Hans Bague Jassin adalah seorang kritikus sastra terkemuka yang sangat dikenal dalam dunia sastra Indonesia dan mempunyai peran besar dalam dunia sastra. Karena itu, ia dijuluki “Paus Sastra Indonesia”.
Ia lahir dari pasangan Bague Mantu Jassin dan Habiba Jau, yang dikenal taat beragama. Pendidikan formalnya dimulai dari HIS (Hollandsche Inlandsche School) yang diselesaikannya di Gorontalo pada 1932, lalu HBS (Hogere Burger School) selama 5 tahun ditempuhnya di Medan, dan tamat pada 1938.
Atas saran dari Sutan Takdir Alisjahbana (sastrawan, budayawan, pemikir; 1908–1994), Jassin bekerja di Balai Pustaka, Jakarta, dari 1940 sampai 1947. Setelah itu, ia bekerja di beberapa penerbitan yang berkaitan dengan sastra.
Pada 1953, Jassin berstatus sebagai tenaga pengajar sekaligus mahasiswa Fakultas Sastra Unversitas Indonesia (UI), Jakarta, dan lulus pada 1957. Setahun kemudian, dari 1958–1959, Jassin mendapat beasiswa untuk memperdalam Ilmu Perbandingan Kesusastraan di Yale University, Amerika Serikat.
Kariernya sebagai dosen terhenti ketika pada 1964 Jassin dipecat dari UI. Pemecatan itu berkaitan dengan aktivitasnya dalam Manifestasi Kebudayaan yang oleh Presiden Soekarno telah dilarang sejak 8 Mei 1964. Setelah terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965, Jassin kembali aktif mengajar lagi di UI. Bahkan, pada 14 Juni 1975, Jassin mendapat gelar doctor honoris causa dari almamaternya.
Jassin tidak hanya tekun menilai karya sastra, tetapi juga rajin mengumpulkan buku dan kliping koran serta majalah yang berkaitan dengan sastra. Dan itu dikerjakannya sejak tahun 1940-an.
Ketekunannya itulah yang melahirkan dan membuahkan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, yang pada 30 Mei 1970 diresmikan gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Sejak September 1982, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin menempati bangunan dalam kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat.
Sebagai pemimpin majalah Sastra, Jassin mempunyai pendirian yang teguh. Ini terlihat ketika ia menutup rapat siapa sebenarnya Ki Panji Kusmin, pengarang cerpen “Langit Makin Mendung”, yang dimuat dalam majalah yang dipimpinnya.
Jassin merasa bertanggungjawab untuk merahasiakan nama asli penulis cerpen yang menghebohkan itu, karena menceritakan Nabi Muhammad SAW. Bahkan, di pengadilan pun, ketika menghadapi Buya HAMKA (tokoh dan pengarang Islam; 1908–1981) dan Menteri Agama H M. Dahlan yang menjadi saksi pemberat, Jassin bergeming.
Karena itu, pada 28 Oktober 1970, Pengadilan Negeri Jakarta mengganjar hukuman bersyarat (tidak masuk penjara) selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Hingga akhir hayatnya, Jassin tetap merahasiakan siapa sebenarnya Ki Panji Kusmin.
Sebagai seorang muslim, Jassin dua kali menunaikan ibadah haji ke Mekah. Tidak hanya itu, setiap kali ia membaca Al-Qur’an, tergetarlah hatinya. Maka, muncullah karyanya Al-Qurannulkarim Bacaan Mulia pada 1978. Jassin menerjemahkan Al-Qur’an dengan pendekatan sastra. Itulah yang mengundang polemik.
Bahkan, sebagian karyanya dibakar orang. Tetapi, terjemahan Jassin tersebut malah laku keras dan dicari orang. Banyak orang terheran-heran, orang yang tidak bisa bahasa Arab, seperti Jassin, malah berani-beraninya menerjemahkan Al-Qur’an. Mereka benar, Jassin memang tidak menguasai dengan baik bahasa Arab, tetapi ia menerjemahkan Al-Qur’an dari sumber bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman.
Kekagumannya pada Al-Qur’an tidak berhenti sebatas menerjemahkannya saja. Pada Oktober 1991 sampai pertengahan tahun 1993, Jassin telah menyusun Al-Qur’an secara puitis, berjudul: Al-Qur’an Berwajah Puisi.
Adapun Al-Qur’an Berwajah Puisi itu berupa baris-baris kalimat Al-Qur’an yang disusun menyejajarkan setiap kalimat dalam tanda koma dan tanda titik dalam setiap bacaan. Hurufnya tidak diubah sedikit pun. Untuk penulisan khat naskhi, Jassin mempercayakannya kepada D. Sirojuddin A.R., seorang penulis kaligrafi Arab yang juga staf pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Rupanya Al-Qur’an Berwajah Puisi ini juga mengundang kontroversi. Bahkan, Menteri Agama Munawir Sjadzali, yang dikenal liberal dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Qur’an, tidak mau memberi rekomendasi atas karya Jassin tersebut. Hal ini tertuang dalam surat yang dikirim oleh Badan Litbang Agama, Puslitbang Lektur Agama, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an yang diketuai H A. Hafizh Dasuki, tertanggal 19 Desember 1992.
Surat dari Litbang Departemen Agama itu menyusul surat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditandatangani Ketua Umum KH Hasan Basri dan Sekretaris Umum H S. Prodjokusumo tertanggal 16 Desember 1992.
Dalam suratnya, MUI menilai bahwa Al-Qur’an versi Jassin itu tidak sesuai dengan mushaf al-Imam yang dianggap standar oleh dunia Islam. Mushaf al-Imam terkait pula dengan ketentuan qiraahnya. Karena itu, MUI meminta agar penerbitan Al-Qur’an tersebut disesuaikan dengan mushaf al-Imam.
Adapun surat dari Litbang Departemen Agama menilai bahwa mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya, apabila Al-Qur’an versi Jassin itu diluncurkan ke tengah masyarakat. Tetapi, Sirojuddin mempunyai argumentasi lain. Ditinjau dari sudut apa pun, menurut Sirojuddin, penulisan Al-Qur’an dalam bentuk puisi tidak menyalahi aturan syariat. “Cara tersebut hanya menyimpang dari tradisi penulisan saja,” katanya.
Sebagai administrator yang baik dan tekun, Jassin tidak pernah membiarkan pekerjaannya berlalu begitu saja. Setiap episode dalam hidupnya tidak akan lenyap ditelan waktu, ia tetap mendokumentasikannya. Maka, keluarlah karyanya Heboh 1969: Suatu Pertanggungan Jawab, yang terbit pada 1970. Karena juga memuat cerpen Ki Panji Kusmin, “Langit Makin Mendung”, maka buku ini sempat dilarang oleh pihak penguasa Orde Baru.
Ketika Al-Qurannulkarim Bacaan Mulia mengundang polemik, ia bersama H Oemar Bakry membukukannya dengan judul Polemik tentang Alqurannulkarim Bacaan Mulia, 1978. Begitu pula dengan kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, H.B. Jassin membukukannya dengan judul Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, 1995. Apa kata Jassin tentang dokumentasi kontroversi yang menimpanya? Kata H.B. Jassin,
“Mendokumentasikan semua kliping dan surat mengenai hal kontroversi itu merupakan pekerjaan sehari-hari bagi saya. Namun, ketika membacanya kembali, saya berpikir ada baiknya untuk dibukukan dan disebarluaskan ke masyarakat luas. Dengan demikian masyarakat dapat mengetahui pendapat dan tanggapan dari berbagai orang mengenai Al-Qur’an Berwajah Puisi ini.”
DAFTAR PUSTAKA