Secara kebahasaan, jama‘ah berarti “kumpulan”, “himpunan”, atau “umat”. Kata jama‘ah sering digabungkan dengan kata Islamiyyah menjadi jama‘ah Islamiyyah yang berarti “kumpulan orang Islam”. Menurut konteksnya, ada berbagai makna istilah jemaah, misalnya yang dikaitkan dengan ahli sunah, ijmak, imam, dan salat.
Nabi Muhammad SAW menekankan bahwa kesatuan dan persatuan merupakan sendi utama untuk menegakkan jama‘ah Islamiyyah. Ia bersabda, “Barangsiapa yang mati sedangkan ia memisahkan dirinya dari jemaah, maka ia mati sebagai matinya orang jahiliah” (HR. Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali).
Doktrin tentang jemaah atau umat dalam Islam adalah sarana yang kuat untuk membangun masyarakat Islam yang meletakkan persatuan dan kesatuan di atas kepentingan golongan dan pribadi. Istilah jemaah mempunyai arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks kalimat dan kaitannya.
Pertama, istilah jemaah dikaitkan dengan kata “ahli sunah” sehingga menjadi Ahlusunah waljamaah, yang berarti golongan yang mengikuti sunah dan tradisi Nabi SAW serta berada dalam kumpulan kaum muslim.
Kedua, istilah jemaah dikaitkan dengan ijmak sebagai sumber hukum. Ijmak merupakan hasil kesepakatan jemaah dalam suatu masalah yang di dalamnya terjadi silang pendapat. Ijmak merupakan keputusan secara bulat yang diambil suatu lembaga yang mewakili seluruh jemaah.
Kalangan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ijmak itu hanya mungkin terjadi pada masa generasi sahabat Nabi SAW. Bagi mereka, ijmak adalah salah satu sumber hukum Islam yang merupakan penggabungan antara sunah Nabi SAW dan sunah para sahabat (sunah yang dilakukan para sahabat dan mendapat pengakuan Nabi SAW).
Di kalangan ulama Mazhab Syafi‘i, ijmak itu dapat saja berupa kesepakatan di kalangan ulama dalam setiap masa. Dalam hierarki Mazhab Syafi‘i, ijmak menempati sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
Ketiga, istilah jemaah dikaitkan dengan imam atau pemimpin, yang berarti komunitas kaum muslimin yang dipimpin seorang imam. Sejak sistem kekhalifahan umat Islam dihapuskan Mustafa Kemal Ataturk di Turki, persoalan ini menjadi pembicaraan yang sangat luas dan mengundang pro dan kontra.
Sebagian berpendapat bahwa setiap bangsa atau jemaah dapat saja mempunyai kepala negara atau khalifah sendiri, sedangkan yang lain berpendapat bahwa seluruh umat atau jemaah Islam harus berada di bawah satu khalifah. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pendapat pertama-lah yang kemudian menjadi anutan umat Islam internasional. Adapun pendapat kedua yang semula diperjuangkan Syekh Muhammad Rasyid Rida menjadi larut ke dalam pendapat pertama.
Keempat, istilah jemaah juga berkaitan dengan masalah salat, terutama dalam pelaksanaan salat Jumat. Menurut Mazhab Syafi‘i, jemaah yang melaksanakan salat Jumat harus mencukupi jumlah 40 orang, sehingga jika jumlah ini tidak terpenuhi maka salatnya tidak sah.
Mazhab lain berpendapat bahwa jika pengertian jemaah telah terpenuhiditinjau dari segi jumlahnya, yaitu tiga orang atau lebih, termasuk imam salat Jumat sah. Hal ini disebabkan arti dari istilah jemaah itu sendiri, yaitu jamak, banyak atau lebih dari tiga orang.
Daftar Pustaka
Von Grunebaum, Gustave E. Islam Kesatuan dalam Keragaman. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1975.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981 M.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Rida, Muhammad Rasyid. al-Khilafah wa al-Imamah al-‘Uzma. Cairo: Matba‘ah al-Manar al-Misriyah, 1341 H/1922 M.
Abd. Rahman Dahlan