Jazb

Secara kebahasaan, jazb berarti “menarik”, “menghela”, atau “menyerap”. Di kalangan sufi, istilah ini digunakan untuk keadaan seseorang yang ‘terserap’ ke dalam Tuhan karena Tuhan menariknya ke arah-Nya. Orang yang ‘terserap’ ke­dalam Tuhan disebut majdzub.

Dalam keadaan jazb, bakat atau keadaan mental seseorang dilumpuhkan atau dikacaukan oleh daya tarik Tuhan, sehingga ia kelihatan­ ‘linglung’ dalam berhadapan dengan Tuhan atau seakan-akan tidak normal. Keadaan ini dialami­ majdzb karena ia sedang mengekspresikan­ keadaan rohaniahnya dengan cara yang sulit dipahami orang lain.

Keadaan jazb suatu ketika pernah dialami Abu al-Husein an-Nuri (w. 295 H/908 M), seorang sufi yang banyak menu­lis puisi tasawuf. Al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M) dalam bukunya Ihya’ ‘Ulum ad-Din menceritakan bahwa pada suatu malam an-Nuri menghadiri majelis­ pembacaan­ puisi.

Kemudian terdengar olehnya­ bait puisi yang berbunyi: “cinta-Mu kutempat­kan­ senantiasa/di sepenuh jiwa kala tibanya/na­mun bila dilamun gelora rasa/lin­glung pikiran, kala asyik terfana”.

Tiba-tiba ia berdiri dengan rasa haru tak terkira, lalu berjalan ke luar majelis tanpa tu­juan, dan ia terperosok ke dalam rimba bambu yang baru saja ditebang, dengan pangkalnya yang runcin­g­ dan tajam.

An-Nuri berlari di atasnya tanpa merasa sakit, sambil tak putus-putus mengulangi­ bait puisi itu sampai pagi. Darah mengalir dari kedua telapak kakinya, yang kemudian mengalami infeksi. Setelah beberapa­ hari menderita sakit, ia meninggal dunia.

Ibnu Abbad ar-Rundi (733 H/1332 M–792 H/1390 M), sufi yang menganut Tarekat Syaziliyah, menulis­ perihal­ orang yang berada dalam keadaan jazb. Majdzub memandang­ sesuatu dilatarbelakangi pandangannya­ terhadap Tuhan. Karena itu, me­reka berprinsip: “Kami tidak melihat sesuatu melainkan Allah”.

Bagi mereka, Tuhan yang wujud-Nya dibuktikan­ dengan wujud alam semesta lebih nyata dari alam itu sendiri. Cahaya Ilahi lebih dahulu menerangi hati mereka daripada zikir yang mereka ucapkan.

Namun, Syekh Abdullah asy-Syarqawi (mantan Rek­tor Universitas al-Azhar, Cairo; w. 1227 H/1812 M) berpendapat bahwa sekalipun orang yang sedang dalam keadaan jadzb berada amat dekat di sisi Tuhan,­ mereka tidak lebih utama dan lebih tinggi daripada­ sufi (salik).

Sufi berada dekat di sisi Tuhan melalui­ jalan panjang yang ditempuhnya dengan penuh suka dan duka serta pengalaman batin yang kaya dan tidak ternilai harganya. Keadaan demiki­an berlainan dengan orang yang memperoleh jadzb.

Majzub berada di sisi Tuhan tanpa usaha dan tidak menemukan pengalaman batin yang beraneka ragam­ dalam mencapai hal demikian. Ar-Rundi mengumpamakan­ perbedaan­ keduanya: sufi laksana­ orang yang pergi ke sisi Tuhan dengan berjalan kaki, sedangkan majdzub pergi ke sisi Tuhan dengan digotong­ orang lain di dalam tandu.

Pengalaman dalam bentuk jadzub tidak berbeda dengan pengalaman fana (maqam). Fana dimulai dengan penapakan­ maqam dalam tasawuf, sehingga pada akhirnya sufi mencapai maqam yang paling dekat dengan Tuhan.

Ketika itu terjadilah fana; sufi kehilangan perasaan kemanusiaannya­ dan tenggelam dalam kemahaesaan­ Tuhan. Keadaan­ demikian sebenarnya dialami pula oleh majzub. Keduanya merasa telah sampai di hadirat Ilahi,­ sehingga tidak­ merasakan kemanusiaannya lagi.

Apa yang dirasakan Abu Yazid al-Bustami (w. 261 H/874 M) dira­sakan pula oleh Ibrahim bin Adham (w. 161 H/778 M), sufi dari Khurasan (Iran). Ibrahim bin Adham adalah anak raja di Balkh (Afghanistan) yang hanyut dalam kemegahan dan keme­wahan materiil, tetapi kemudian mening­galkan kerajaannya­ setelah mengalami­ jadzb.

Diceritakan­ bahwa ketika berbu­ru,­ Ibrahim tiba-tiba bingung. Dalam kebingung­­ an itu, ia terpisah dari rombongan dan tiba-tiba mendengar suara, “Bangunlah sebelum engkau kucambuk!”­

Kemudian tiba-tiba seekor rusa melintas di hadapannya. Ia membidikkan panahnya ke arah rusa itu, tetapi serta-merta ia mendengar suara rusa itu seperti suara yang dide­ngarnya­ tadi. Suara serupa­ terdengar­ pula dari mantelnya. Setelah itu Ibrahim tidak sadar diri.

Air matanya keluar dan keringat mengucur di sekujur tubuhnya, sehingga pakaiannya basah. Setelah pengalaman itu, Ibrahim berto­bat­ kepada Tuhan dan meninggalkan singgasana dan hidup dalam kefakiran.

Dalam tasawuf, pengalaman jadzb dipandang sebagai­ hal, yakni pengalaman batin yang diperoleh sebagai anugerah dan rahmat dari Allah SWT. Oleh sebab itu, orang yang mendapatkannya bukan hanya orang baik, tetapi dapat pula dari kalangan orang jahat yang kemudian berubah menjadi orang baik yang dekat dengan Tuhan setelah men­dapat­kan­ pengalaman demikian.

Daftar Pustaka

al-Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad. hilyah al-Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’. Cairo: as-Sa’adah, t.t.
Burckhard, Titus. An Introduction to Sufi Doctrine. Lahore:­ Muhammad Ashraf, 1973.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
ar-Rundi, Muhamad bin Ibrahim (Ibnu Abbad). Syarh al-Hikam. Semarang Usaha Keluarga, t.t.
asy-Syarqawi, Abdullah. Syarh al-hikam. Semarang: Usaha Keluarga, t.t.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1961.
Yunasril Ali