tindak, jiwa, dan komunikasi dengan orang lain tidak menyimpang dari ketentuan Islam.
Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaki dari Jabir bin Abdullah membagi jihad menjadi dua: jihad al-akbar (jihad besar), yaitu jihad melawan hawa nafsu diri sendiri dan jihad asgar (jihad kecil), yaitu perang secara fisik.
Daftar Pustaka
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Zad al-Ma‘ad fi Huda Khair al-‘Ibad. Cairo: Dar al-Babi al-Halabi, 1324 H/1906 M.
Pickthall, Marmaduke. War and Religion, terj. M. Hashem. Jakarta: YAPI, t.t.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Maktabah al-Qahirah, t.t.
asy-Syaukani. Nail al-Autar. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
az-Zuhaili, Wahbah. al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1981.
–––––––. Atsar al-harb fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Muqaranah. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Nasrun Haroen